Penulis : Dinda Pranata
Pasti tidak asing dengan jargon “mulutmu harimaumu”, yang banyak beredar. Nyatanya jargon ini memang banyak benarnya mengenai bagaimana seseorang berbicara kepada orang lain. Kata-kata yang diucapkan oleh seseorang bisa dengan mencerminkan bagaimana cara pandangnya terhadap lawan bicaranya. Hal ini pun dipaparkan dalam buku The Power of Language karangan Shin Do HYun Dan Yoon Na Ru yang akan pojokan bahas kali ini. Seperti apa?
The Power Of Language-Kualitas Versus Kuantitas. Penting Mana?
Dalam pembicaraan kadang kala orang yang berbicara lebih banyak lebih menarik daripada orang yang berbicara lebih sedikit dengan kualitas pembicaraan yang baik. Biasanya orang menganggap orang yang banyak bicara itu adalah orang yang memiliki rasa percaya diri tinggi, tapi kebanyakan mereka terlihat membanggakan diri dan kurang mampu mengontrol emosi kapan waktu untuk mendengar dan kapan waktu untuk berbicara.
Berbeda dengan orang yang memiliki wawasan yang cukup baik dan mampu mengontrol emosi serta keinginan untuk berbicara dan menunjukkan diri sendiri. Mereka yang terlihat diam dan mendengarkan belum tentu tidak menarik, mungkin saja mereka berusaha memahami pembicara atau mengembangkan sudut pandang dari luar. Mereka berusaha mengontrol emosi dalam diri mereka agar tidak terlalu menyombongkan diri atau melukai perasaan orang lain dengan berhati-hati dalam berbicara.
Orang yang memiliki tingkat pemahaman yang baik biasanya akan lebih mementingkan bobot pembicaraan daripada banyaknya obrolan yang tidak berbobot. Mereka tahu kapan saatnya mereka menyampaikan sesuatu dan kapan mereka harus diam untuk menyimak topik pembicaraan. Berbeda denngan orang yang mementingkan kuantitas, mereka terkadang berbicara tak tentu arah atau kesana kemari tanpa ada hal yang bermanfaat yang diperoleh pendengar.
Menyimak Adalah Cara Belajar Berbicara.
Tidak banyak yang tahu kalau cara berbicara yang baik adalah dari kemauan untuk menyimak dan mendengar. Dalam buku the power of language ada satu bagian topik dari buku itu yang membicarakan teknik berbicara. Pada bagian tersebut menjelaskan bahwa kebodohan paling besar adalah orang yang sok tahu. Mengapa? Karena dunia ini tidak ada orang yang mengetahui segalanya, jika orang menganggap dirinya mengetahui segalanya maka mereka bisa melukai orang lain lewat kata-katanya. Menjadi rendah hati adalah sebuah pilihan yang baik untuk melatih kita berbicara dengan pemikiran logis daripada omong kosong tidak berdasar.
Baca juga: Buku Tentang Cinta, Isinya Bikin Kamu Belajar Tentang Menerima Diri Sendiri.
Selain itu ada sebuah kutipan yang menarik dalam buku ini adalah bagaimana berbicara membawa kita mencapai sebagai pemimpin yang baik.
..Saat menyimak perkataan orang lain, kita juga harus bisa bertanya pada saat yang tepat, kita juga harus bisa menata dan mengendalikan lawan bicara kita yang berbicara dengan kabur dan tergesa-gesa..
The power of language hal 154
Kutipan ini tidak hanya berlaku dalam hal berbicara saja, tetapi bisa untuk hal lain. Seorang pemimpin mempu menggiring orang yang keluar dari tujuan untuk masuk kembali dalam ring tujuan yang sama sehingga mereka bisa berjalan harmonis.
Sisi Menarik VS Sisi Tidak Menarik The Power Of Language
Dalam buku ini memaparkan hal secara menarik karena menampilakan banyak tokoh-tokoh penting dan pemikir dari Timur dan Barat. Penulisnya sendiri juga mampu menyampaikan kata-kata filsuf dan pemikir yang rumit dalam bahasa yang sederhana. Dengan analogi yang sederhana itu, memungkinkan para pembaca untuk menafsirkan dan memahami lebih baik maksud dalam pemikiran tokoh besar.
Walau dibahas dengan bahasa yang sederhana, buku ini tidak lantas menjadi sempurna kok. Buku ini masih kurang menjelaskan secara detail tentang teknik berbicara, cara menyimak, sampai mengubah sudut pandang. Penjelasannya terkesan terlalu singkat serta kurang mendalam. Sehingga pengetahuannya hanya terletak pada permukaannya saja.
Kamu yang sudah pernah baca buku ini, bisa kok berbagi pengalaman membaca buku ini di kolom komentar.