Penulis : Dinda Pranata
Meditation karya Marcus Aurelius ini sangat mengena tentang kehidupan. Buku ini bercerita bagaimana pandangan sang Raja yang bijak tentang kehidupan. Buku ini mengingatkan kita untuk hidup dengan baik dan selaras dengan tujuan manusia atau selaras dengan alam. Bagaimana isi buku ini dan bagaimana milenial zaman sekarang bisa menerapkan pandangan ini?
Meditation: Damai Itu Dari Mindsetmu!
Siapa yang tidak ingin damai? siapa juga yang tidak mau menjadi positif? Tapi apakah semudah itu menjadi damai atau positif. Tidak. Tidak semudah itu jika kita tidak berlatih. Nyatanya lebih dari dua milenium Raja sekaligus filsuf Yunani Marcus Aurelius sudah menyadari keadaan ini. Manusia tidak akan pernah bisa sempurna dan akan selalu menghadapi berbagai kecemasan, kekhawatiran dan hal yang lainnya. Tapi bagaimana kita bisa menghadapi itu?
Dalam istilah psikologi kita mengenalnya dengan istilah mindfulness. Mindfułness ini semacam meditasi yang melatih seseorang untuk mengenali dan merasakan sensasi dalam tubuh ketika menghadapi emosi yang dirasakan. Meditasi ini tak hanya menangkap sensasi tubuh saat menghadapi emosi tetapi juga menangkap segala pikiran yang ada. Pada dasarnya segala rasa yang kita rasakan bisa kita kendalikan. Caranya? Dengan mengubah persepsi saat kita menerima perasaan itu.
Hapus persepsi yang kau miliki dan dengan demikian kau telah menghilangkan keluhan, “aku disakiti.” Singkirkan keluhan “Aku disakiti,” maka rasa sakit tersebut pun akan terhapus.
Apa yang tidak membuat manusia berada dalam kondisi yang lebih buruk, juga tidak membuat hidupnya menjadi lebih buruk, hal itu pun tak akan menyakitinya, baik dari luar maupun dari dalam dirinya sendiri.
Buku 4 Meditation hal 79.
Merasakan Rasa Itu Mudah, Menyadarinya Tidak!
Nyatanya orang yang menyadari dan mengakui sedang mengalami emosi tertentu, tidaklah banyak. Mereka mungkin bisa merasakan bahagia, sedih, kecewa tetapi kebanyakan mereka tidak mau atau tidak bisa menyadari bahkan mengakui dirinya mendapatkan emosi tersebut. Kita cenderung menerima saja tetapi jarang bisa menyadari kondisi tubuh ketika emosi tersebut melanda diri kita. Mengapa?
Jawabannya sederhana yaitu takut terhadap pandangan orang lain. Perasaan kita adalah milik kita, dan kita sendiri yang mampu mengaturnya. Pandangan orang lain adalah hal yang tidak dapat kita kendalikan dan berada di luar jangkauan kita. Namun, bolehkah kita menunjukkan emosi di depan orang lain seperti marah, kecewa, bahagia? Tentu saja boleh, dengan kadar secukupnya dan sewajarnya. Bagaimana tahu itu sewajarnya? Marcus Aurelius menyatakan bahwa sesuatu yang berlebihan akan membuat kita bertindak yang tidak selaras dengan alam.
Secara alami manusia memiliki indra perasa yang mampu merasakan berbagai hal. Jika kita menyangkal perasaan itu sama artinya kita melawan sifat alami manusia. Tetapi memiliki perasaan tersebut juga bukan berarti kita bisa sesuka hati mengumbarnya sampai lupa akan tugas utama kita sebagai manusia. Lalu bagaimana maksudnya? Kita memiliki rasa kecewa, maka tugas kita adalah jangan dengan sengaja membuat orang lain kecewa. Kita bisa merasa terluka dengan perkataan orang lain, maka jangan pula kita sengaja menyakiti orang lain dengan perkataan kita.
Melakukan pekerjaan yang benar merupakan sebuah kepuasan bagi manusia. Dan, pekerjaan yang benar bagi manusia adalah yang memembawa kebaikan untuk sesama.
Buku 8 Meditation hal 210
Kita mudah sekali menjadi perasa dengan perkataan orang lain, tetapi kurang peka terhadap perkataan kita sendiri baik ke dalam diri maupun ke orang lain. Ini lah keunikan dari buku meditation yang merupakan salah satu acuan dalam filsafat stoik. Ia mengajarkan kita untuk berpegang pada diri sendiri namun tidak berlebihan dalam memahami diri sendiri sebagai tindakan yang narsis. Justru filsafat stoik menekankan untuk melihat ke dalam diri sebagai manusia yang berupaya menjadi baik bagi sesama manusia lain.
Baca juga: Resensi - Filosofi Teras. Jangan Bermain-Main Dengan Mindsetmu!
Tantangan Tentang Buku Ini.
Hal yang menantang dari buku ini bukan dari bahasa yang selalu kita kira sulit. Justru kita mudah memahami bahasanya karena bukan bahasa sudah sesuai dengan mereka yang sulit mencerna filsafat. Tapi hal yang paling sulit diterima justru hal yang kebanyakan manusia takutkan. Apa itu? Ketergantungan dengan hal duniawi.
Ketergantungan pada hal duniawi contohnya ketenaran, kekayaan dan kehidupan yang abadi. Dari buku ini banyak hal yang perlu kita minimalisir satu per satu bahkan keinginan untuk tenar, kaya raya hingga usia panjang. Mengapa? Karena itu semua lagi-lagi tidak bisa kita kendalikan. Dalam kehidupan semua orang berambisi untuk menjadi berkecukupan tapi kadang kala kita menjadi terlalu berambisi untuk hidup lebih.
Contoh sederhananya yang paling sering kita lakukan adalah keinginan untuk makan. Saat kita melihat iklan Pizza di televisi membuat kita ingin makan pizza, tapi apa daya kita saat ini hanya mampu makan tahu, tempe, sayur bayam dan telor. Suatu ketika kita bisa makan pizza, lantas ada toko steak yang terkenal di kota membuat kita ingin makan steak. Itulah tantangan yang cukup sulit kita kendalikan. Bukan merasa cukup saat ini kita tidak kelaparan, melainkan kita terus berambisi untuk memenuhi keinginan kita. Tidak hanya makanan, mengatur keinginan untuk selalu lebih menjadi hal yang tidak mudah di dalam kehidupan. Bukan kah begitu?
Adakah dari kalian yang sudah membaca buku ini? Bagaimana menurut kalian? Jika kalian merasa artikel ini bermanfaat, kalian bisa bagikan informasi ini dan bantu kami berkembang.