Penulis : Dinda Pranata
Tradisi pergundikan sudah sangat familiar di telinga masyarakat indonesia. Beberapa media juga menyoroti istilah-istilah yang pernah netizen pakai yaitu gundik ketika menemui isu perselingkuhan di kalangan publik figur. Asal kata ini sebenarnya ada sejak zaman kolonial dan semakin bervariasi di masa modern. Lantas apa itu tradisi pergundikan itu?
Tradisi Pergundikan Gabungan Patriaki dan Pelecehan.
Para ahli sejarah masih belum mengetahui kapan tradisi pergundikan mulai munculnya di Indonesia. Menurut laman Republika tradisi ini kurang lebih ada sejak kedatangan VOC atau para penjajah Belanda di tahun 1600-an. Pada masa itu kebanyakan dari mereka adalah kaum laki-laki yang tinggal jauh dari strinya sehingga mereka ‘memerlukan’ pelepasan hasrat seksual. Mereka biasanya mengambil para budak wanita yang cantik dari perkebunan untuk mereka jadikan gundik (istilah sekarang adalah selir atau wanita simpanan).
Kebanyakan para gundik yang terpilih akan tinggal dengan para pria Eropa dan masyarakat akan memanggilnya nyai. Tidak hanya sebagai wanita simpanan yang harus melayani hasrat kelaki-lakian tersebut, seorang gundik juga pada akhirnya mengurusi segala keperluan rumah tangga, penerjemah, hingga guru segala hal bagi laki-laki Eropa pada masa itu. Status hubungan para gundik dan pria Eropanya pun tidak jelas, mereka hidup layaknya suami istri tetapi secara hukum kolonial mereka tidak ada ikatan yang sah.
Pria Eropa tidak peduli dengan status gundik yang mereka pilih, entah mereka sudah bersuami atau tidak. Mereka yang terpilih sebagai gundik beserta keluarganya harus patuh pada pria Eropa tersebut dengan imbalan kenaikan status dan keselamatan. Karena mereka harus patuh dan menuruti segala keinginan tuan Eropanya tak jarang pada banyak kasus pergundikan menjadi ladang bagi pelecehan, kekerasan dan eksploitasi wanita pribumi.
Status Yang Abu-Abu Dan Hidup Layaknya Barang Operan.
Tradisi pergundikan ini tidak hanya tentang pelecehan dan kekerasan namun juga ladang eksploitasi wanita kala itu. Wanita yang menjadi gundik tidak hanya melayani satu laki-laki Belanda saja. Dalam laman historia menyebutkan bahwa hidup sebagai gundik atau nyai memiliki resiko untuk mendapat siksaan atau menjadi gundik lebih dari satu pria Belanda. Ini terjadi bila pria Eropa tersebut dipindahkan ke tempat lain, maka Gundik tersebut harus melayani pria Eropa lain yang bertugas sebagai penggantinya.
Baca juga: Ketika Iman Kristiani Diuji, Bagaimana Menghadapi?
Gundik yang dirawat oleh kaum laki-laki Eropa mendapat status yang tidak pasti pada masa kolonial. Di dunia sosial ia layaknya pelacur yang kumpul kebo. Jika dari hubungan nyai atau gundik ini memiliki anak, anak mereka tidak mendapat status yang jelas dari masyarakat. Anak tersebut bisa diibaratkan sebagai ‘anak haram’. Bahkan gundik yang melahirkannya tidak bisa mendapatkan hak asuh dan jika istri dari pria Eropa itu memintanya kembali ke negaranya, maka anak dari gundik itu pun biasanya akan mereka bawa.
Menyadari akan abu-abunya status anak kawin campur ini, Jendral Deandles yang saat itu membutuhkan tenaga militer untuk menghadapi Inggris akhirnya mengesahkan hukum untuk anak-anak kawin campur ini. Keputusan ini ia ambil setelah ia mendapati bahwa anak-anak kawin campur ini justru tertarik bergabung menjadi tentara. Namun keputusan ini justru membuat tradisi pergundikan ini semakin subur.
Suburnya Ladang Perselingkuhan Dan Ketidak Sakralan Pernikahan.
Tradisi pergundikan tidak hanya sebagai cara untuk mengeksploitasi wanita. Tradisi ini membuat sebuah pernikahan atau perkawinan menjadi tidak memiliki arti. Laki-laki Eropa yang tidak perduli pada status gundik yang ia pilih menyebabkan budaya perselingkuhan semakin menjamur pada kalangan pria Eropa di negara Hindia Belanda. Seperti mengutip dari laman tirto bahwa perkawinan pada masa itu ada karena kebutuhan. Tapi perkawinan mereka biasanya berumur singkat Tiap para pegawai berpangkat tinggi pindah ke tempat lain, para pria Eropa akan menceraikan mereka.
Eksploitasi terhadap perempuan begitu banyak terjadi pada masa kolonial. Banyak dari hak wanita pribumi baik secara psikologis dan sosial mereka direnggut paksa bahkan mereka tidak bisa mendapatkan hak atas keturunannya sendiri sebagaimana kodratnya. Demi legitimasi kejantanan pria, dan junjungan budaya patriaki pria Eropa saat itu melegalkan perselingkuhan di dalam pernikahan mereka sendiri di negara asalnya.
Tradisi pergundikan sendiri sekarang sudah tidak ada lagi namun sisanya masih bisa terlihat. Status pergundikan yang sekarang tidak terjadi atas dasar paksaan, pergundikan yang kita tahu sekarang adalah perselingkuhan yang mana terjadi dalam konteks suka sama suka dan mau sama mau. Ini adalah salah satu bentuk peninggalan imoralitas masa penjajahan yang masih tersisa.
Source:
Tirto.id
republika.com
historia.com