Home / Kamar

Ibu, Tolong Hargai Aku!

Senjahari.com - 12/09/2020

Ibu, Tolong Hargai Aku!

Penulis : Dinda Pranata

“Eh, gaji kita udah masuk lho!” Ungkap Lala Supervisor HR ketika mereka sedang asyik makan di kantin kantor.

“Beneran?” Siska seketika langsung bersemangat dan mencoba membuka email dari ponselnya. Ia pun melihat nominal gajinya seraya tersenyum lebar.

“Gajian kali ini mau kamu pakai buat apa?” Tanya Lala iseng karena Siska dikenal sebagai sosok dengan penampilan sederhana di devisi Marketing.

“Aku mau membeli pakaian yang sudah aku idamkan dari beberapa minggu lalu, sekalian mau cari baju buat orang tuaku.”

“Wah, kamu emang anak berbakti. Kalau aku mah, jarang banget beli baju buat emak.” Katanya sambil tertawa dan mereka berdua pun tertawa bersama.

Hari ini ia merasa senang karena gaji yang selama beberapa bulan ini ia tabung, akhirnya bisa dipakai untuk membeli pakaian kedua orangtuanya dan membuat mereka berdua senang. Di mata teman-temannya Siska memiliki sifat sederhana dan murah senyum. Rambut hitamnya yang panjang sebahu serta wajah yang manis dengan riasan minimalisnya. Wajah manisnya semakin terlihat ketika senyuman lebar merekah di sudut bibirnya sehingga memperlihatkan lesung pipit di kedua pipinya. Walau dikenal murah senyum, ia sebenarnya memiliki masalah yang ingin ia atasi.

***

Dengan mengendarai sepeda motor maticnya ia menuju SOGO department store yang terkenal di Surabaya. Dari tempat kerjanya yang ada di pusat kota hanya butuh waktu 15 menit untuk tiba di Sogo. Kondisi jalan yang cukup padat pada pukul 4 Sore tidak membuat niatnya surut. Lalu lalang kendaraan di sisi kanan dan kirinya serta bunyi klakson membuat suasana jalan menjadi ramai dan riuh.

Sejenak ia ragu apakah ia bisa membeli sendiri pakaian orang tuanya, sedangkan dirinya tidak yakin pakaian yang beli apakah akan cukup dan sesuai dengan selera mereka. Saat lampu lalu lintas menyala merah merah, ia menghentikan motornya sambil memikirkan jawaban yang paling baik. Ia akan mengajak ibunya membeli pakaian dengannya. Akhirnya, ia memutarkan setirnya menuju rumah dan menunggu setelah makan malam untuk pergi ke Sogo.

“Setidaknya meraka merasa senang.” Katanya pada diri sendiri sambil melajukan motornya menuju rumah yang ada di kawasan Karang Ploso, Surabaya.

***

Pukul setengah 6 malam ia tiba di rumahnya, karena macet di sana sini dan jalan berputar yang harus ia tempuh untuk sampai di rumah. Sepulang kerja ia disambut oleh ibunya-Ibu Sugeng-yang sedang duduk di teras. Ibunya mengenakan kacamata dengan rambut yang mulai memutih sembari menjahit pakaian bapaknya yang sobek, Siska merebahkan dirinya pada kursi di samping meja teras.

“Kok baru pulang?” Tanya ibunya yang masih fokus menjahit di sebelahnya.

“Iya, tadi jalannya macet udah gitu aku puter-puter.” Ia memasang senyuman walau tubuhnya cukup lelah.

ia mengambil roti goreng dalam piring yang ada di atas meja teras namun sebelum menyuapkan roti ke mulutnya “Eh cuci tangan dulu!” perintah ibunya sambil memukul lembut tangan Siska yang membuatnya meletakkan kembali roti gorengnya.

“Bu, setelah makan malam temani aku membeli pakaian ya.” Ajaknya sambil sedikit merengek seperti anak kecil. “Aku juga mau membelikan ibu dan bapak pakaian.” Lanjutnya berbisik.

“Buat apa membelikan bapak ibu baju. Tadi bibi Santi kemari dan kami diberi oleh-oleh pakaian.”

