Penulis : Dinda Pranata
Banyak novel yang bercerita tentang kehidupan remaja berpusat tentang kehidupan romansa laris di pasaran. Kali ini kita akan membahas salah satu novel remaja (lebih tepatnya untuk pembaca usia 18 tahun ke atas ya) berjudul the perks being wallflower. Novel ini nyatanya sangat berbeda dengan novel remaja dewasa pada umumnya, sang penulis mengemasnya dengan gaya penulisan surat seolah-olah kita menerima surat dari si penulis. Ibaratnya kita menjadi semacam diary bagi si penulis. Apa menariknya dari buku ini dan bagaimana tantangan pembaca novel ini?
The Perks of Being a Wallflower Dan Serba Serbi Kehidupan Remaja.
Remaja identik dengan kehidupan dalam mencari jati diri, episode kehidupan pubertas, dan transisi kehidupan dari anak-anak ke ranah dewasa muda. Peran utama remaja disini bernama Charlie. Buku The Perks of Being a Wallflower merupakan cerita kehidupan charlie yang ia mulai dari kisah tragisnya yang kehilangan sahabat karena bunuh diri dan bibinya bernama Helen yang meninggal akibat kecelakaan.
Setelah kematian bibi Helen yang meninggal akibat kecelakaan saat membelikan Charlie hadiah, si remaja ini menjadi orang yang pendiam dan sering menyalahkan diri sendiri. Bahkan beberapa kali orang tuanya menemukan ia melamun dan terlihat begitu depresi hingga orang tuanya memutuskan untuk membawanya ke psikolog anak. Namun, sayangnya hal itu tidak membantunya untuk pulih. Hingga akhirnya ketika memasuki bangku SMA ia berteman dengan Sam dan Patrick yang merupakan saudara tiri.
Dari Sam dan Patrick, Charlie mengenal kehidupan remaja yang cukup mengesankan. Ia mengenal pesta kelulusan, perkumpulan siswa, senior, hingga ‘gelapnya’ dunia remaja. Dalam berbagai episode perjalanan cerita Charlie, ia yang awalnya sosok pendiam menjadi sosok yang lebih terbuka daripada dahulu. Seperti kehidupan remaja SMA pada umumnya, tentu saja Charlie merasakan pengalaman romansanya dengan Sam (sahabatnya). Walaupun kisahnya hanya menjadi cinta bertepuk sebelah tangan, namun charlie justru memaknainya dengan cara yang berbeda. Dalam novel romansa remaja akan banyak muncul drama, saat tokoh utama kecewa dengan kisah cinta sebelah tangan. Tetapi novel ini terlihat begitu realistis dari kacamata orang dewasa dalam menyikapi cinta bertepuk sebelah tangan ini.
Menilik Sisi Kemanusiaan.
Dalam buku ini ada salah satu isu sensitif yang sedang gaung di beberapa negara yaitu masalah atau isu LGBT. Novel ini tidak membahas bahwa kaum penyuka sejenis itu hal yang tabu, tetapi melihat kisah ini melihat sosok pecinta sesama jenis sebagai manusia juga yang memiliki hati nurani dan kondisi psikologis yang berbeda dengan orang normal. Patrick saudara tiri Sam salah satu tokoh yang berperan sebagai gay. Charlie si tokoh utama justru melihat patrick bukan sebagai orang yang patut dijauhi karena ‘perbedaan’ itu, justru ketika melihat lebih dalam patrick dan sam memiliki latar belakang keluarga yang ‘tidak baik-baik’ saja.
Baca juga: Literasi Usia Dini Antara Ekspektasi dan Realita
Masalahnya, Brad kemudian datang ke sekolah dalam keadaan mabuk dan teler,padahal dia dan Patrick tidak bercumbu di sekolah. Mereka cuma bercumbu di pesta-pesta hari jum’at, tapi Patrick mengatakan Brad bahkan tidak sanggup memandangnya di koridor, apalagibicara dengannya. Diperlakukan seperti itu adalah cobaan berat sebab Patrick sungguh menyukai Brad.
The Perks of Being a Wallflower hal.52-53
Charlie dapat menilai teman-temannya secara dalam. Seperti contohnya walau ia berteman dengan seorang gay bukan berarti gay itu orang yang tidak bermoral. Tokoh Charlie di sini memandang gay terlebih karena ada sisi kemanusiaan yang ia lihat, bisa karena kehidupan keluarga patrick dan sam yang kurang harmonis atau juga penyebab kurangnya kasih sayang dan perhatian dalam keluarga mereka. Lantas apa yang menantang dari buku ini?
Menilik Obyektifitas Dan Pesan Moral.
Di Indonesia kurang bisa menerima beberapa hal dalam novel the perks of being a wallflower ini seperti pergaulan bebas anak muda, rokok, narkotika, clubbing, pesta minuman keras dan bahasa ‘vulgar’ terkait hubungan pria dan wanita. Ini menjadi salah satu tantangan pembaca untuk menilik kecocokan budaya antara norma di barat dan di timur seperti Indonesia. Walau memiliki unsur-unsur budaya barat yang terlihat jelas, bukan berarti novel ini jelek dan tak layak baca. Satu hal ketika membaca buku ini pastikan agar pembaca tidak menelan mentah-mentah apa yang mereka pikir baik, karena belum tentu bisa kita terapkan dalam konteks budaya yang kita miliki
.
Secara obtektif pembaca perlu memilah mana unsur budaya dan pemikiran penulis yang relevan dengan saat ini. Seperti nilai kemanusiaan, nilai persahabatan, realitas cinta yang tidak harus memiliki, hingga hubungan kekeluargaan yang begitu saling mendukung. Selain itu dalam novel the perks of being a wallflower juga menyorot pentingnya dukungan orang tua terhadap anak-anak mereka saat mengalami keterpurukan. Hal ini terlihat dari bagaimana orang tua Charlie memperhatikannya ketika ia mengalami depresi saat bibi Helen meninggal dan dengan sigap membawanya ke psikiater.
Baca juga: Sang Alkemis, Kisah Penggembala Domba dan Penaklukan Gurun
Apakah dari kalian ada yang sudah membaca buku ini? Yuk bisa sharing pengalaman kalian di kolom komentar.
Bagi kalian yang merasa artikel ini menarik, kalian bisa membagikannya di media sosial lain dan membantu kami berkembang.