Penulis : Dinda Pranata
Tradisi nginang salah satu tradisi milik buyut-buyut atau kakek nenek kita yang tak terlihat lagi jejaknya. Tradisi nginang dahulunya sangat populer sampai menjadi teman penghilang stress oleh sebagian orang di zaman dahulu. Nyatanya tradisi itu ada lebih dari ribuan tahun lamanya dan sekarang sudah tak ada yang melakukannya lagi (mungkin masih ada di desa-desa terpencil). Bagaimana sih cerita tradisi nginang ini dan mengapa sudah tak terdengar lagi?
Nginang Dalam Nilai Historis dan Filosofi.
Pasalnya sirih adalah tanaman yang dapat tumbuh di negara dengan iklim tropis seperti di Asia tenggara. Berdasarkan buku Betel Vine: Nature “Green” Gold mengatakan bahwa tanaman sirih ada pada 7,000-5,500 SM di sebelah barat laut Thailand. Para ilmuan memperkirakan tanaman ini mirip dengan sirih yang ada di timor Indonesia pada 3,000 SM. (Jatindra Nath Bhakta, 2017). Tanaman ini sudah ada sejak lama dan sering digunakan untuk berbagai kepentingan.
Salah satu kepentingan yang sering dilakukan adalah nginang atau nyusur. Nginang merupakan campuran daun sirih segar dengan buah pinang, gambir dan kapur (njet). Orang tua bahkan para pemuda zaman dahulu mengoleskan campuran daun sirih segar tersebut ke dalam mulutnya agar bau mulut lebih segar. Sebelum orang menggunakan pasta gigi, mereka menggunakan daun sirih, pinang, ada juga gambir dan kapur untuk menggosok gigi. Dari campuran masing-masing bahan tersebut nyatanya bisa membuat dampak yang baik bagi kesehatan gigi karena kandungan antiseptik dari sirih tersebut. Hal itu bisa terlihat dari bagaimana gigi orang tua yang melakukan nginang bisa terlihat sangat kuat. Tetapi ada juga yang kontra dengan pernyataan ini akibat penggunaan buah pinang dan gambir yang tak baik bagi kesehatan.
Selain untuk menggosok atau membersihkan gigi, orang zaman dahulu menggunakan bahan-bahan nginang untuk berbagai keperluan seperti upacara adat, sesajen, hingga lamaran. Bukan tanpa sebab, mereka memandang bahan-bahan nginang memiliki filosofinya tersendiri, seperti: sirih bermakna sifat rendah hati seseorang, memberi, serta senantiasa memuliakan orang lain. Buah pinang bermakna keturunan yang baik. Kapur melambangkan ketabahan hati dan rela menolong sesama. Ada pula gambir yang bermakna kesabaran dan keteguhan hati seseorang.
Tradisi Berubah Menjadi Candu.
Sebelum kedatangan Portugis nginang hanya menggunakan bahan-bahan sirih, buah pinang, gambir dan kapur. Namun, pada abad ke 15 Portugis mengenalkan tembakau. Hal itu lah yang membuat tradisi menjadi seperti candu. Candu ini berasal dari cacahan daun tembakau yang dibakar yang kemudian mereka campur dalam bahan nginang mereka sebagai bahan tambahan.
Baca juga: Karong Woja Wole, Konstruksi Budaya Manggarai Tentang Perempuan
Tambahan bahan baru berupa cacahan tembakau bakar populer dengan nama bako susur. Secara perlahan-lahan tradisi nginang mulai berubah arah sedikit menjadi modern dengan unsur bako susur ini. Kemudian pada abad ke 17 raja-raja di Jawa menggunakan tradisi nginang dengan campuran bahan ini sehingga membuatnya semakin populer di setiap acara istana atau sajian kepada tamu. Inilah yang menjadi asal usul rokok kemudian hari.
Nginang yang sebelumnya bertujuan untuk menghilanggkan bau nafas, menyehatkan gigi berubah menjadi candu yang membuat orang lelah menjadi lebih bersemangat. Candu inilah yang menambah pro dan kontra untuk melanjutkan tradisi ini dari segi kesehatan. Selain tembakau tidak baik bagi kesehatan jika konsumsinya berlebihan, masalah penampilan juga kerap kali menjadi hal yang membuat tradisi ini semakin tergerus zaman. Walau banyak nilai filosofi dan historis serta kearifan lokal dari tradisi ini, nyatanya semakin lama tradisi ini semakin berkurang peminantnya.
Source
bobo.grid.id
cnnindonesia.com