“Itu kan dari bibi Santi, bukan dari aku.” Imbuhnya. “Pokoknya ibu nanti ikut ya, kita naik motor saja berdua.” Siska tidak menunggu jawaban ibunya dan langsung menuju ke dalam rumah untuk mandi karena gerahnya udara di Surabaya.

Pukul 7 malam, setelah makan malam, Siska bersama ibunya pergi menuju Sogo. Jalanan Surabaya memang tidak pernah sepi dari pagi sampai malam. Dengan motor pun di Surabaya masih bisa terkena macet karena kota ini dikenal dengan tingkat mobilitas yang tinggi dari penduduknya. Sepanjang perjalanan ibunya bercerita tentang keadaan Bibi Santi yang tinggal di Blitar bersama dengan Om Setya.

“Kamu tahu, tadi ibu bapak diberi pakaian dan batik dari Yogya. Tapi semua modelnya kampungan dan norak.” Mendengar apa yang diceritakan oleh ibunya membuat Siska tertegun.

“Kalau ibu tidak suka kan bisa ditolak.” Celetuk Siska sambil mengemudi ditemani suara angin yang berseliweran di telinga.

“Kalau ditolak kan tidak sopan. Jadi, walau tidak suka ya ibu bapak tetap menerimanya.” Siska yang mendengarnya sedikit merasa ragu apakah ia tepat mengajak ibunya.

***

Setibanya di Sogo mereka berdua melihat-lihat beberapa toko dan mampir pada salah satu butik ternama yang mana pakaian idaman Siska terpajang di etalasenya. Ibu Sugeng melihat-lihat pakaian yang ada di sana dan berkata harganya cukup mahal. Siska hanya memastikan hal itu bukan masalah, toh hari ini uang gajiannya sudah keluar dan tabungannya cukup untuk membeli 3 buah pakaian.

Ibunya pun melihat-lihat dan menemukan sebuah pakaian berwarna merah dengan motif bunga besar pada bagian dasar pakaiannya. Ibunya memanggil Siska yang sedang melihat celana kerja dan pakaian yang diidamkannya. Siska yang mendengarnya segera berlari ke arah ibunya.

“Pakaian ini cocok denganmu.” Ibunya memutarkan badan Siska dan menempelkan pakaian itu pada punggung Siska. “Sepertinya cukup.” Lanjut ibunya yakin. Melihat pakaian yang ditawarkan ibunya, ia merasa tidak tertarik karena warna dan motifnya yang mencolok.

“Warna dan motifnya terlalu mencolok.” Tolak Siska.

“Ah, kamu ini tidak tahu mode. Warna ini cocok dengan kulitmu yang putih, lalu motifnya juga terlihat elegan. Kamu cocok kalau pakai baju ini ke kantor, bukankah kamu sudah jadi supervisor.”

“Tapi, aku sudah punya pilihan.”

“Sudah dicoba aja dulu.” Siska kemudian menuruti permintaan ibunya dengan membawa pakaian pilihan ibunya dan pilihannya ke kemar pas.

Setelah ibunya puas memilih tiga pakaian untuk dicoba, Siska dan ibunya pergi ke kamar pas bersama dalam satu ruangan. Ketika mencoba pakaian pilihan ibunya, Siska merasa tidak nyaman. Ia tidak pernah suka pakaian yang memiliki motif dan warna yang mencolok. Warna merah terang membuatnya merasa sangat mencolok jika diperhatikan orang.

“Ibu bilang juga apa, motif ini memang bagus kalau kamu yang pakai.” Ibunya tersenyum puas sambil membolak balikkan badan Siska yang kurus semampai. “Kulitmu kuning langsat, jadi cocok jika pakai warna yang terang.” Katanya tanpa memperhatikan perasaan Siska.

“Aku tidak suka bu, warnanya terlalu mencolok.” Keluhnya sambil membuka pakaian pilihan ibunya dan menggantinya dengan pakaian pilihannya. Pakaian yang ia pilih berwarna coklat krem dengan renda kecil di lehernya. “yang ini lebih manis dan sederhana.” Katanya sambil memutarkan badannya di depan kaca dan tersenyum.

