Penulis : Dinda Pranata
How to die yang memaparkan bahwa Setiap orang pasti menginginkan hal yang terbaik bagi hidupnya. Kadang karena terlalu menginginkan sesuatu hal membuat kita berambisi dan melupakan bahwa hidup itu tidak hanya tentang apa yang kita inginkan saja. Alex yang tengah duduk di pojokan perpustakaan sedang asyik membaca sebuah buku yang mengingatkan bahwa hidup kita itu hanya sementara. How To Die karya filsuf Seneca ini menjawab bagaimana kita perlu sadar pada akhirnya mati akan dirasakan oleh semua manusia.
Kita Hidup Untuk Mati!
Dalam bab-bab awal dari buku ini mengisahkan bagaimana hidup kita itu ternyata hanya berlangsung sebentar saja. Manusia yang dilahirkan ke dunia pada dasarnya memiliki tujuan atau titik akhir yang sama yaitu kematian. Namun kita tidak perlu hanya pasrah terhadap hidup karena kita akan mati pada suatu saat nanti melainkan, tetap menjalankan kehidupan yang baik dan bermanfaat.
Dalam buku ini pun Seneca atau sang filsuf bahkan tidak mengajarkan kita pasrah pada kehidupan karena kita pada akhirnya akan mati! TIDAK! Sang filsuf meminta kita yang masih hidup untuk tetap berjuang sebagaimana seharusnya agar ketika kita dekat dengan titik pemberhentian (kematian) kita tidak lagi menyesali apapun yang belum dilakukan. Karena penyesalan adalah hal yang paling kita takuti ketika kematian itu menjemput.
Hiduplah Selama Yang Seharusnya!
Dalam buku ini ada hal yang perlu diperhatikan oleh pembaca, mengenai bagaimana cara mati yang seharusnya! Pada bab pertengahan, Seneca menjelaskan dan merincikan bagaimana jika kematian itu dijemut dengan dengan sengaja atau dengan bunuh diri. Di konteks ini pembaca perlu menggarisbawahi bahwa bunuh diri tidak dibenarkan sebagai cara kematian. Bahkan Seneca sendiri sempat merasakan dilema apakah bunuh diri bisa dibenarkan.
…Tidak ada yang bisa menghalangi seseorang apabila dia ingin membebaskan diri dan mati; Alam tidak menjaga kita dengan ketat, apabila desakan kematian memang mengizinkan, lihatlah sekelilingmu dan pilihlah kematian yang mudah; Apabila tersedia banyak pilihan untuk meraih kemerdekaan pilihlah dan pikirkan jalan yang paling cepat menuju kebebasan…
How to die halaman 112.
Pada bab tentang pembebasan diri ini Seneca sempat mengabaikan hal yang menjadi masalah apabila seseorang memilih bunuh diri. Tetapi pada akhirnya, ia menyadari masalah itu berhubungan khusus pada orang-orang yang ditinggalkan seperti keluarga, sahabat, dan para relasi dekat yang lain.
..Apabila pikiran tidak lagi sekedar ingin mati, tapi bahkan mulai mati, maka pikiran itu harus memerintahkan dirinya untuk berhenti memikirkan kebutuhan keluarga dan sahabat-sahabatnya. Kembali pada kehidupan demi orang lain merupakan tanda suatu pikiran yang jernih..
How to die halaman 116.
Pada masa dimana Seneca hidup yaitu pada abad ke 4 SM hingga 65 SM merupakan masa dimana bunuh diri lebih baik dibandingkan dihukum gantung atau pancung oleh penguasa yang tiran. Sehingga kutipan surat-suratnya yang menyatakan bahwa lebih bijak jika mereka diberi kebebasan untuk memilih cara mereka mati seperti apa, hanya cocok pada masa itu.
Hal yang tidak kalah penting dari itu adalah sebelum kematian memanggil kita yang masih hidup, sebaiknya kita memanfaatkan waktu seolah-olah hari ini hari terakhir kita hidup. Daripada hanya menunggu kematian yang tidak tahu kapan akan datang, atau hanya berpikir manusia pada dasarnya akan mati, kita bisa melakukan berbagai upaya aktif untuk memberikan kehidupan yang lebih baik untuk kita dan lingkungan sekitar kita.
Alex yang membaca buku itu hanya termenung dan berusaha mencerna setiap pesan dari filsuf ini. Ia menilai beberapa aspek pemahaman nilai kehidupan masih bisa sejalan dengan kehidupan modern yang serba cepat hingga banyak orang yang merasa depresi serta frustasi. Di lain sisi lagi konsep kehidupan seperti mati bunuh diri dianggap lebih baik merupakan hal yang berbahaya jika tidak dimaknai secara benar pada masa modern ini.
Bagaimana menurut kalian? Adakah yang sudah membaca buku ini? kalian bisa berkomentar di kolom komentar untuk saling kasih masukan.