Penulis : Dinda Pranata
Tidak ada yang menduga sedikit pun termasuk aku atau ayahku, bahwa ibuku mengidap tumor payudara. Ketika itu hujan di kota begitu lebat, dan aku masih ingat betul bagaimana aku buru-buru pulang dengan hanya berpamitan pada HRD kantor karena mendengar berita ibuku mengidap tumor payudara. Menurut dokter tumor tersebut memungkinkan berubah menjadi kanker payudara jika tidak segera mendapat penanganan. Dengan buru-buru aku mengemudikan motorku sampai ke rumah sakit yang penuh dengan para dokter, pasien, perawat dan tentu saja bau obat yang khas. Terlintas dalam benakku mengapa ini semua bisa terjadi?
Bicara Payudara Tidaklah Tabu Jika Menyangkut Nyawa.
Ibuku memang selalu merasa tabu jika membicarakan masalah bagian tubuhnya, entah dengan anak perempuannya atau dengan ayahku sekalipun. Mau tidak mau aku harus belajar mencari sendiri informasi terkait kesehatan vagina atau payudara. Di antara informasi itu ada satu hal yang tidak pernah aku lalukan yaitu pemeriksaan secara berkala untuk kesehatan tubuh. Alasannya karena ya aku merasa tidak nyaman membicarakan itu dengan orang lain bahkan dokter sekalipun. Tapi nyatanya aku justru melewatkan hal yang penting.
Kanker payudara tidak bisa terlihat secara kasat mata, ia ibarat hantu yang menghantui kaum hawa dan menjadi penyebab kematian nomor dua terbanyak setelah kanker serviks. Lalu siapa saja yang bisa berpeluang terkena kanker payudara? Laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang sama terkena kanker payudara dengan resiko terbesar adalah mereka yang berasal dari kaum hawa. Selain itu mereka yang memiliki orang tua dengan penyakit kanker payudara, memiliki resiko 5-10% untuk membawa gen ini dalam tubuhnya. Walau tidak semua orang yang terkena kanker payudara memiliki keluarga yang mengidap penyakit sejenis, kita juga perlu waspada akan hal tersebut. Sehingga, pemeriksaan yang tidak pernah aku lakukan menjadi perlu dilakukan.
Kanker payudara juga bisa terjadi karena seseorang melakukan pola hidup yang tidak sehat. Pola hidup ini seperti apa? Contohnya kurang berolahraga, mengkonsumsi minuman beralkohol, dan jarang mengkonsumsi sayur serta buah atau tidak bisa mengelola stress dengan baik. Tidak hanya pola hidup yang tidak sehat, faktor lain bisa menjadi penyebab kanker payudara seperti menstruasi dini, hamil usia tua, pernah menjalani terapi radiasi ke payudara atau dada, durasi menyusui pada saat memiliki anak, dan adanya riwayat tumor jinak. Dengan adanya kenyataan itu, aku memberanikan diri untuk memeriksakan diri di salah satu klinik kanker di kotaku.
Dalam kanker terdapat dua cara pemeriksaan yaitu metode screening atau deteksi dini. Bedanya apa? Screening merupakan pemeriksaan suatu penyakit tanpa adanya gejala tertentu. Sedangkan metode deteksi dini merupakan suatu pemeriksaan yang dilakukan ketika seseorang merasakan adanya gejala atau keluhan atas suatu penyakit. Pada usia 30-39 tahun biasanya disarankan untuk melakukan cek menggunakan usg payudara karena payudara masih padat. Sedangkan untuk usia 40-50 tahun metode pemeriksaan bisa dilakukan dengan mamografi. Mamografi sendiri adalah suatu proses pemeriksaan payudara dengan menggunakan sinar-X dosis rendah.
Lagi-Lagi Karena Cinta Para Penderita Bisa Berdamai Dengan Rasa Sakitnya.
Ketika berada di rumah sakit barulah aku bisa berbicara dengan ayahku. Karena ibu menjalani operasi esok harinya, hari itu aku hanya menemani ayahku sembari menunggu pemeriksaan lanjutan ibu sebelum operasi. Sembari menunggu di kamar pasien, aku bisa melihat wajah ayah yang tenang namun dengan gerak gerik memutar-mutar jempolnya aku bisa tahu bahwa ia begitu khawatir.
“Ayah tidak pernah menduga ini adalah tumor.” Ia tiba-tiba menghela nafas dan melirik padaku. “Beberapa bulan lalu ibu merasa ada sesuatu yang mengganjal pada payudaranya.”
