Penulis : Dinda Pranata
“Ajik, sing ngelah bambu?” tanya Artha pada Ajik sebelum pamannya itu keluar. Ia menanyakan apakah pamannya punya bambu dalam bahasa Bali.
“Ajik, enggak punya. Mau buat apa?” tanya Ajik dalam logat khas Bali yang kental.
“Tiyang, mau jadi tentara bambu.” jawab Artha.
“Ya, sudah. Ajik nanti cari di dagang bambu.” Ajik pun segera melajukan motor skuternya dan melesat keluar rumah.
Sang Tentara Bambu, cerita ilustrasi by Dinda P.
Istilah tradisi Bali mekotek memang tidak familiar bagi kebanyakan orang. Jika banyak orang yang mengenal tradisi ngaben atau melasti, namun tidak dengan tradisi mekotek yang kurang populer. Tetapi, tradisi ini sangat populer di Bali lho! Tradisi ini menjadi lambang keberanian pada zaman dahulu. Bagaimana tradisi mekotek ini?
Baca juga: Kenanga yang Memecah Batuan Adat di Novel Oka Rusmini
Mekotek yang Ada Pada Masa Kerajaan
Tradisi mekotek ini sudah ada pada masa kerajaan Mengwi di Bali. Masyarakat masa itu melakukan tradisi ini untuk menyambut para prajurit perang yang membawa kemenangan. Saat itu kerajaan Mengwi melakukan invasi ke kerajaan Blambangan dan kemenangan invasi itu ada di tangan kerajaan Mengwi. Mengapa Mengwi menginvasi Blambangan?
Blambangan dahulu menjadi wilayah kekuasaan kerajaan Mataram pada tahun 1743, Pakubuwana II menyerahkan Blambangan kepada VOC melaui Gubernur Jenderal Baron van Imhoff. Raja Mataram tersebut menukar Blambangan tersebut dengan uang sewa Belanda sebesar 20 real per tahunnya. Atas tindakan itulah kerajaan Mengwi melakukan serangkaian perlawanan, karena bagi kerajaan itu Blambangan merupakan benteng untuk menghalangi Islam masuk ke Bali sekaligus sangat strategis dari segi ekonomi. Lalu apa yang terjadi?
Sebagai perlawanan ketika Blambangan jatuh ke tangan VOC, kerajaan Mengwi menginvansi wilayah kerajaan Blambangan. Atas invasi itulah kerajaan Mengwi menang atas VOC, yang menjadikan kerajaan Mengwi pimpinan atas kerajaan Blambangan. Lalu, tradisi mekotek ini berlangsung sebagai tanda sambutan kemenangan Mengwi atas Blambangan.
Larangan Pihak Koloni
KolonialTradisi ini memang menjadi cara warga kerajaan Mengwi untuk menyambut kemenangan. Namun ketika pemerintahan kolonial Hindia Belanda di Bali, tradisi ini dilarang keras dilakukan. Alasannya bahwa pemerintah Hindia Belanda takut tradisi ini menjadi jalan bagi pemberontakan. Mengapa mereka berpikir demikian?
Pemerintah Hindia Belanda takut warga yang membawa tongkat bambu yang menjadi bahan dalam tradisi ini, digunakan untuk memberontak pemerintahan kolonial. Pada tahun 1915, Belanda melarang tradisi ini dilakukan. Bagaimana pelaksanaan dari sebuah tradisi mekotek ini ditakutkan oleh pemerintah kolonial?
Baca juga: Geliat Jiwa dalam Lekuk Tarian Bumi Oka Rusmini
Tradisi mekotek sendiri melibatkan sekitar 2000-an orang mulai dari muda hingga usia tua. Mereka semua dibagi dalam beberapa kelompok dengan satu kelompok terdiri dari lima puluh orang. Selain itu, setiap orang akan membawa tombak kayu atau besi dengan panjang 2,5 meter hingga 3,5 meter. Tombak itu akan diadu menjadi satu hingga berbentuk mengerucut. Kemudian mereka akan mengadu tombak-tombak itu sampai berbunyi “tek … tek … tek ….” Untuk mengasah nyali akan ada satu orang yang naik di atasnya dan berjoget di atas tombak sambil diiringi musik gamelan. Alat dan massa yang dikerahkan dalam tradisi inilah yang membuat pihak koloni melarang diadakannya tradisi ini. Lalu apa yang terjadi setelah pelarangan ini?
Wahai Tradisi Kembalilah!
Karena pelarangan inilah banyak warga bali yang menjalankan tradisi ini menghentikan acara mekotek ini. Hingga suatu ketika, sebuah wabah misterius menyerang desa dan seluruh panen dari desa mengalami kegagalan. Akhirnya para warga boleh menggelar tradisi ini kembali dengan tujuan menangkal bala atau tolak bala. Para penduduk desa menyelenggarakna tradisi ini setiap 210 hari atau tepatnya pada hari raya kuningan. Apakah pelaksanaannya masih menggunakan tombak?
Saat ini tradisi ini tidak lagi menggunakan tombak kayu atau besi karena banyak orang yang terluka karenanya. Sebagai gantinya warga yang menjalankan tradisi mekotek ini menggunakan tongkat kayu yang terbuat dari kayu pulet sebagai sarananya. Para peserta juga menggunakan pakaian adat Bali seperti kancut dan udeng. Namun sebelum tradisi ini berlangsung, biasanya para peserta bersembahyang terlebih dahulu untuk memohon keselamatan dan kelancaran acara.
Berdasarkan pada jurnal Pelestarian Tradisi “Mekotek” Desa Adat Munggu, menjelaskan bahwa tradisi ini banyak mengandung nilai sosial, budaya, kebersamaan dan religus. Bagaimana tradisi ini mengumpulkan warga agar sadar akan hubungan sosial masyarakat, gotong royong. Lalu aspek nilai religius dari tradisi ini terletak dari pelaksanaannya yang bertujuan untuk menolak bala dan meminta berkah Hyang Widhi Wasa.
Tradisi Mekotek Dalam Roda Masa
Saat ini tradisi mekotek masih dilaksanakan oleh masyarakat desa adat Munggu. Pelaksanaannya setiap hari raya kuningan dan peserta yang mengikuti bisa berjumlah ribuan dari beberapa desa di sekitar desa Munggu. Tak hanya itu, tradisi ini pun mengundang banyak wisatawan untuk berkunjung dan melihat bagaimana pelaksanaannya.
Baca juga: Subak Bukan Hanya Tentang Pengairan Sawah Di Bali. Filosofinya Dalam!
Pada tahun 2016 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memasukkan tradisi ini dalam warisan budayan tak benda. Dasar pemilihan dari KEMDIKBUD adalah keunikan dari tradisi mekotek yang tidak ada di desa adat lain. Selain itu adanya pantangan bagi mereka yang sedang cuntaka (ada keluarga yang meninggal, persalinan, istri yang mengalami keguguran, pelaksanaan pernikahan, dan keadaan tidak suci lainnya) untuk mengikuti kegiatan mekotek ini.
Source:
Kompas.com
dapobas.kemdikbud.go.id