Penulis : Dinda Pranata
“Mau makan saja harus tahan nafas,” keluh Prapto. Ia mengusap keningnya yang dipenuhi keringat.
“Sudahlah, To. Syukuri saja pekerjaan ini.” Tegur Aji sambil menepuk pundak dari Prapto, “lagipula sudah bagus jadi tukang angkat batu, daripada menganggur.”
“Susah yo jadi wong cilik. Enak jadi Pak Sugeng. Kerjanya tinggal nyuruh saja.” Prapto cuma bisa menggelengkan kepalanya. Aji hanya bisa mengangguk sambil melihat ke arah mandornya yang duduk di depan kipas angin. Hidup di kota besar tidaklah seperti dugaan orang tuanya di desa yang serba mudah.
Kurcaci Kota karya Dinda Pranata
Kota Paris yang kita kenal sekarang adalah kota dengan penuh gemerlapan dan menjadi panutan dunia fashion. Sebelum menjadi kota Paris yang sekarang, dahulu kota cahaya ini pernah terpuruk dalam kemiskinan. Bahkan di kota besar pada awal abad ke-18 atau ke-19, bisa terlihat banyak rumah-rumah kumuh di tengah perkotaannya. Kisah kemiskinan ini pun disorot dalam sebuah novel L’Assomoir karya Emile Zola. Bagaimana kisah buku ini dan apa tantangan pembacanya?
Kemiskinan di Tengah Kota Elit
Kisah dalam buku ini dapat dikatakan cukup kompleks karena menyoroti tentang bagaimana kemiskinan menciptakan masalah moral yang terus berulang. Kisah L’Assomoir bercerita tentang kehidupan seorang wanita bernama Gervanise yang menikah dengan Lantier. Gervanise sendiri menikahi pria itu pada usia yang sangat belia yaitu empat belas tahun.
Baca juga: Literasi Usia Dini Antara Ekspektasi dan Realita
Kehidupan dengan pria yang ia cintai itu tidak bahagia, karena Lantier seorang pria yang memiliki ambisi besar tapi cenderung pemalas dan suka berfoya-foya. Setelah memiliki dua orang anak kehidupannya semakin terpuruk, dan banyak barang yang ia miliki terjual untuk memenuhi ambisi sang suami. Bersyukurnya Gervaise memiliki jiwa pekerja keras sejak kecil sebab ia sendiri hidup dari keluarga miskin.
Ia rela bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dengan menjadi pencuci baju. Walau begitu tidak ada niatan bagi Lantier untuk membantu, tapi sebaliknya ia kabur bersama adik perempuan Virginie, tetangganya itu. Setelah pernikahannya dengan Lantier hancur, ia menikah dengan Coupeau—seorang tukang atap—yang jatuh cinta pada Gervaise. Kehidupan mereka bahagia pada awalnya karena Coupeau sangat mencintai wanita ini. Selama beberapa tahun kehidupannya makmur bersama pria ini. Tapi apakah itu akhir dari kemiskinannya?
L’Assommoir Cerita Tragedi Kemiskinan, Gengsi dan Moralitas

Setelah menikah dengan Coupeau, Gervaise bisa membeli beberapa perabotan untuk rumahnya. Sangat berbeda ketika ia menikah dengan Lantier, pribadi Coupeau yang tidak suka minum-minuman keras, pekerja keras dan mencintai istri ini membuat keluarga ini lambat laun makmur.
Kerja keras mereka akhirnya membawa hasil yang mana Gervaise bisa memiliki rumah cucinya sendiri. Walau dengan cara berhutang kepada tetangganya, ia masih bisa mencicil hutang-hutang tersebut. Akibat kemakmuran yang ia miliki, perubahan sikap membawa keluarga ini kembali merosot secara perlahan. Mulai dari sifat gengsi yang merongrong, sifat malas dari Coupeau yang tumbuh semakin besar dan masalah semakin pelik saat Coupeau mengizinkan mantan suami Gervaise tinggal bersama.
Gervaise semakin jauh dari mimpinya untuk tinggal di dalam rumahnya sendiri dan ranjang yang hangat. Belum lagi masalah moralitas yang rendah, perselingkuhan secara terang-terangan Gervaise dengan Lantier, belum lagi hubungan gelapnya dengan pria baik hati yang mencintainya yaitu Goujet. Menyebabkan kehidupannya semakin menderita dan penuh dengan tragedi.
