Penulis : Dinda Pranata
Istilah feminisme ini ternyata sudah banyak yang tahu dan cukup paham tentang gerakan kesetaraan terhadap kaum perempuan. Jauh sebelum kita mengenal istilah feminisme sendiri, ternyata isu tentang kesetaraan gender ini sudah menjadi isu yang sangat lama dan selalu saja ada hal baru dari isu ini.
Pandangan ketimpangan gender ini di mulai sejak, beratus-ratus abad yang lalu. Lantas bagaimana sebenarnya masyarakat sosial memandang kaum perempuan ini? dan Apakah gerakan feminis ini sudah ada sejak zaman kuno sebelum masehi?
Apakah Pantas Aku Dianggap “Rendah” karena Sifat Alamiku?
Pada masa pramodern baik di Eropa, Asia atau Amerika membatasi perempuan dalam sistem patriarki. Ketidakberdayaan ini bisa dilihat dari sisi sosial, hukum dan hierarki budaya. Pasa masa itu budaya patriaki sudah mendarah daging bahkan dalam teks-teks tertulis. Salah satunya menurut Aristotle di abad ke-5 SM yang mengatakan bahwa laki-laki lebih unggul dari perempuan dan menurutnya laki-laki adalah wanita yang kurang sempurna.
Pemikiran Aristotle ini juga membatasi kehidupan wanita pada masanya baik dalam lingkup pernikahan maupun kehidupan di masyarakat sosial. Pemikiran yang serupa dengan Aristotle ini tampaknya muncul dalam beberapa budaya di belahan bumi mulai dari teks konfusius Analect (Abad ke-4 SM), Talmund (500 M) dan Mishnah (200 M), serta beberapa yang lainnya.
Selain karena struktur lingkungan patriarki yang sangat dominan, rasionalisasi terhadap anggapan wanita kurang “jantan” adalah karena kemampuan alami wanita untuk bereproduksi. Kondisi alami perempuan untuk bereproduksi inilah memicu laki-laki untuk mengklaim kekuasaan perempuan sebagai sarana dalam melindungi adanya keturunan dan ahli waris dalam keluarga.
Baca juga: Tanya Kenapa-Wanita Lebih Emotional? ataukah Itu Hanya Masalah Persepsi?
Rasionalisasi terhadap rendahnya kedudukan wanita karena masalah reproduksi, banyak membuat wanita kehilangan perlindungan. Contoh nyata teks yang hilangnya perlindungan pada wanita adalah kode Hammurabi 1750 SM. Dalam teks tersebut menjelaskan bahwa suami dapat menceraikan istrinya ketika ia tidak bisa memberikan keturunan. Hal ini menjelaskan pula bahwa pada masa itu ketidaksuburan laki-laki tidak dipandang serius dan melimpahkan kesalahan ketidaksuburan itu kepada perempuan.
Wanita Emosional dan Dinding “Pribadi”
Rasionalisasi lain dari pandangan tentang wanita yang tak jantan juga muncul dari pandangan Aristotle. Sang filsuf yang kurang pro terhadap perempuan ini mengklaim bahwa wanita sebenarnya memiliki sisi logis tetapi cenderung terbawa emosinya, sehingga dia tidak cocok untuk memerintah. Begitu juga dengan hukum di kekaisaran Roma yang tidak mendukung pemberdayaan kemampuan wanita karena kelemahan perempuan di sisi fisik maupun mental.
Pandangan kelemahan perempuan ini menyebabkan masyarakat era kuno meletakkan wanita pada dinding “domestik” sebagai tempat yang ideal. Catatan ranah domestik wanita ini terdapat dalam teks Yunani kuno seperti Politics dan Nichomachean Ethics (Abad ke-4 SM), teks Cina kuno abad ke-1 SM Liji (Record of Rites), Analects for Women (abad ke-8 M) dan undang-undang pada masa kekaisaran Roma. Pandangan masyarakat kuno inilah yang menyebabkan kaum perempuan selalu berada di bawah kaum laki-laki. Lalu apakah ada gerakan feminisme di era Kuno saat itu sehingga bisa disebut proto feminisme?
Proto Feminisme?
Saat ini para peneliti bidang sosial sedang memberikan perhatian pada pergerakan feminisme di era Kuno. Para peneliti ini menyebutkan feminisme di masa Kuno sebagai Protofeminisme atau feminisme awal. Banyak bukti sejarah yang mendukung temuan ini mulai dari Ratu Mesir yang memerintah, akademisi perempuan hingga penulis wanita. Dari bukti sejarah yang ada mengatakan bahwa wanita sebenarnya punya kapasitas dan kekuatan dalam memimpin, berfikir secara logis di era tersebut.
