Penulis : Dinda Pranata
Di sebuah desa di dalam perkebunan kelapa sawit, sinar cahaya bulan purnama bersinar di keramaian orang yang berkumpul mengelilingi api unggun. Salah satu dari mereka sedang menceritakan sebuah kisah dan pendengarnya gembira mendengarkan kisah-kisah pria itu sehingga mereka meminta kisah yang lain untuk diceritakan.
Kemudian ia berkata “baiklah, akan aku ceritakan kisah yang lain. Bersiaplah!” dan para pendengar berkata “Lanjutkan!”. Si pencerita itu berkata lagi “sudah siap!” dan pendengar dengan antusias menjawab dengan sorakan “Lanjutkan!”
Si pencerita ini pun memulai kisahnya
Pada suatu hari, ada 2 orang bersaudara bernama si pandai dan Si Bodoh. Mereka memiliki kebiasaan untuk berburu di luar agar orang tuanya bisa mendapatkan makanan. Kemudian pada suatu hari, mereka pergi bersama memancing di hutan mangrove saat air laut surut. Mereka menangkap ikan dengan memotong akar-akar tanaman. Lalu si bodoh melihat ikan, menangkapnya dan membunuhnya. Sedangkan si pandai juga menemukan dan menangkapnya, namun ia tidak melakukan apa-apa pada ikannya. Ia berlari ke arah si Bodoh dan betanya “Hei Bodoh, kamu sudah mendapatkan sesuatu ?”
“Ya, aku memang bodoh tapi aku membunuh seekor ikan.”
Baca juga: Mengapa Ananse Memiliki Setiap Cerita
“Memang, kamu memang bodoh.” Jawab si Pandai “Ketika aku menangkap ikan itu, dan membunuhnya saat ia bergerak ke arahmu. Jadi, ikan yang kau tangkap itu adalah milikku. Sini serahkan padaku.”
Si Bodoh menyerahkan ikan tersebut kepada si Pandai dan mereka kembali ke kota untuk pulang. Sesampainya di rumah si Pandai menyerahkan ikan itu pada ayahnya sambil berkata “Ini ikan yang ditangkap olehku, sedangkan si Bodoh tidak mendapatkan apa-apa.”
Para pendengar bersama-sama bernyanyi sambil mengulang kalimat terakhir dari pencerita tadi sebanyak tiga kali. Pencerita melanjutkan kisahnya kembali.
Sang ibu kedua saudara itu memasak dan menyiapkan makanan ikan itu untuk ayah dan si Pandai tanpa memberi makan si Bodoh.
Mereka pergi berburu lagi. Si Bodoh menangkap dan dengan sekali serangan ia bisa mendapatkan seekor ikan besar. “Apakah kamu mendengar aku menembak tadi?” Tanya si Pandai.
“Tidak.” Jawab si Bodoh.
“Tidak ?” Ulang si Pandai. “Lihatlah ini, ikan yang aku tangkap.”
“Baiklah.” Jawab si Bodoh, “Ambilah ikannya.”
Ketika mereka sampai di rumah, mereka memberikan ikan tersebut kepada ibu mereka untuk dimasak. Si Pandai dan Ayahnya memakan ikan tersebut dan lagi-lagi tidak memberikan apapun kepada si Bodoh untuk dimakan. Ketika mereka menikmati makanannya, tiba-tiba sang ayah tanpa sengaja menelan tulang ikan dan tersangkut di dalam tenggorokannya. Lalu, si Pandai memanggil si Bodoh dan memintanya memanggilkan doktor.
“Tidak.” Jawab si Bodoh “Aku tidak bisa. Aku merasa sesuatu akan terjadi.” Ia kemudian bernyanyi
“Setiap hari kalian memakan ikan dan memanggilku Bodoh, dan membiarkan aku merasa kelaparan.”
Pendengar cerita bergabung sambil bernyanyi lagu si Bodoh berulang kali.
“Bagaimana bisa kau bernyanyi?” tanya si Pandai “Saat ayah dalam keadaan menderita begini.” Lalu si Bodoh melanjutkan bernyanyi “Kamu makan sampai perutmu kenyang, tulang ikan tersangkut di tenggorokanmu dan sekarang hidupmu akan berakhir. Tulang itu masih di dalam tenggorokanmu,”
Ia melanjutkan “Jadi, Si Pandai yang membunuh ikannya dan apakah membiarkan si Bodoh makan ? Tidak! Tetapi sekarang Sang ayah akan mati mungkin seperti yang diharapkan. Kamu memberi si Bodoh ini sesuatu untuk dimakan.”
Para pendengar terus bernyayi hingga mereka lelah dan si pencerita melanjutkan kembali ceritanya.
Sementara si Bodoh sedang bernyanyi, Sang ayah kemudian mati akibat tulang ikan yang di tenggorokannya. Kemudian, para tetangga datang dan bergabung dengan keluarga itu. Mereka bertanya pada si Bodoh bagaimana ia masih bernyayi ketika sang ayah mati. Si Bodoh menjawab pertanyaan mereka “Ayah kami membuat kami menjadi si Pandai dan Si Bodoh. Si Bodoh menangkapkan ikan untuk mereka makan, tanpa memberikan si Bodoh makanan. Mereka seharusnya tidak menyalahkannya, terlebih lagi ketika ia bernyanyi saat mereka menderita. Si Bodoh menderita kelaparan sedangkan mereka bisa makan sampai kenyang.”
Ketika orang-orang memikirkan kisahnya, orang-orang yang datang bersimpati pada di Bodoh dan memakluminya. Sang ayah mati dan menyalahkannya karena tidak memberikan si Bodoh makan.
Dia yang memakan ikan dengan banyak minyak seharusnya menderita gangguan pencernaan, Dan itulah akhir dari kisahku. Semua menjawab “Itu saja!”
“Besok kalian akan memanen kelapa sawit.” Narator berkata saat ia beranjak bangun dari duduknya dan pergi.
Source:
Sherman, Joshepa. 2008. Storytelling : An Encylopedia of Mythology and Folklore. New York. Shape Reference