Penulis : Dinda Pranata
Mendengar kata atau nama Gowok mungkin sangat asing bagi generasi muda sekarang. Tapi istilah itu mungkin terdengar akrab di telinga kakek nenek atau buyut kita zaman dulu. Masyarakat Jawa pernah memiliki sebuah tradisi untuk memberikan pendidikan seks pada pemuda yang akan menikah dan nama tradisi itu adalah Gowok. Apa itu Gowok dan Apakah ia masih ada?
Nama Tradisi Dari Nama Seseorang
Tradisi Gowok diambil dari nama seorang perempuan Tiongkok bernama Goo Wok Niang. Goo Wok Niang datang ke pulau Jawa atas ajakan Laksamana Cheng Ho. Karena lidah orang Jawa kesulitan untuk memanggil namanya maka mereka memanggilnya dengan sebutan gowok. Perempuan Tiongkok ini kemudian memperkenalkan tradisi gowok yang sebenarnya berasal dari cina dan biasanya dilakukan oleh para pria bangsawan. Tradisi ini biasanya dilakukan oleh wanita dengan rentang usia 20-40 tahun.
Gowok adalah wanita tanpa status pernikahan atau perawan. Mereka biasanya tidak memiliki keluarga tetapi mendapatkan hormat dan kepercayaan dari tokoh desa untuk dititipi seorang perjaka atau laki-laki muda untuk mengajarkan segala hal tentang wanita. Sebelum pria muda ini tinggal di rumah gowok, terdapat perjanjian antara sang ayah dengan nyai gowok tentang waktu mereka akan tinggal entah sehari atau seminggu. Setelah mereka menyepakati durasi waktu perjaka untuk tinggal, barulah perjaka pria tersebut dapat tinggal di rumah nyai gowok.
Pria muda yang tinggal dengan gowok tidak hanya mendiami rumah tersebut tetapi juga tidur dalam kamar yang sama. Selama pria muda tersebut tinggal, mereka akan mendapatkan pelajaran bagaimana cara memperlakukan wanita dengan baik dan menerima pelajaran tentang seluk beluk tubuh wanita serta praktik layaknya hubungan suami istri.
Dilema Antara Prostitusi Dan Nilai Luhur.
Fenomena tradisi ini tercatat dalam beberapa karya sastra bertema etnis seperti karya Ahmad Tohari atau Budi Sardjono, dan lainnya. Dalam perkembangannya banyak yang meninggalkan tradisi ini karena sudah dianggap tidak sesuai dengan norma, etika dan nilai-nilai agama. Dalam perspektif etic, tradisi ini memuat hal berbau prostitusi yang mana di dalamnya ada transaksi, kesepakatan, jasa dan pengguna jasa. Di sisi lain dalam perspektif yang berbeda yaitu perspektif emic tradisi ini bisa menjadi solusi bagi perjaka yang akan menjadi calon suami dengan tanggung jawab yang besar.
Baca juga: Karong Woja Wole, Konstruksi Budaya Manggarai Tentang Perempuan
Berkaca pada nilai perspektif itulah muncul dilema untuk melestarikan tradisi ini. Di sisi lain tradisi ini berbau prostitusi, di sisi lain lagi ajaran tentang pentingnya arti sebuah perkawinan/pernikahan. Sebelum menghilang masyarakat Purworejo dan Banyumas masih memegang tradisi ini sebagai warisan dari leluhur, lalu setelah tahun 1960-an barulah tradisi ini sudah tidak terdengar lagi. Siapa sangka masyarakat dahulu sudah berpikir betapa pentingnya pendidikan seks untuk kehidupan pernikahan? Dan siapa sangka juga di era modern sekarang meyakinkan orang untuk memberikan pendidikan seks masih begitu sulit dan tabu? Bagaimana menurut teman-teman? Yuk bagikan pendapat kalian di kolom komentar!
Source:
tirto.id
hipwee.com