“Warna yang ibu pilih lebih bagus, kalau kamu pakai ini kamu terlihat pucat.” Mata tajam ibunya nampak tidak senang dengan pilihan anaknya.

“Tapi aku suka motifnya yang polos dan lebih minimalis. Warna pastelnya juga bagus.” Katanya sambil tersenyum lebar di depan kaca ruang pas itu.

“Pakaian pilihanmu ini modelnya sangat kampungan, tidak cocok untuk jabatan Supervisor.” Mendengar kata-kata yang diucapkan ibunya membuat wajahnya mengeras dan kaku namun, ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun karena takut menyakiti ibunya.

***

Setelah mencoba pakaian, mereka pun memutuskan mengambil pakaian yang ingin dibeli. Setelah ibu mengelilingi toko untuk mencari pakaian bapaknya. Siska merasa setiap pilihan pakaian yang ia sarankan selalu berakhir dengan ungkapan kampungan, tidak punya selera mode, dan norak. Ia merasa hatinya teriris mendengar ucapan ibunya sendiri yang terkesan tidak bisa menghargai pilihan orang lain.

Akhirnya setelah selesai memilih pakaian bapaknya, Siska pun pergi ke meja kasir. Ia membawa pakaian pilihannya dan mengembalikan pakaian yang dipilihkan ibunya kembali ke rak gantung diam-diam. Ketika ibunya mengetahui hal itu dan bertanya “Kok masih memilih itu?”

“Aku memakai yang ini saja ke kantor.” Kata Siska sedikit tegas, tapi ibunya menahan lengannya.

“Nurut saja apa kata ibu. Kamu ini sudah jadi Supervisor, berpakaianlah yang sesuai dengan jabatanmu. Pakaian yang kamu pilih ini norak dan tidak cocok untuk pekerja kantoran.” Ibunya memaksa dan mencari pakaian yang ia pilih tadi sambil menunggu antrian di kasir.

“Pilih ini saja! Ibu melakukan ini demi kamu!” ibu menyerahkan pakaian Siska yang ia pilih dan menyuruhnya mengembalikan pakaian yang ia pilih ke tempatnya.

“Bu, aku ini sudah dewasa!” Siska menekankan suaranya dengan pelan “Biarkan aku memilih pakaianku sendiri. Jika tidak sesuai selera ibu, jangan mencemooh selera orang kampungan dan norak. Hargai pilihan orang Bu!” Ia cukup lelah dengan cemooh ibunya dan suara Siska membuat ibunya melongo sesaat. Siska pun tetap membeli pakaiannya dan tidak membayar pakaian pilihan ibunya ketika sudah di depan meja kasir.

***

5 Bulan sejak kejadian di Sogo, Siska tidak pernah lagi mencari persetujuan dari kedua orang tuanya tentang hal-hal yang bersifat pribadi. Ia hanya membicarakan masalah jika itu berkaitan dengan orang tuanya atau sekedar meminta saran dengan membatasi segala keputusan tetap di tangan Siska. Ia menilai bahwa tidak berhak kita menghakimi selera atau pendapat orang lain bahkan mencemoohnya karena pendapat atau selera itu berbeda dari kita.

Mungkin banyak dari kita yang tak jarang melakukan seperti yang dilakukan oleh ibu Sugeng. Menghargai pilihan dan selera orang walaupun itu adalah anak sendiri, saudara, teman, sahabat sangatlah penting. Walaupun menurut kita seleranya tidak bagus namun bukan berarti kita berhak mencemoohnya. Memberi saran itu juga baik, namun jika memaksa orang lain untuk menerima saran kita bukankah juga tidak dibenarkan.

Bagi kalian yang mengalami hal ini, tidak perlu merasa cemas atau sedih. Banyak orang juga mengalami hal serupa sehingga kita perlu memberi batasan terhadap perilaku orang lain. Katakan lah tidak nyaman jika kau tidak nyaman, tidak suka saat kau tidak suka, dan begitu sebaliknya!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

*

Post comment