Penulis : Dinda Pranata
Menari memang menjadi aktifitas yang menyenangkan. Tidak hanya menyenangkan, tapi juga menyehatkan fisik dan mental. Menari dikatakan bisa membuat diri menjadi bahagia sama halnya dengan berolahraga, karena dengan menari tubuh memproduksi hormon endorpin yang dikenal sebagai hormon bahagia dalam diri. Tapi, bagaimana jadinya jika menari memunculkan tragedi atau kematian pada diri seseorang. Bukannya menjadi menyenangkan tapi mengerikan.
Hal ini pernah terjadi pada tahun 1518 dimana kecanduan menari pada orang-orang pada masa itu berakhir pada kematian. Kejadian ini disebut sebagai Dancing Plague atau dikenal sebagai Wabah Menari. Wabah ini terjadi di Strasbourg (Merupakan bagian dari kerajaan romawi dan sekarang menjadi wilayah prancis. Awalnya ketika seorang wanita bernama Frau Troffea menari tiba-tiba di jalan dan menari selama kurang lebih 4 sampai 6 hari tanpa berhenti.
Selama itu, ia sudah menarik kurang lebih 34 orang lebih untuk menari dan menggoyangkan tubuhnya. Hal ini juga didukung oleh suara band dan pemusik yang malah meramaikan kegiatan tarian tanpa henti itu. Tak sampai 6 hari, wanita ini dan beberapa orang mengalami kelelahan akut. Kejadian ini pada masa itu dianggap sebagai kutukan, terlebih pada masa abad pertengahan masih belum adaya informasi dan penelitian seperti sekarang.
Hingga dalam satu bulan setelah kejadian Frau Troffea ini, penari yang menari tanpa henti meningkat hingga 400 orang. Yang menarik dari sini adalah penelitian yang dilakukan oleh sejarawan John Waller yang dikutip dari digitaljournal.com
Waller explained that historical records documenting the dancing deaths, such as physician notes, cathedral sermons, local and regional chronicles, and even notes issued by the Strasbourg city council during the height of the boogying rage, all “are unambiguous on the fact that (victims) danced.”
“These people were not just trembling, shaking or convulsing; although they were entranced, their arms and legs were moving as if they were purposefully dancing,” he said.
Anxiety and false fears gripped the region,”
One of fears, originating from a Christian church legend, was that if anyone provoked the wrath of Saint Vitus, a Sicilian martyred in 303 A.D., he would send down plagues of compulsive dancing.
Menurutnya kejadian itu disebabkan oleh kecemasan dan ketakutan di kota tersebut. Pada masa itu banyaknya kelaparan dan krisis kota membuat banyak penduduk menjadi stress sehingga memunculkan kondisi ini. Kondisi ini disebut psikosis akibat stress. Krisis yang melanda kota membuat penduduknya mengalami gangguan psikologis dan gangguan ini tidak diobati hingga mengakibatkan kematian.
John Waller juga menjelaskan keterkaitan wabah ini dengan kepercayaan pada masa romawi dimana pada abad ke 16 ada seorang suci bernama St. Vitus yang memiliki kekuatan untuk mengutuk orang dengan wabah menari itu. Didukung dengan adanya krisis yang melanda dan kepercayaan itu membuat teori wabah ini semakin masuk akal daripada teori yang mengatakan adanya keracunan masal akibat memakan jamur ergot yang bisa mengakibatkan kejang dan halusinasi.
Banyak spekulasi dan asumsi yang dikeluarkan oleh beberapa pihak terkait wabah ini. Ada juga yang menganggapnya sebagai ritual keagamaan, prosesi pengusiran setan, dan yang paling masuk akal dan bisa diterima adalah teori dari John Waller. Tidak ada yang tahu pasti kapan wabah ini berakhir dan berhenti. Catatan sejarah mengenai wabah menari ini masih menjadi misteri hingga ditemukannya penjelasan secara medis.
Source :
https://www.britannica.com/event/dancing-plague-of-1518
http://www.digitaljournal.com/article/258521
https://www.history.com/news/ask-history/what-was-the-dancing-plague-of-1518
https://curiosity.com/topics/during-the-medieval-dancing-plagues-people-literally-danced-themselves-to-death-curiosity/
Comment
1 Response