Penulis : Dinda Pranata
Membaca buku Max Havelaar karya Multatuli membuka mata tentang apa yang terjadi pada bangsa saat zaman kolonial kala itu. Tidak ada yang tahu mungkin hanya mendengar kisah-kisah lewat buku sejarah kita. Namun, saksi bisu buku ini mengatakan penindasan tidak hanya dilakukan oleh Belanda, namun juga kaum pribumi yang memegang kekuasaan. Buku ini diterjemahkan oleh H.B Jassin dengan pengantar dari Pramoedya Ananta Toer. Bahasanya masih sulit dipahami sehingga butuh waktu dalam mencernanya. Lalu bagaimana kesengsaraan kaum pribumi ini?

Belanda Merupakan Atasan Formalitas Belaka.
Dalam buku karya Multatuli itu pada tahun 1856an saat Max Havelaar menjabat sebagai Asisten Residen Lebak dinyatakan bahwa orang kulit putih atau orang Eropa mendapat kedudukan yang lebih tinggi dibanding dengan orang pribumi sendiri. Nyatanya hal itu hanya berlaku pada mereka yang memiliki kulit hitam atau yang biasa kita sebut sebagai rakyat jelata. Dalam susunan pemerintahan saat itu, orang Belanda memang memiliki kedudukan yang tinggi dalam suatu wilayah dan memiliki hak untuk mengatur pemerintahan. Sedangkan orang Pribumi walaupun ia memiliki gelar Raden atau bangsawan tetap berada di bawah bangsa Belanda.
Nyatanya dalam pemerintahan yang terjadi saat penjajahan bangsa Belanda, kedudukan itu hanya bersifat formil dan orang bangsawan pribumi tetap memiliki kedudukan yang superior. Hal ini dituangkan dalam buku Max Havelaar ketika bangsa Belanda menyebut bangsawan pribumi sebagai ‘saudara tua’ karena mereka lebih mengenal daerah jajahan Belanda dibanding dengan orang Belanda sendiri. Sehingga saudara muda (orang Belanda) ini wajib mendengarkan saudara tua-nya.
Kesengsaraan Rakyat Akibat Kesewenangan Bangsawan Pribumi
Buku Max Havelaar yang ditulis oleh Multatuli ini merupakan pukulan keras dan kritikan atas kesewenangan kesengsaraan rakyat pribumi. Di tahun 1856 bulan-bulan awal dimana Max Havelaar ini menjadi asisten residen Lebak Banten, ia sudah banyak membaca catatan-catatan asisten residen yang sebelum dia mengatakan bahwa sudah banyak kesewenangan dan penyalahgunaan jabatan yang dilakukan oleh bupati Lebak yang saat itu diperintah oleh Adipati Karta Nata Nagara.
Hal itu juga di perkuat dalam bab 17 dimana kisah Saijah dan Adinda yang mengasosiasikan keadaan rakyat yang harta bendanya dirampas oleh bupati untuk kepentingan keluarganya. Kisah menjelaskan bagaimana rakyat harus menyerahkan kerbau yang menjadi sarana untuk mengolah sawahnya untuk makan, diambil secara paksa oleh bupati dan keharusan pajak tanah yang membebani rakyat membuat mereka menderita kelaparan serta hukuman pukulan rotan. Tak heran banyak warga yang meninggalkan wilayah itu akibat ketidakadilan yang harus mereka terima.
Baca juga: Tradisi Pergundikan Di Indonesia. Apa Sama Dengan Menyuburkan Lahan Perselingkuhan?
Kesengsaraan itu sudah terjadi selama bertahun-tahun bahkan ratusan tahun tanpa adanya laporan kepada pemerintahan Belanda secara jujur. Apa sebabnya ? pertama seseorang yang berani memberikan laporan buruk kepada gubermen (gubernur jenderal) akan mati atau diracuni. Hal ini tertuang dalam kisah nyonya Slotering yang suaminya seorang asisten sebelum Havelaar mati diracuni. Kedua, gubernur jendral Belanda ingin menutupi kejadian itu agar kepemimpinan mereka tetap baik dimata raja Belanda.
Apa kalian sudah pernah membaca buku ini ? Bagaimana menurut kalian ? Share yuk di kolom komentar.
Bagi kalian yang memiliki pertanyaan seputar wawasan dunia bisa ditanyakan pada kolom komentar juga. Tim akan membantu kalian mencari jawabannya. Siapa tahu pertanyaan itu akan membuka wawasan bagi banyak orang.
Comment
9 Responses