Penulis : Dinda Pranata
Sebelum era digital, peranan media cetak sangat membantu mengakomodasi pemikiran kaum intelektual. Semakin maju peradaban dan teknologi maka banyak koran yang beralih dari cetak ke digital. Nyatanya tidak hanya koran, tetapi juga siaran radio, bahkan televisi memanfaatkan media digital untuk menjangkau lebih banyak kalangan. Lantas apakah koran cetak sudah tidak laku lagi di pasaran? Dan bagaimana nasib media cetak selain koran?
Surat Kabar Dari Barat Ke Timur
Saat Johannes Gutenberg menemukan mesin cetak, media cetak menjadi populer dan banyak penikmatnya. Dengan adanya penemuan itu banyak orang yang membuka usaha percetakan dan memproduksi media cetak seperti buku, koran, majalah, hingga brosur. Penemuan itu pula menandai majunya industri percetakan di Eropa. Sebagai imbas penemuan itu, Indonesia yang kala itu menjadi bagian dari jajahan Belanda pun ‘menikmati’ imbas teknologi tersebut.
Terbitnya media masa cetak berupa koran saat itu terbagi dalam dua periode yaitu periode hitam putih dan pergerakan nasional. Para era hitam putih, media cetak koran memang untuk media informasi orang Eropa saja. Berdasarkan Jurnal Informasi yang terbit tahun 2019, mengatakan bahwa media cetak di Indonesia ada pada tahun 1744 dengan judul Bataviasche Nouvelles dan tahun 1828 dengan surat kabar berjudul Javasche Courant di kota Batavia.
Tahun 1858 memasuki periode kedua yaitu pergerakan nasional yang mana mulai muncul media cetak yang berbahasa melayu. Pada masa awal periode media jenis ini masih banyak dipengaruhi oleh berita-berita dari Eropa dan tidak memperlihatkan pergerakan nasional itu sendiri. Media tersebut antara lain Bintang Timur, Bintang Barat, Java Bode, Medan Prijaji, Soerat Khabar Betawi, Hindia Nederland, Bintang Johar, dan Slompret Melajoe.
Media Cetak Yang Terpolitisasi
Faktanya bahwa koran menjadi media yang banyak mempengaruhi pemerintahan sudah terlihat pada awal surat kabar Bataviasche Nouvelles. Awal penerbitan surat kabar ini memuat hanya seputar berita pernikahan, kematian, kelahiran atau kenaikan jabatan dari pegawai pemerintah Belanda. Namun pada tanggal 20 Juni 1746 pemerintah kolonial membredel koran ini karena berani menampilkan kritikan terhadap sikap pemerintah saat itu. Untuk menghindari adanya surat kabar yang menentang pemerintah maka pemerintah memberlakukan peraturan tentang percetakan.
Baca juga: Buku Homo Sapiens yang Menantang Keyakinan dan Logika. Berani Baca?
Menurut Sujomuharjo dalam Jurnal Ilmu Komunikasi tahun 2010 Peraturan pertama mengenai pers di zaman Hindia Belanda ada pada tahun 1856, dalam Reglement op de Drukwerken in Nederlandch-Indie yang bersifat pengawasan preventif. Terbaca dalam RR 1856 (KB 8 April 1856 Ind.Stb.no 74) antara lain; Semua karya cetak sebelum terbit, satu eksemplar harus dikirimkan dulu kepada kepala pemerintahan setempat, pejabat justisi danAlgemene Secretarie. Pengiriman harus dilakukan oleh pihak pencetak atau penerbitnya dengan ditandatangani. Jika ketentuan tersebut tidak dipatuhi, maka karya cetak tersebut disita. Tindakan itu bisa disertai dengan penyegelan percetakan atau penyimpanan barang-barang cetakan itu. (Surjomihardjo, 2001:171-172)
Pada era pendudukan Jepang, surat kabar/koran menjadi sarana untuk propaganda visi dan misi Jepang. Politik dalam percetakan bahkan siaran pers mulai semakin masif terlihat. Jepang perlahan mengambil alih surat kabar dengan memperketat pengawasan terhadap isi surat kabar yang mana dalihnya untuk menghemat alat dan tenaga. Dengan dalih penghematan itu pula sebenarnya Jepang memainkan propaganda terhadap isi dari pemberitaan media surat kabar agar hanya memuji tentara Jepang dan pemerintahannya. Bahkan dalam peraturan mengenai izin penerbitan media cetak (di sini tidak hanya koran) di wilayah Jawa Madura yaitu Undang-undang No.16. Undang-undang itu pun berisi bahwa penerbitan harus memiliki izin terbit dan larangan untuk memusuhi Jepang agar penerbitan tetap berlanjut. Setelah kemerdekaan pun media cetak masih memainkan peranan penting tidak hanya sebagai penyebar informasi tetapi juga sebagai alat propaganda petinggi pemerintahan.
Untung Rugi Atau Mati!
Seiring dengan memasuki era reformasi setelah Orde Baru ‘tutup usia’ peninglatan teknologi mulai berkembang dan kebebasan pers serta pemberitaan mulai terbuka. Beberapa pemilik penerbitan yang sadar teknologi memanfaatkan momen ini untuk mengnkonversi koran yang awalnya tercetak menjadi media digital bernama koran atau surat kabar digital. Seperti yang terdapat dalam jurnal kominfo, Surat kabar digital merupakan salah satu media online yang banyak digunakan dalam pencarian dan penyebarluasan informasi di era konvergensi. Selain faktor-faktor yang berasal dari pembaca dan organisasi media yang meningkatkan popularitas surat kabar digital, perkembangan teknologi internet juga turut memengaruhi perkembangan surat kabar digital, seperti: perkembangan media online, perkembangan perangkat mobile dan smartphones, aksesinternet,
The Vanishing Newspaperterbitan 2006 dalam jurnal Sistem informasi, Philip Meyer meramalkan bahwa pada Tahun 2044 mendatang hanya akan terdapat satu eksemplar surat kabar. Para penerbitan media cetak seperti koran, majalah, tablid semakin kurang memiliki peminat di era digital seperti ini. Jangkauan khalayak yang terbatas pada media cetak dengan cepat tercover dengan akses internet yang dapat terjangkau banyak orang. Hal ini yang membuat media penerbitan mau tidak mau beralih ke media digital ini daripada merugi dan akhirnya mati. Hal ini sejalan dengan survei dari Nielsen Consumer & Media View yang mengatakan bahwa masyarakat yang membaca media cetak pun berasal dari orang-orang berusia 20-49 tahun dengan porsi sebanyak 73%. Hanya 10% anak muda berusia 10-19 tahun yang mengakses media cetak sebagai sumber informasinya. Sebaliknya, sebanyak 17% anak muda berusia 10-19 memperoleh informasi lewat internet. Untuk pembaca berusia 20-49 tahun jumlahnya sebesar 80%.
Dari informasi di atas, kalian masuk team media cetak atau media digital nih? Yuk share jawaban kamu di sini atau bagikan artikel ini jika bermanfaat.
Source:
katadata.co.id
Jurnal Informasi Volume 5 nomor 1, Juni 2019