Penulis : Dinda Pranata
Olimpiade 2020 sempat harus batal karena pandemi corona. Tepat pada tanggal 21 Juli 2021, olimpiade ini terselenggara di negara Jepang. Orang mengenal negara Jepang sebagai negara dengan tingkat kedisiplinan yang tinggi serta beragam teknologi canggih. Walau memiliki serangkaian hasil teknologi canggih Jepang juga memiliki ragam budaya yang unik. Salag satunya adalah budaya haji atau budaya malu. Apa sih budaya malu itu dan apakah budaya ini terkait dengan kedisiplinan?
Konsep Budaya Yang Sudah Mendarah Daging.
Nyatanya budaya malu ini merupakan turunan dari budaya Samurai yang bernama Bushido. Jurnal Eiko Ikigami juga menjelaskan hal ini bahwa dalam budaya samurai terdiri dari na (nama), meiyo (kehormatan), haji (malu), chijyoku (malu), iji (bangga) dan mengoku (wajah). Budaya samurai yang kompleks ini terbawa hingga kehidupan modern sebagai integritas terhadap martabat dan prinsip hidup dari masyarakat Jepang. Kehormatan dan budaya malu pada masa samurai biasanya ditunjukkan pada tradisi harakiri. Untuk menyelamatkan kehormatan keluarganya, samurai akan melakukan harakiri sebagai tindakan terhormat untuk menghindari rasa malu yang bertahan lebih lama.
Pada sebuah jurnal dari Kawijara Miyuu berjudul studi tentang Kesadaran Akan Rasa Malu Dan Budaya Jepang (日本文化と「恥」意識に関する一考察) yang mana memaparkan banyaknya miskonsepsi dari masyarakat luas tentang budaya malu ini hanya sebagai budaya yang waspada terhadap kritik dari luar, penggambaran tentang masyarakat Jepang yang memiliki prinsip yang lebih komunal hingga rasa takut gagal. Budaya ini pada dasarnya saling terpaut antar konsep budaya lain. Konsep budaya itu antara lain ketergantungan (amai), konsep uchi soto (dalam dan luar) dan beberapa konsep budaya lain dalam kehidupan. Lantas bagaimana budaya malu ini terlihat dalam budaya Jepang?
Budaya Malu Dan Kedisiplinan

Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Kent Pauline dalam judul Shame as a Social Sanction in Japan : Shameful
Behaviour as Perceived by the Voting Public menjelaskan studi dalam voting untuk dua masalah. Pertama tindakan dari politikus atau pejabat pemerintahan yang mereka anggap memalukan. Kedua tindakan warga biasa yang mereka anggap memalukan. Dalam sistem voting yang peneliti lakukan dengan mengirimkan survei tahun akhir tahun 1989- awal januari 1990 dan mendapatkan jawaban sekitar 1,849 responden. Penelitian itu menjabarkan jawaban sebagai berikut :
- Untuk politikus hal yang paling memalukan seperti: Korupsi dan nepotisme (32,6%), Keegoisan pribadi (20,9), Tidak patuh hukum (17,1%), Terlibat prostitusi atau tindakan tidak bermoral (17%) dan penyalahgunaan kekuasaan (12,4%)
- Untuk warga biasa yang paling memalukan seperti: Korupsi dan nepotisme (29,6%), Tindakan tidak bermoral (22,9%), Ketidakpatuhan norma dan hukum (18,5%), mengganggu kehidupan masyarakat (17,7%), dan penyalahgunaan kekuasaan atau kekuatan (11,3%)
Seperti yang dilansir dari halaman japan times yang mana sebuah fenomena pengunduran diri dari salah satu birokrat pemerintahan di Jepang beberapa waktu lalu. Sekretaris Kabinet bagian hubungan publik bernama Makiko Yamada terlibat atas skandal Seigo Suga pemiliki korporasi satelit yang melakukan lobi dengan kementrian komunikasi Jepang sehingga memicu skandal internal pejabat. Atas skandal ini membuat Pejabat kementrian komunikasi dan sekretaris kabinet bagian hubungan publik mengundurkan diri dari jabatannya. Ini menjadi salah satu contoh bagaimana budaya haji ini sudah menjadi bentuk hukuman jika masyarakatnya ketahuan melakukan pelanggaran hukum.
Baca juga: Ohaguro, Tradisi Nginang Ala Jepang! Nggak Percaya?
Jadi budaya malu sudah ada sebagai konsep hidup masyarakat Jepang dan menjadi sentaja pendisiplinan bagi mereka melanggar hukum. Lantas bagaimana dengan konsep budaya Jepang yang lain?
Source:
japantimes.co.jp
pauline,kent.1992.Shame as a Social Sanction in Japan : Shameful Behaviour as Perceived by the Voting Public, Japan Review vol. 3: 93-100
Kawijara,Miyuu. 日本文化と「恥」意識に関する一考察