Home / Pojokan

Resensi Buku The Tattooist of Auschwitz. Kisah Cinta, Moralitas, Agama Dan Mempertahankan hidup.

Senjahari.com - 05/05/2021

Resensi Buku The Tattooist of Auschwitz. Kisah Cinta, Moralitas, Agama Dan Mempertahankan hidup.

Penulis : Dinda Pranata

Resensi yang Gita baca di pojokan ruang tamu , di atas sofa bulat dan secangkir teh hangatnya akan mengantarkan kita pada kenyataan pilu. Ia membaca sebuah buku yang menceritakan kisah cinta Gita-seorang wanita yang namanya mirip dengan dirinya- dan pria bernama Lale berjudul The Tattooist of Auschwitz. Kadang ia bergidik ngeri, tersenyum, hingga kadang menangis. Bagaimana kisah cinta ini bisa ada di tengah badai kemanusiaan kala itu?

Agama Terkadang Tidak Berbanding Lurus Dengan Bertahan Hidup

Resensi buku ini menceritakan bagaimana kehidupan para tawanan kamp kosentrasi Nazi. Saat genosida kaum Yahudi terjadi, banyak dari mereka yang ditahan oleh tentara NAZI (SS) di kamp kosentrasi besar. Seperti kamp di Brekenau dan Auschwitz. Mereka yang ada di dalam penjara terbagi dalam dua barisan yang mana tentara nazi menjadikan kehidupan manusia seperti permainan murahan. Dalam penjara masih terbagi-bagi dalam dua kategori tawanan. Tawanan yang mendapat kepercayaan dari tentara NAZI (Kapo/kepala tawanan, juru tato, mandor, dll), tawanan yang menjadi musuh NAZI (mereka yang menentang ideologi NAZI, musuh politik dan tentara musuk NAZI yang tertangkap).

The Tattooist of Auschwitz bercerita tentang tawanan yang bernama Lale. Tawanan pria ini mendapatkan kepercayaan dari tentara NAZI walau dia orang Yahudi. Dalam kamp tawanan ia menjadi juru tato yang memberikan tato pada tawanan yang baru saja datang. Ia melukiskan nomor tahanan pada tawanan tidak hanya laki-laki atau perempuan bahkan anak-anak sekalipun. Tidak sedikit kengerian yang ia lihat dan ia pelajari selama hidup dalam kamp.

Dalam kamp itu sesama Yahudi bisa menjadi musuh untuk bisa sama-sama selamat dari kematian yang mengerikan. Mereka yang ingin selamat dari kematian rela menyogok kapo/kepala tawanan dengan barang-barang berharga. Biasanya barang berharga yang mereka ambil milik tawanan yang meninggal dalam kamar gas. Mereka yang cerdik akan menyelundupkan barang saat tentara NAZI melucuti pakaian tawanan ketika baru saja tiba dalam kamp. Dalam ajaran Yahudi atau ajaran manapun menyiksa sesama manusia adalah dosa besar, tetapi jika tawanan ingin tetap hidup mereka harus rela melihat atau menyiksa sesama manusia. Mereka yang wanita melakukan hubungan suami istri yang bukan pasangan pun adalah dosa besar, tetapi jika mereka ingin hidup, mereka harus memenuhi nafsu para SS. Mempertahankan keyakinan dalam kamp tawanan akan membuat para tawanan mati dalam kamar gas atau tersiksa selama hidup di kamp.

Kisah Cinta Yang Hidup Dalam Kebiadapan

Selain itu, resensi buku ini menceritakan kehidupan Juru tato bernama Lale Sokolov yang seorang Yahudi asal Slovakia dan menjadi tawanan pada tahun 1942. Seseorang juru tato lain menjadi penjaminnya saat tentara SS menyiksanya dan hampir mati. Sejak saat itu ia menjadi juru tato yang menuliskan nomor tawanan pada kulit sesamanya tidak perduli itu laki-laki, perempuan atau anak-anak. Dalam kamp itu ia bertemu dengan Gita Furman yang menjadi kekasihnya selama dalam kamp.

Baca juga: The Perks of Being A Wallflower-Pencarian Jati Diri Seorang Remaja.

Demi menyelamatkan Gita selama dalam tawanan, ia harus rela meletakkan ideologi agamanya dan berusaha mendekati tentara Jerman (SS). Untungnya Lale memiliki kemampuan bernegosiasi yang cukup handal karena dulunya ia seorang pebisnis. Ia bahkan berani menjamin salah satu tentara SS yang tidak cakap dari masalah. Tentara SS yang ia selamatkan menjadi sangat percaya padanya dan membuat tawanan lain tidak berani menjahatinya. Tentara SS itu pun bahkan bisa mengabulkan segala keinginan Lale. Contohnya saat Lale meminta asisten juru tato ketika rekan penatonya mati dalam kamp. Tidak hanya itu, tentara yang percaya padanya membantu melindungi Gita beserta teman-temannya dalam kamp dan bersedia menjadi informan Lale.

Cintanya yang besar pada Gita membuatnya banyak melewati rintangan dan siksaan. Salah satunya adalah saat ia menyembunyikan makanan seperti coklat untuk ia hadiahkan pada Gita, serta barang berharga untuk menyuap para kapo di bawah bantalnya. Tentara SS yang menemukan barang-barang itu pun segera memukulnya dan mengurungnya dalam sel yang lebih sempit. Namun karena ia banyak menolong orang selama dalam kamp termasuk salah satu tentara SS, ia dibebaskan dan dipekerjakan kembali sebagai juru tato.

Resensi singkat buku ini membuat kita sampai pada titik. Walau banyak tindakan yang tidak manusiawi selama masa itu, nyatanya cinta Lale dan Gita bisa bertahan. Mereka berdua kemudian menikah setelah selamat dari badai kemanusiaan itu. Bagi kalian yang sudah membaca buku ini, Adakah bagian yang membuat kalian tersentuh?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

*

Post comment