Home / Headline / Jendela

Childfree-Salah dan Benar Dalam Keputusan.

Senjahari.com - 02/09/2021

Childfree-Salah dan Benar Dalam Keputusan.

Penulis : Dinda Pranata

Child free menjadi isu sosial yang cukup hangat di media sosial dan dunia maya. Alasannya karena salah satu youtuber memutuskan untuk tidak mempunyai anak alias kehidupan childfree. Sebenarnya apakah salah untuk memilih tidak punya anak? Dan Apakah baik jika kita memutuskan tidak memiliki anak?

Child Free Menentang Kodrat Kebutuhan Makhluk Hidup.

Dalam sebuah jurnal psikologi berjudul Study finds participants feel moral outrage toward those who decide to not have children tahun 2017 lalu menyebutkan bahwa banyak stigma negatif dan bias moral terhadap mereka yang memutuskan untuk tidak memiliki anak. Mulai stigma tentang mereka yang menyalahi kodrat, tidak bermoral sebagai manusia, hingga sanksi sosial. Mereka yang mendapatkan stigma seolah mendapatkan paksaan untuk memiliki anak sehingga muncul anggapan menjadi orang tua adalah keharusan moral.

Peneliti memasukkan beberapa faktor yang menyebabkan seseorang enggan memiliki anak yang mana erat kaitannya dengan psikologi seperti trauma terkait hubungan dengan orang tua, hubungan dengan anak atau pasangan sehingga memicu adanya keputusan tersebut. Selain adanya faktor psikologis, pengaruh faktor ekonomi, tingkat pendidikan dan tingkat kepuasan hidup juga turut mempengaruhi pasangan untuk childfree. Berarti mereka melawan kodrat manusia sebagai orang tua?

Iya. Utamanya jika mereka berstatus mampu memiliki anak tapi memutuskan untuk tidak punya anak. Secara ilmiah dan secara spiritual pada dasarnya memiliki anak sama dengan melestarikan manusia agar tetap berkembang dan tidak punah. Namun pemilihan keputusan ini menjadi lebih rumit ketika kita melihat dari berbagai aspek. Pertanyaan yang kemudian berkembang adalah seberapa bertanggung jawabnya dan seberapa siapnya pasangan tersebut menjadi orang tua untuk anak-anaknya. Pertanyaan itu mengubah kebutuhan manusia untuk melestarikan spesies menjadi begitu subyektif.

Memiliki Anak Adalah Kebutuhan?

Seperti makhluk hidup lainnya yang memiliki kebutuhan untuk berkembang biak dan melestarikan spesiesnya, manusia harus memiliki anak. Prinsip itu tidak hanya berlaku untuk bidang ilmiah saja tetapi juga untuk keyakinan spiritual manapun. Selain itu memiliki anak pun membantu menjalankan roda perekonomian sebuah negara atau masyarakat. Lalu salahkah mereka yang tidak ingin punya anak tetapi bisa punya anak? Salah dan benar menjadi dilema.

Baca juga: Alasan Rasa Insecure Dalam Hubungan. Apa Kamu Salah Satunya?

Untuk menjawab itu seseorang perlu tahu apa penyebab seorang individu atau pasangan tidak ingin memiliki anak, padahal itu sebuah kebutuhan. Sebuah penelitian berjudul Childfree by Choice tahun 2003 dengan responden orang Kanada berusia 20-34 tahun menyatakan untuk tidak memiliki anak. Kondisi yang diambil oleh mereka kebanyakan mengenai kondisi ekonomi yang mana jika memiliki anak mereka perlu mengeluarkan dana yang cukup besar. Ada juga mereka yang mempertimbangkan pekerjaan atau karir yang mereka korbankan jika mereka harus memiliki anak utamanya adalah wanita. Selain itu, faktor masa kecil saat anak-anak juga turut memainkan peran pengambilan keputusan untuk childfree.

Memiliki anak tidak hanya membutuhkan kesiapan baik fisik dan mental. Kondisi tidak ingin memiliki anak menjadi kurang tepat saat mereka secara finansial sudah mampu dan secara mental mereka baik-baik saja atau hanya sekedar ikut-ikutan orang lain tanpa ada pertimbangan yang jelas. Namun akan menjadi tepat saat alasan pasangan jelas dan bisa diterima akal. misalnya pasangan memiliki kondisi psikologis yang labil seperti depresi, kecemasan berlebih dan lainnya. Jika memang memiliki kondisi ini salah satu cara terbaik adalah menunda atau tidak memiliki anak. Mengapa tidak dikatakan benar atau salah?

Memiliki Anak = Menambah Populasi Manusia Yang Baik.