Baca juga: Sang Alkemis, Kisah Penggembala Domba dan Penaklukan Gurun
Belum lagi kisah ini menyoroti kehidupan keluarga di lingkungan dengan tingkat moralitas rendah. Kebejatan di dalam rumah Gervaise inilah yang menyebabkan anak bungsu mereka bernama Nana bertekad menjadi wanita penghibur demi mendapatkan hidup yang layak. Hingga akhir kehidupan Gervaise ia tidak mendapatkan apapun kecuali kemiskinan dan penderitaan. Namun pendekatan apa yang dipakai oleh Emile Zole dalam novelnya ini?
Realisme Kehidupan Paris yang Bobrok dalam L’Assommoir

Novel L’Assomoir menyoroti masalah sosial Perancis saat ada di masa transisi. Transisi pada era 1800-an berlangsung sangat cepat dan menimbulkan banyak masalah perekonomian hingga masalah sosial. Mulai dari sisi transisi politik dari monarki ke republik, perang dengan pihak Inggris hingga revolusi industri membawa perubahan yang sangat signifikan pada masyarakatnya, terutama mereka yang menjadi kelas menengah ke bawah.
Hal ini pun tergambar dari tokoh novelnya. Si Lantier yang mewakili tokoh liberal dan Poisson seorang polisi pemerintah yang mewakili kaum pro pemerintahan.
“kalian lihat itu? Nah, itu milikku, dan tidak ada yan boleh menyentuhnya. Kalian tak bisa membayangkan apa isinya. Maksudku, kalau kalian memperaktikkan separo saja ide-ide di sana, masyarakat pasti langsung bersih dalam sekejap. Ya, kaisarmu dan semua anteknya pasti sudah celaka sungguh…”
Dia disela oleh si polisi, yang kumis dan jenggot merahnya bergetar di wajahnya yang putih.
“Dan ketenaran? Mau kauapakan tentara, kalau aku boleh tahu?”….
“… Aku ingin membubarkan hak istimewa, dan gelar, dan monopoli… Aku menginginkan kesetaraan gaji….”
L’Assommoir hal 363
Novel sastra beraliran naturalisme atau realisme ini memang mencerminkan kondisi keadaan yang terjadi pada kehidupan pekerja di era republik kedua Perancis secara apa adanya. Masa itu pembagian kelas-kelas sosial seperti kaum elit lebih sering menyalahkan kemiskinan sebagai produk dari kemalasan dan ketidakmampuan hidup dalam kesederhanaan. Hal itu pun tertulis pada sebuah buku berjudul The Frech Second Republic: A Social History karya Roger Price tahun 1972 yang mana menjelaskan bahwa orang miskin saat menerima upah yang besar cenderung menghabiskan uang mereka untuk minum-minum dan berfoya-foya daripada menabung.
Tantangan Pembaca untuk Novel Ini?
Detail Buku:
Judul: L’Assommoir (Rumah Minum)
Penulis: Emile Zola
Terbitan: Gramedia
Tebal: 656 Halaman
Kesan pertama saat membaca buku L’Assommoir pada bab awal terasa sekali bagaimana kondisi kumuh kota di Paris. Semakin membaca pembaca akan terbawa pada suasana kemiskinan dan kebobrokan moralitas dari cerita itu. Sederhananya adalah kisah ini mudah sekali dimengerti dan bisa dikatakan penerjemah kisah ini juga sukses menterjemahkan isi cerita di dalamnya.
Tantangan pembaca justru ada dari apakah mereka semangat untuk melanjutkan membaca novel setebal 656 halaman ini. Aku sendiri membutuhkan waktu hampir satu bulan untuk menyelesaikan novel ini. Cerita yang terlalu panjang, detail, dan komplek sangat membutuhkan tenaga dan waktu yang besar. Selain itu bahasa yang digunakan cenderung vulgar sehingga cocok untuk dibaca oleh anak usia tujuh belas tahun ke atas. Adakah yang sudah membaca buku ini? bagaimana kesan kalian terhadapnya?
Source:
Price, Roger. The French Second Republic: A Social History. 1975. B. T. Batsford: London