Penulis : Dinda Pranata
Penyitaan buku kerap wara wiri di pemberitaan media massa, mulai dari penyitaan karya sastra seperti ilmu sejarah, ilmu budaya dan bahkan novel-novel. Penyitaan karya sastra kadang berdalih untuk memperbaiki moralitas karena karya sastra yang beredar memuat unsur-unsur imoralitas pada masanya. Tidak hanya penyitaan tetapi hingga pengerusakan karya bukan terjadi baru-baru ini saja pada tahun 2018 di Kediri, pada massa Soekarno dan Orde Baru pun terjadi hal yang sama. Lantas apakah pemerintah sudah melakukan penyitaan buku ini secara adil dan apakah ini memang benar untuk moralitas?
Politik Perbukuan
Pada masa pemerintahan hindia belanda, buku masih belum sepopuler brosur yang ada pada koran atau majalah. Pihak Belanda melarang brosur yang memiliki pandangan berbeda dengan pemerintah seperti Seandainya Saya Warga Belanda karya Soewardi Soeryaningrat tahun 1913. Pemerintah kolonial berusaha membungkam pemikiran kritis dari pemuda dan orang terpelajar dengan penyitaan, larangan terbit hingga hukuman pengasingan dan penjara. Pemerintah kolonial pernah mengasingkan Douwes Dekker, Dr. Tjipto Mangoenkoesomo, Darsono, Marco Kartidikromo, dan yang lainnya.
Mempolitikkan buku itu terjadi ketika percetakan buku baru resmi terbentuk dengan berdirinya Balai pustaka. Namun karena adanya pelarangan segala bentuk karya sastra atau tulis yang bernuansa politik maka balai pustaka menghindari memuat karya-karya sastra yang bernuansa hal itu. Baru pada tahun 1920-1926 saat mulai banyaknya buku yang secara ‘ilegal’ muncul sebagai buku penggerak nasionalisme. Walau pada masa kolonial pemerintah Belanda tidak pernah mengeluarkan undang-undang untuk melarang peredaran buku, namun mereka berusaha mempersulit penerbitan buku. Undang-undang pelarangan buku itu justru datang dari pemerintah Indonesia sendiri.
Pemerintah Indonesia resmi membuat undang-undang perbukuan pada tahun 1950-an. Pada masa awal-awal kemerdekaan banyak sekali pemberontakan dari berbagai tempat seperti Sumatera, Jawa, hingga Sulawesi. Sebagai usaha untuk memadamkan pergolakan pemerintah melalui Angkatan Darat (Saat itu angkatan darat memiliki kekuasaan dalam perpolitikan) berusaha meminimalisir kebebasan pers dengan peraturan No. PKM/001/9/1956. Dengan adanya aturan tersebut pemerrintah mengatur bahkan melarang peredaran media cetak yang mereka anggap memuat unsur-unsur kecaman, prasangka hingga penghinaan terhadap pejabat negara dan konten yang memuat ujaran kebencian serta permusuhan.
Ketika Hukum Merampas Buku, Apa Yang Bisa Diharapkan?
Setelah pemerintah berhasil menumpas PKI, ormas-ormas berhaluan kiri serta memusnahkan para anggota organisasi PKI razia ketat dunia perbukuan semakin masif. Tahun 1965 pemerintah melalui Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan mencabut larangan buku yang ada Era Soekarno. Pemerintah orde baru kemudian memberlakukan peraturan baru yaitu Tap MPR XXV/MPRS1966 yang berisi tentang pembubaran PKI serta pelarangan ajaran Marxisme dan Leninisme yang menjadi dasar pelarangan buku.
Baca juga: Anak Semua Bangsa dan Kapitalisasi dalam Novel Pramoedya Anata Toer
Dari peraturan baru tersebut beberapa buku yang dilarang merupakan bahan ajar dan karya sastra dari beberapa penulis terkenal. Di antaranya Soepardo SH, Pramoedya Ananta Toer, Rukiyah, dan beberapa karya dari penulis Lekra. Pemerintahan pada era Soeharto justru kejam dalam mengkambing hitamkan dunia perbukuan untuk kepentingan politiknya dan lebih liar jika pandangan kritis penulis di masa itu sangat berbeda dengan opini pemerintahnya.
Sepanjang masa pemerintahan Orde baru bisa dibilang bahwa dunia perbukuan dan media informasi benar-benar ‘mati’. Pada 1980-an, buku-buku novel tertralogi karya Pramoedya Ananta Toer karena bagi mereka karya tersebut mengandung ajaran marxisme-leninisme. Lalu tahun 1991, Pemerintah orba menerbitkan UU No. 5 Tahun 1991 yang memberikan wewenang pada kejaksaan agung untuk melakukan razia dan bersih-bersih buku dengan dalih menjaga ketertiban dan keamanan. Periode Orde Baru sudah melarang setidaknya ratusan buku untuk beredar dan dibaca. Barang siapa yang membaca maka siap-siap masuk penjara.
Asas Sita Hanya Dari Praduga.
Puluhan tahun sudah terlewat dari masa orde baru, tetapi isuu razia buku hingga larangan edar buku masih terjadi. Pada tahun 2019 lalu di kota Padang terjadi razia buku. Berdasarkan bbc.com Tim Komunikasi Intelijen Daerah (Kominda) yang merupakan gabungan dari unsur TNI, Polisi, Kejaksaan, Kesbangpol dan lainnya menyita tiga buku yang memiliki indikasi mengandung paham komunis. Buku-buku tersebut antara lain berjudul Kronik 65, Jasmerah, dan Mengincar Bung Besar.
Penyitaan tersebut masih berbunyi ‘ada indikasi’ yang berarti belum pasti isinya memuat hal yang tidak benar. Menurut Airlangga Pribadi seorang pengamat politik penentuan buku-buku yang terlarang tersebut harus berdasar pada proses peradilan dan belum mengikuti perkembangan aturan hukum yang baru. Penyitaan buku tersebut masih mengacu pada hukum lama TAP MPRS No. XXV/1966 yang tidak sesuai dengan kondisi demokrasi yang sekarang.
Ketika menggunakan asas praduga untuk menyita buku bukankah sudah menyalahi undang-undang dasar tentang hak milik pribadi. Penyitaan tanpa mengetahui substansi dan isi dari buku itu sendiri lebih berbahaya bagi kemajuan bangsa yang demokrasi. Berapa banyak buku yang memiliki judul biasa tetapi konten isi buku memuat hal yang meresahkan dan tidak mendidik? bisa saja buku pelajaran sekolah, agama, dan lainnya. Itu bisa menjadi cermin bagi pemerintah dan bangsa untuk tidak selalu menilai judul buku sebagai identitas dan nilai dari buku.
Source:
tirto.id
voaindonesia.com
cnnindonesia.com