Penulis : Dinda Pranata
Dimasa pandemi COVID-19 atau corona ini tidak sedikit masyarakat yang menerima berita hoax atau bohong terkait isu ini. Dari pesan melalui pesan berantai, media sosial hingga berita di website bahkan dari situs kominfo tercatat hampir 100 lebih berita bohong selama pandemi Corona ini. Lalu TanyaKenapa orang mudah menyebarkan kabar bohong ini?
Mengetahui Apa Yang Ingin Diketahui Dan Bukan Yang Tidak Ingin Diketahui!
Saat otak menerima informasi tingkat skeptis seseorang akan menjadi rendah dan kebanyakan orang akan percaya pada apa yang mereka baca atau dengar. Secara cepat respond otak mereka akan mempercayai berita yang diperoleh dan meyakininya. Namun, ketika datang informasi yang bertentangan dengan informasi yang sudah diperolehnya, justru mereka menolak untuk menerima berita yang kontra itu walau sudah diberi fakta yang kongkrit.
Istilah yang keren disebut Backfire Effect dimana orang cenderung menolak informasi yang benar karena bertentangan dengan keyakinan atau pengetahuannya. Dengan kata lain, orang lebih memilih mendengar atau membaca apa yang ingin diketahui bukan apa yang tidak ingin diketahui dimana membuat tingkat obyektifitas terhadap suatu isu menjadi rendah. Istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh Profesor Dartmouth College Brendan Nyhan dan Profesor University of Exeter Jason Reifler pada tahun 2006.
Analisis Isi Konten: Yang Emosional Lebih Menarik Pembaca!
Penyebaran informasi yang paling banyak dicari adalah informasi yang tak terduga, terkait informasi yang sensitif dan emosional. Penyebar informasi hoax biasanya membumbuinya dengan nuansa emosional yang membawa pesan dramatis kepada pembaca layaknya novel. Secara psikologis penerima informasi akan mudah terbawa dan menyebarkan berita sebelum dikonfirmasi oleh logikanya.
menurut Nature Science penyebaran melalui 2 cara pertama cara dengan menyebarkan melalui orang-orang yang memiliki follower terbanyak seperti yang dikatakan sebelumnya dan cara kedua dengan memasukkan informasi real dengan kebohongan dimana informasi bohong yang mendominasi isi konten.
Baca juga: Tanya Kenapa-Manusia Tidak Memiliki Bulu Di Seluruh Tubuh?

Pada gambar di atas dapat dilihat kalimat yang berwarna kuning dimana terdapat kata-kata ancaman yang membuat pembaca mudah merasa takut hingga panik. Pesan yang dibuat oleh pembuat infomasi ini secara sengaja menekan pada sisi emosional para penerima sehingga otak pembaca pesan merespon dengan cepat dan mengaktifkan ‘mode panik’ mereka yang membuat pembaca menyebarkan pada group atau kenalan sesuai instruksi dari pesan tersebut.

Pada gambar yang ditandai pada kotak berwarna merah dapat dilihat ada skenario cerita yang disisipkan pada informasi itu. Sebelumnya telah dikonfirmasi adanya penderita Corona asal wilayah pujon yang meninggal. Namun, kemudian pembuat informasi ini menambahkan cerita agar terkesan meyakinkan pembaca dan membuat penerima informasi ini menjadi panik atau lebih berhati-hati. Bahasa yang dibuat dalam cerita tersebut terkesan dramatis dan disisipi oleh kata-kata ‘…anaknya kemudian marah-marah dan pulang paksa.’ sehingga terkesan mudah menyulutkan emosi pada pembaca informasi. Dimana hingga saat ini keaslian dan kebenaran dari cerita warga pujon yang meninggal diatas masih dipertanyakan.
Berhati-hati dalam merespon berista yang beredar akan menyelamatkan kita dari penyebar hoax dan korban hoax. Kesadaran bertukar informasi sangat diperlukan untuk menghentikan persebaran berita yang memprovokasi dan hoax. Masih mau percaya berita hoax?
Source:
curiosity.com
nbcnews.com
nytimes.com
theguardian.com