Penulis : Dinda Pranata
“Bapak sebagai orang tua jadi mikir, Mal. Bapak sedih baca pengalaman kamu.”
“Maaf ya, Pak, bikin Bapak jadi makin banyak pikiran.” Saya lirih berucap.
“Iya enggak apa-apa, sih. Bapak cuma kaget aja. Puluhan tahun Bapak jadi tukang getok di pabrik dulu. Bapak pikir anak Bapak senang hidupnya karena kerja di bank. Enggak panas-panasan. Enggak ikut getok-getok palu. Bapak cuma pengin anak Bapak senang. Ternyata kok rasanya lebih menderita dari Bapak waktu masih muda dulu …”
Secangkir Kopi Untuk Bapak karya Jamal Irfani
Kata ayah/bapak memang membawa kesan tersendiri bagi hati banyak orang. Kata ini kadang dilupakan dan jarang dielu-elukan dibanding dengan ibu. Tapi dibalik sosok yang kuat dan tegar atau mungkin kuat dan perkasa, ada sisi lain yang mungkin tersembunyi dalam raut wajah seorangnya. Iya, dia adalah ayah.
Pria Tegar Namun Kadang Rapuh Itu Adalah Ayah
Buku karya Jamal Irfani ini mengusung tema ringan tentang kegelisahannya yang ia rasakan selama puluhan tahun sebagai anak yang menjadi tumpuan harapan kedua orangtuanya. Dalam sebuah kisah yang ia tuliskan banyak sekali kenangan tentang bagaimana sosok ayah menjadi begitu berarti dalam setiap perjalanan kehidupan seorang Jamal.
Baca juga: Ketika Dewasa Ternyata Kita Tidak Benar-Benar Tahu Segalanya. Buku Ini Membahasnya!
Mengambil latar belakang anak seorang pekerja kasar —yang tentu saja diharapkan memiliki kehidupan lebih baik dari orang tuannya— menjadikan si Jamal kehilangan jati dirinya cukup lama. Ia menjajal pekerjaan sebagai guru konseling hingga pegawai bank, tetapi membuatnya tidak merasakan kenyamanan dalam pekerjaan yang ia lakoni. Hingga akhirnya, ia bertemu dengan dunia kepenulisan yang membuat dirinya lebih hidup.
Buku Secangkir Kopi Milik Bapak ini menggiring pembaca merefleksikan kembali bagaimana pandangan seorang anak tentang ayah mereka. Image kuat dan tegar yang kerap kita ingat sebagai sosok ayah, akan terlihat berbeda ketika membaca kisah ini. Seorang ayah pun bisa memiliki sisi lembut dan perhatian atau bahkan rapuh.
Tantangan Dalam Membaca Kisah Ini
Kisah ini sangat ringan dinikmati oleh siapapun, dalam kisah ini kita dibawa kembali melihat orang tua kita yang masih hidup. Sudahkah kita berbuat baik kepada mereka? ataukah kita masih belum cukup baik pada mereka? Sejujurnya dalam membaca buku ini ada satu bagian yang menyentuh saya sebagai pembaca.
Sepeninggal ibu, bapak melakukan beragam hal baru yang belum pernah ia lakukan seumur hidup. Misalnya, melakukan wisata jajan seorang diri. Hal ini tentu saja tidak lepas dari pengaruh ibu dalam hidup bapak. Sebelumnya bapak sering diajak ibu berkeliling wisata kuliner dari satu tempat makan ke tempat makan yang lain.
Menghamba, Perwujudan Rasa Cinta
Tantangan nyata dalam kisah ini adalah hadirnya setiap emosi yang sangat dekat dengan diri kita sendiri sebagai anak. Kisah ini sesungguhnya mengingatkan saya pada Almarhum ibu yang baru saja berpulang. Di bagian ini saya kembali merasakan percikan emosi. Ingatan wajah bapak saya yang duduk termenung di teras —tampaknya sedang merindukan ibu— ketika saya dan keponakan sedang melakukan panggilan video. Rasa rindu rumah yang menggebu dan cukup menguras emosi saya sendiri.
Baca juga: Literasi Usia Dini Antara Ekspektasi dan Realita
Kadang sebagai seprang anak kita bisa saja merasa marah pada orang tua sendiri. Kadang pula kita bisa mencerca apa yang mereka lakukan atau katakan. Tapi bisakah kita mengulang kembali kebersamaan dengan mereka ketika mereka (orang tua kita) sudah tidak ada? Buku ini menjadi sebuah refleksi bagi kita yang sering lalai dengan orang tua sendiri.
Selamat membaca!