Pertimbangan Childfree
ilustrasi pertimbangan childfree. Design by canva.com

Memiliki anak artinya kita menambah populasi manusia di bumi. Saat seorang bayi lahir yang notabene ia juga manusia maka para orang tua dan calon orang tua harus siap merawat manusia yang lahir sebaik-baiknya. Tidak sedikit mereka yang memiliki anak justru menyia-nyiakan kehidupan manusia baru itu. Berdasarkan informasi dari kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak, pada tahun 2020 kekerasan terhadap anak masih tergolong tinggi. Berdasarkan data SIMFONI PPA, pada 1 Januari – 19 Juni 2020 telah terjadi 3.087 kasus kekerasan terhadap anak, diantaranya 852 kekerasan fisik, 768 psikis, dan 1.848 kasus kekerasan seksual. Kekerasan anak yang terus terjadi karena adanya faktor paradigma orang secara turun temurun tentang kekerasan anak yang mempengaruhi kondisi psikis anak di masa lalu.

Kondisi psikis inilah yang mempengaruhi keputusan anak yang mengalami kekerasan dalam rumah memilih untuk tidak memiliki anak. Alasannya karena tidak ingin mengulang apa yang terjadi di masa lalu. Mengatakan benar atau salah menjadi sangat sulit mengingat banyak aspek yang harus diperhatikan dan dinilai secara obyektif. Memiliki anak membutuhkan tanggung jawab yang besar seperti merawatnya, mengasihinya, mendidiknya agar menjadi manusia bermoral dan berbudi. Tidak hanya sekedar melahirkan dan melanjutkan regenerasi manusia saja. Kesiapan secara mental dan tanggung jawab justru perlu dibangun saat mereka masih kecil dengan pola asuh yang baik. Tanpa adanya kesiapan dan kematangan menjadi orang tua justru merugikan generasi baru tersebut. Lalu apakah membiarkan kondisi childfree tersebut?

Keputusan Dan Konsekuensi Pilihan.

Dalam setiap keputusan yang pasangan ambil memiliki konsekuensinya masing-masing. Misalnya mereka yang mengambil keputusan untuk childfree lepas dari konsekuensi itu? Tidak. Mereka yang memutuskan untuk childfree menghadapi tantangan seperti stigma sosial yang harus mereka tanggung dalam komunitasnya, tidak adanya penerus dalam keluarga, ketidakstabilan di masa tua, serta hubungan yang kurang harmonis dengan keluarga atas pengambilan keputusan tersebut. Walau tantangan itu ada bagi orang yang memutuskan childfree, apa orang yang memutuskan memiliki anak pun terbebas dari konsekuensi itu? Tidak. Mereka yang memutuskan untuk memiliki anak sekalipun memiliki tantangan serupa seperti mereka mempersiapkan secara matang finansial untuk kebutuhan anak mereka, kehilangan kebebasan mereka untuk ‘me time’, intensitas waktu dengan pasangan menjadi berkurang dan tingkat stress yang menjadi lebih tinggi.

Baca juga: Attachment Sytle dan Kehidupan Cinta! Kamu Tipe Yang Mana Nih ?

Setiap pasangan yang bijak memutuskan setiap pilihan memalui berbagai pertimbangan. Apakah berarti keputusan yang diambil oleh mereka yang memutuskan childfree egois? Kita tidak pernah bisa menilai apakah keputusan seseorang itu egois apa tidak, hanya dari satu sisi apalagi hanya melihat dari sisi kita yang memiliki prinsip untuk memiliki anak. Mereka menghadapi konsekuensi yang harus mereka hadapi, sama dengan yang memiliki anak yang menghadapi berbagai konsekuensi dari pilihannya. Lantas apa dampaknya ya kalau childfree ini menjadi trend ke depan?

Bagimana menurut kalian? Bagi kalian yang merasa informasi ini berguna, mari bagikan artikel ini dan bantu kami berkembang.

Source:
kompas.com
Sciencedaily.com
Patnani, MIwa, dkk. 2020. The Lived Experience of Involuntary Childless in Indonesia: Phenomenological Analysis. Journal of Education, Health and Community Psychology: 166-183
Stobert, Susan & Anna Kemenny. 2003. Childfree by Choice. Statistics Canada, Catalogue No.11-008

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

*

Post comment

Comment

Yunita Sintha Dewi

Setiap hal punya 2 sisi berbeda iya layaknya pedang. Disaat seseorang merasa child-free itu nggak salah, disisi lain pun pasti ada yang kontra dengan itu. Kebanyakan pasti kontra karena aspek agama.
Hal ini pernah dibahas soalnya di tempatku kerja, kata temenku,
“Itu menyalahi kodrat wanita yang harusnya punya anak..”
Agak gemes gitu iya dengernya. hahahaha

Kalau menurut pandanganku, Wanita juga manusia yang TUHAN ciptakan dan punya free-will selayaknya manusia lain. Bebas memutuskan sesuatu di hidupnya asal hal baik dan masuk akal mungkin iya. Kasian dong kita kalau lahir diharuskan punya takdir punya anak sedangkan banyak aspek dihidup dia yang terasa sulit keadaan untuk punya anak.
hehehehe pikiran aku sih begitu.

makasih mbak dibahas. suka!!!

1 Response