“ibu bilang begitu?” Aku pun heran jika sudah tahu ada sesuatu yang aneh dengan payudaranya mengapa tidak segera memeriksakan diri. Ya, aku hanya bisa membatin saja.
“Ibu orang yang sangat tertutup dan sebenarnya ia ragu untuk memeriksakan diri. Ia sendiri sangat takut jika harus mendengar tentang ini.” Ayah mengubah arah duduknya sehingga bisa berhadapan denganku. “Kau tahu tante Arianti. Adik ibu di Jakarta? Ia menderita kanker payudara stadium tiga dan sekarang juga masih dalam pengobatan kemoterapi.” Aku mengangguk karena Tante Titi (begitu aku memanggilnya) salah satu Tante yang dekat denganku. “Ayah dengar dari dokter bahwa ini bisa jadi penyakit turunan dari Almarhum nenek ibu yang juga meninggal karena kanker 20 tahun yang lalu.”
“lalu bagaimana ayah membujuk ibu supaya memeriksakan diri dan dioperasi?” Aku tahu bagaimana ibuku yang tertutup.
“JIka tidak diperiksa, ibu pasti akan terus merasa khawatir dan takut kan.” Ayahku pun tersenyum dan kata-kata itu yang memang masuk akal, “Apapun hasilnya kita semua pasti akan mendampingi.” kata terakhir itu yang sebenarnya aku yakini sebagai alasan ibu mau memeriksakan diri dan berobat.
Perjalanan bagaimana ibu harus berjuang dari operasi pengangkatan sebagian payudara, kemoterasi, radiologi, obat-obatan khusus, konsultasi psikologi dan lainnya membuat ibu kadang ingin menyerah. Aku semakin sadar kalau dukungan dari keluarganya tidak ada, mungkin perjuangan ini pun tidak akan ia ambil. Cinta dan dukungan menjadi semangat bagi penderita penyakit kanker, tumor dan penyakit lainnya sebagai penawar rasa sakit atas pengobatan dan memungkinkannya berdamai dengan kondisinya yang tidak mudah.
Kanker Payudara Tidak Sebanding Dengan Kata Tabu Itu.
Aku yang pernah mendampingi ibu dari pengobatan sampai proses pemulihan. Aku perlahan menyadari satu hal tentang penyakit tumor ataupun kanker. Mungkin tubuh kita tidak seindah model dunia, tapi itu tetap tubuh kita yang akan kita pakai sampai nafas kita berhenti. Mengenali dan menjaga tubuh menjadi tugas kita sebagai pemiliknya. Lantas bagaimana menjaga dan mengenali bagian tubuh terutama bagian intim seperti payudara? Dengan merasakan dan memperhatikan segala perubahan yang terjadi pada bagian itu.
Kita bisa mengambil contoh bagian payudara, ciri-ciri adanya hal aneh di payudara yang bisa mengarah pada kanker adalah benjolan pada bawah ketiak atau bagian payudara. Benjolan itu tidak terasa sakit jika ditekan sehingga sebagian besar orang tidak menganggapnya serius. Lalu ciri lainnya, keluarnya cairan berwarna seperti susu atau kekuningan walau tidak menyusui, maka segeralah menemui dokter. Untuk mengantisipasi adanya penyakit ini, beranikan diri untuk melakukan check up kesehatan secara rutin. Hal ini memudahkan kita untuk menemukan hal-hal tak terlihat dalam tubuh kita. Kata tabu tidak sebanding dengan kesehatan dan nyawa kita yang berharga.
Sudahkah kalian berani memeriksakan tubuh dan bagian intim kalian ke dokter? Jika sudah kalian hebat, dan bagi yang belum yuk kenali dan sayangi tubuhmu untuk kehidupan yang lebih sehat.
Source:
gco.iarc.fr
Indarti, Rini, dkk. 2005. Faktor-Faktor Resiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Kanker Payudara Wanita. Jurnal Epidemiologi
www.ahcc.co.id
Comment
Hai kak,
Saya belajar dari kakak sepupu. Beliau terkena kanker payudara sebenarnya dari stadium 2A. Selama itu dia berobat herbal sampai sadium 3B. Yang akhirnya berpulang setelah di stadium 4A. Setuju banget untuk payudara jangan dianggap tabu. Terpenting adalah memeriksakan sejak dini
Ikut prihatin kak dan turut berduka, Semoga beliau diterima di sisi-Nya. Amin..
Bener kak, bicara tentang anggota tubuh (termasuk payudara atau kelamin) memang harus terbuka. Jika tidak, siapa lagi yang akan aware sama kondisi kesehatannya. 🙂
2 Responses