Penulis : Dinda Pranata
Istilah subak nampaknya sering kita dengar semasa sekolah saat pelajaran IPS. Apakah ada yang masih ingat? Ya, Subak merupakan sistem pengairan di sawah dan juga merupakan sistem management pengairan tingkat desa di Bali. Tapi taukah kalian bahwa sistem irigasi?
Subak Menjadi Warisan Budaya Dunia 2012.
Bagaimana menjaga lingkungan hidup dapat berkontribusi dalam memelihara keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia, salah satunya yang orang Bali lakukan adalah dengan menjalankan Subak ini. Berdasarkan laman historia sistem subak tercantum dalam prasasti Sukawarna tahun 882M dan prasasti Trunyan 891M yang mana pada prasasti-prasasti tersebut menerangkan tentang sawah (huma) dan orang yang mengatur pengairan air danau (serdanu). Para sejarawah menduga asal kata Subak berasal dari kata Suwak yang artinya pengairan yang baik.Di wilayah Klungkung kala itu sudah menggunakan istilah suwak ini dengan bukti adanya prasasti Pandan Buleleng (1071) dan prasasti klungkung (1072).
Kita bisa mengatakan kalau sistem irigasi ini merupakan sistem pengairan tertua. Walau sistem ini terkait dengan pengairan sawah tidak, tetapi sistem ini lebih kompleks dari dugaan. Sistem irigasi ini meliputi sistem komunitas, hukum, dan kepercayaan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Berdasarkan penelitian dari Dik Roth berjudul The Subak in Diaspora: Balinese Farmers and the Subak in South Sulawesi mengatakan bahwa sistem ini telah berkembang berabad-abad di lingkungan sosial-budaya, agro-ekologis dan politik-administrasi di Bali. Bahkan, ada masa pemerintahan kolonial sistem subak telah melintasi pulau sampai ke Sulawesi Selatan.
UNESCO sendiri pada tahun 2012 mengukuhkan sistem irigasi tradisonal ini sebagai warisan budaya Dunia yang perlu dilestarikan. Dalam penilaiannya terdiri dari nilai sejarah, nilai ekologi, nilai religi hingga nilai sosial yang unik. Sistem ini mampu menjadi solusi untuk lahan pegunungan terjal di Bali.
Cinta Segitiga Antara Kita, Alam Dan Tuhan.
Berbicara tentang cinta, cinta segitiga yang semua berbahagia nyatanya ada. Kalau kebanyakan cinta segitiga yang kita tahu akan membawa salah satu pihak sedih, namun berbeda dengan cinta segitiga antara kita, alam dan Tuhan. Itulah salah satu filosofi yang ada dalam sistem pengairan tua yang biasanya mereka sebut sebagai Tri Hita Karana. Tri HIta Karana adalah tiga penyebab kebahagiaan yang terdiri dari Parhyangan (Hubungan manusia dengan Tuhan), Palemahan (hubungan manusia dengan lingkungan), dan Pawongan.(Hubungan manusia dengan sesama). Konsep Tri Hita Karana sendiri merupakan konsep universal yang bisa diterapkan pada masyarakat apapun dan siapapun. Bisa diibaratkan konsep tri hita karana seperti konsep budaya Zen di China, Jepang atau Korea tentang harmonisasi kehidupan.
Baca juga: Tradisi Mekotek di Desa Munggu, Mengwi-Bali
Berdasarkan pada jurnal milik Wayan Windia,dkk berjudul Penerapan Tri Hita Karana untuk Keberlanjutan Sistem Subak yang Menjadi Warisan Budaya Dunia: Kasus Subak Wangaya Betan, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan bahwa penerapan masing-masing elemen filosofi keseimbangan alam, manusia dan Tuhan masih sangat tinggi. Bagi masyarakat Bali pada umumnya mereka menilai alam sebagai penyedia kehidupan bagi manusia yang harus dijaga kelestariannya. Sedangkan manusia yang menjaga alam sama dengan cara mereka beribadah kepada Tuhan. Cinta segitiga antara kita, alam dan Tuhan bisa saling menyambung dan harmonis. Dengan melestarikan budaya artinya kita ikut menjaga lingkungan.
Adakah kalian yang sudah pernah ke Bali dan menyaksikan langsung bagaimana subak ini?
Source:
Roth, Dik. 2011. The Subak in Diaspora: Balinese Farmers and the Subak in South Sulawesi . Human Ecology Vol.39: hal.55-68
Windia,Wayan, dkk.2015. Penerapan Tri Hita Karana untuk Keberlanjutan Sistem
Subak yang Menjadi Warisan Budaya Dunia: Kasus SubakWangaya Betan, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Jurnal Agribisnis Vol.3 No.1: hal 22-33
Unesco.org
historia.com