Home / Pojokan

Habis Gelap Terbitlah Terang-Surat Kartini yang Mengkritik Budaya Senioritas

Senjahari.com - 20/04/2019

Habis Gelap Terbitlah Terang

Penulis : Dinda Pranata

Siapa yang tidak kenal dengan R.A Kartini, seorang wanita yang menyuarakan persamaan hak antara pria dan wanita. Sosok yang memperjuangkan hak atas kesengsaraan wanita yang tidak dapat memperoleh pendidikan dan adat yang meletakkan wanita di bawah kekuasaan laki-laki. Sahabatnya dari Belanda ini kemudian mengumpulkan pemikirannya ini dalam sebuah buku berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang.

Kartini dan Kritik Atas Budaya Senioritas

Dalam surat Kartini yang dikirimkan kepada teman-teman Belanda-nya ia mengatakan bagaimana menderita akibat budaya senioritas yang memblokir jalannya menuju kemajuan. Ia menjelaskan dalam suratnya kepada Nyonya R.M Abendanon bahwa ia bersama dengan saudara sulungnya memiliki pandangan yang berbeda. Kakaknya yang pertama sangat menjunjung tinggi nilai-nilai budaya Jawa yang membuat perempuan harus menerima saja nasibnya. Selain pasrah terhadap nasib, perempuan pun harus rela berada di bawah kaum laki-laki.

Anak-anak muda wajib dan patuh kepada orang-orang yang lebih tua, lebih-lebih anak perempuan harus taat kepada kakaknya yang laki-laki

Habis Gelap Terbitlah Terang Hal.70

Kritikan yang ia sampaikan berupa keinginan dalam mendapatkan kebebasan dalam berpendapat, mengenyam pendidikan dan tidak harus merasakan budaya pingitan sampai seorang pria datang untuk meminangnya. Budaya senioritas menjadi salah satu faktor yang menyebabkan bangsa pribumi tertinggal dari bangsa lain yang lebih maju. Budaya ini yang sampai sekarang masih hidup dalam kehidupan sosial kita.

Sentimen Masyarakat Terhadap Gender dan “Apa Kata Orang”

Kritik Budaya dalam Buku Kartini
Ilustrasi Wanita Membaca

Dalam budaya Jawa saat itu, padangan masyarakat terhadap gender sangat jelas sekali. Sebagai contoh dalam surat Kartini ia menceritakan bagaimana bibi, nenek, saudara perempuan yang lain (tidak termasuk adiknya Roekmini, dan Kartinah) memandang sebelah mata tentang gender perempuan. Ia sering sekali mendengar “Anak perempuan, Oh hanya anak perempuan.” dengan nada seolah meremehkan gender itu.

Baca juga: Resensi Very Good Lives - J.K Rowling (Lewat Imajinasi Lampaui Kegagalan)

Ia mengkritik bagaimana budaya dan adat saat itu mengunggulkan laki-laki dalam segala bidang. Padahal menurutnya wanita adalah ibu yang menjadi pendidik dasar anak-anak keturunannya tentang budi, akhlak, dan tingkah laku. Tidak hanya itu atas pengunggulan itu laki-laki yang memiliki otoritas hak tertinggi bisa sangat egois dalam memperlakukan wanita. Seperti contoh saat wanita meminta cerai sedangkan laki-lakinya hanya menggantungkan dirinya dan pada saat yang bersamaan sang suami membawa istri keduanya ke dalam rumah.

Selain sentimen masyarakat atas gender, pada suratnya juga menyinggung bagaimana kalangan bangsawan sangat memperhatikan ‘apa kata orang’ tentang pribadinya. Hal ini yang disoroti oleh Kartini tentang bagaimana wanita saat itu terikat oleh adat istiadat kesopanan yang sangat mengikat. Seorang wanita tidak boleh tertawa sampai memperlihatkan giginya, tidak boleh mengemukakan pendapat secara langsung dihadapan orang lain dan sebagainya. Sehingga ia merasa sangat terikat dan ingin bebas dari belenggu ‘apa kata orang’ tersebut.

Budaya ‘apa kata orang’ inilah yang masih hidup sampai sekarang terutama bagi kalangan yang masih memegang budaya senioritas dan sangat membelenggu diri sendiri untuk maju. Menurutmu apa yang sudah membaca buku Habis Gelap Terbitlah Terang bagaimana ? Bisa share juga di kolom komentar.

Bagi kalian yang memiliki pertanyaan seputar wawasan dunia bisa ditanyakan di kolom komentar. Tim akan membantu mencari jawabannya dan siapa tahu pertanyaan itu membuka wawasan bagi banyak orang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

*

Post comment

Comment

Ping-balik: #Resensi – Bumi Manusia, Sebuah Roman Cinta Pribumi Dan Peranakan Eropa.
Ping-balik: #Resensi Goodbye,Things – Gaya Hidup Minimalis Dalam Tantangan Konsumerisme Dunia
Ping-balik: #Resensi Bumi Manusia – Pandangan Pramoedya Ananta Toer Terhadap Pergundikan Kolonialisme
Ping-balik: #Resensi – Kisah Seorang Pedagang Darah. Krisis Kemanusiaan Di China Tahun 1960-an

4 Responses