Penulis : Dinda Pranata
Masih ingatkah kita dengan tragedi tahun 1998 yang pernah terjadi di Indonesia? Tragedi berdarah yang menentang sikap otoriter pemerintah Indonesia yang membatasi kebebasan bersuara tercatat dalam sejarah kelam bangsa. Siapa sangka bahwa tragedi di Indonesia serupa dengan tragedi di Cina tepatnya yang terjadi di lapangan Tiananmen. Hanya saja tragedi Tiananmen ini lebih dulu terjadi di tahun 1989. Apa pemicunya dan bagaimana tragedi ini terjadi?
Pemuda Penggerak Perubahan
Pada tahun 1980-an Cina mengalami banyak perubahan besar pada bidang perekonomian. Untuk mendukung perekonomian, Cina yang saat itu dipimpin oleh partai komunis dengan pemimpin Deng Xio Ping menyepakati untuk mengizinkan beberapa perusahaan swasta dan asing berbisnis di negara itu. Hanya saja kebijakan yang telah dibuat itu tidak bersamaan dengan sikap terbuka pemerintah dan justru menyuburkan ladang korupsi. Sehingga partai komunis yang membuat kebijakan tersebut terpecah menjadi dua kubu dimana kubu yang satu menginginkan perubahan lebih cepat dan kubu yang lainnya menginginkan kontrol yang lebih ketat.
Selain akibat korupsi dan sikap otoriter dari pemerintahan, masyarakat juga menyoroti kematian Sekretaris Jenderal Partai Komunis, Hu Yaobang pada tanggal 15 April 1989. Hu Yaobang sendiri terkenal karena pandangan reformisnya dan kecenderungannya ke arah demokrasi. Masyarakat mulai curiga dengan kematian Hu Yaobang sekaligus geram dengan tingkat korupsi yang tinggi sehingga kemudian memicu demonstrasi besar pada tanggal 22 April 1989. Para demonstran yang mana para mahasiswa ini melakukan aksi demo sekaligus menggelar upacara peringatan resmi untuk mengenang Hu Yaobang di Balai Agung Rakyat di Lapangan Tiananmen.
Para mahasiswa yang berdemo menuntut pertemuan langsung dengan Perdana Menteri Li Peng dan meminta keterbukaan penyebab kematian Hu Yaobang. Pemerintah cina bukannya menanggapi justru menolak pertemuan itu dan memicu aksi demo yang lebih besar yang melibatkan banyak mahasiswa dari berbagai Universitas di Seluruh Cina pada tanggal 27 April 1989. Pemerintah sudah membuat peringatan keras atas aksi demo besar-besar dari mahasiswa tersebut, nampaknya tidak mendapat gubrisan dari para pendemo. Justru meningkatkan jumlah pendemo dari berbagai kalangan setidaknya dengan total hampir satu juta orang.
Tragedi Berdarah Dan Matinya Kebebasan!
Tanggal 20 Mei 1989, Pemerintah Cina mengumumkan darurat militer dan mengerahkan banyak tentara kurang lebih 250.000 tentara dan sejumlah tank ke Ibukota untuk membubarkan masa yang berdemo. Sayangnya para tentara dan tank-tanknya kesulitan bergerak karena demonstran menghadang dengan mengelilingi kendaraan militer tersebut. Para tentara pemerintah berhasil mundur pada 23 Mei 1989. Para mahasiswa dan demonstran tidak ingin mundur walaupun tentara pemerintah sudah berhasil mundur seolah mereka tidak ingin memberi celah pada mereka.
Pemerintah tidak berhenti begitu saja, melalui perdana menteri Li Peng menerbitkan artikel pada surat kabar bahwa para demonstran akan mengosongkan lapangan tiananmen yang membuat para demonstran geram dan semakin kukuh menduduki lapangan tersebut. Sikap keras kepala mahasiswa menyebabkan Pemimpin China Deng Xiaoping menemui para politisi senior partai dan bernegosiasi untuk membubarkan pendemo secara damai. Tapi kenyataannya tidaklah demikian. Tepat pada 3 Juni 1989 para mahasiswa menemukan sejumlah tentara berpakaian sipil yang mencoba menyelundupkan senjata. Selain menyelundupkan senjata, para pemimpin militer ternyata menyepakati untuk mengambil langkah tegas demi menertibkan aksi tersebut. Akhirnya tragedi berdarah tidak bisa terhindari lagi, banyak masa yang terluka dan meninggal dunia demi keterbukaan pemerintahnya. Setidaknya ketegangan berlangsung selama beberapa hari dan beberapa kota lain meluaskan aksi demo ini. Akibat tindakan yang pemerintah cina lakukan, negara itu mendapat kecaman dari dunia Internasional sebagai tindakan pelanggaran HAM dan mendapat sanksi perekonomian setidaknya sampai akhir tahun 1990.
Setidaknya tragedi tiananmen ini menjadi pengingat bagaimana pemerintah berusaha membungkam masalah kebebasan pers, berpendapat, hingga transparansi akan merugikan kehidupan bernegara. Namun kebebasan yang tanpa pertanggungjawaban juga sama merusaknya dengan kehidupan pemerintah yang korup dan tertutup. Bagaimana menurut pendapat kalian?
Source:
dw.com
history.com