Para pemikir, cendikiawan dan aktifis meyakini adanya gerakan feminis di masa kuno, walau gerakan feminis itu tidak terlalu gaung karena pembatasan gerak sosial di masyarakat. Salah satu yang paling awal diduga berasal dari karya yang ditulis oleh Sappho. Berdasarkan jurnal berjudul Sappho’s Queer Female History menjelaskan bahwa akademisi sangat tertarik dengan tulisan Sappho. Tulisannya menyoroti bagaimana pandangan perempuan, ide tentang pencarian keadilan bagi Aprodhite hingga peran sikap pasif agresif dalam percintaan dan budaya erotis pada masa itu.
Baca juga: Mansfield Park-Novel Romantisme Sosial di Lingkungan Bangsawan
Selain itu banyak cerita-cerita dan legenda di masa kuno yang menceritakan tentang kekuatan perempuan, misalkan saja legenda di Yunani tentang Dewi Minerva yang merupakan dewi perang, seni dan kebijaksanaan, lalu di Indonesia sendiri ada legenda tentang Ratu Pantai Selatan, dan lainnya. Adanya legenda dan bukti tertulis dari masa kuno membuat para pemikir dan peneliti ilmu sosial mencoba membuka mata untuk mencari kemungkinan adanya gerakan feminis di masa kuno tersebut. Penelitian ini memberi pandangan baru tentang kemungkinan adanya proto feminisme yang tidak kita sadari sebagai cara awal dalam memperjuangkan hak wanita.
Source:
Smith, Bonnie.G, dkk. The Routledge Global History of Feminism. 2022. Routledge: New York
Antje, Schrupp, and Patu. A brief history of feminism. 2017. MIT Press: Cambridge
Waxman, Tess M., “Sappho’s Queer Female History” (2017). Young Historians Conference.
Comment
Jadi teringat pernah jajak pendapat sama seseorang tentang topik ini, tapi semua tergantung sama pribadi masing-masing ya..
Wah tulisan singkat tapi cukup dalam ya kk. Keren, memang sesuai kenyataan
Keren.. sya suka artikel penuh literasi seperti ini.. bagus & terperinci tujuannya..
Kesetaraan gender emang adalah salah satu problematika sosial, yg tergantung dr kondisi lingkungan yg menilai persepktifnya… Dan itu juga hadir dri kesadaran masing2
Thanks ka sudah sharing! Feminisme ini masih jadi problematika di lingkungan kita, tapi semua tergantung dari cara pandang masing-masing.
Wanita terkadang memang lebih emosional tapi juga terkait lebih lembut. Tergantung situasi dan kondisi
agak berbeda dengan pandangan pandangan dunia mengenai perempuan pada masa pra moderen. di belahan dunia lain, lebih tepatnya di sulawesi selatan, di temukan naskah naskah kuno, yaitu la galigo, yang sudah memiliki pandangan2 mengenai kesetaraan gender. 🙂
Betul tuh, walaupun Kesetaraan gender yang memang menjadi salah satu problematika sosial yang ada dinegri kita Indonesia ini, iya balik lagi dari kondisi lingkungan yg menilai persepektifnya. Jadi, menurut pandangan orang beda-beda, kemungkinan pendapat yang dihasilkan beda juga..
Kesetaraan gender menurut aku pribadi tergantung perspektif yang digunakan. Kadang manusia suka tidak adil terkait kesetaraan, misal ada yg berkata wanita kerjanya tidak hanya di rumah boleh kerja dan cari uang juga, tapi orang yg sama juga nyinyir kalo ada keluarga yg memilih sang pria menjadi bapak rumah tangga dan wanitanya yg bekerja. Jadi sepertinya kesetaraan itu ya tergantung pelakunya, bagaimana yg di anggap hak dan kewajiban dalam kesetaraan yg dimaksud. Selama tidak ada yg merasa dirugikan berarti ya kesetaraan sudah tercapai.
Wahh, sukaa bangedd ama tulisannya, memang yaa masalah kesetaraam gender ini g pernah ada habisnya, bahkan di era modern seperti sekarang
Coba kak Senja ceritain POV feminisme dari sisi Kartini. Apalagi 10 hari ke depan kan diperingati tuh setiap tahunnya..
Bagus kk tulisannya. Sprtinya kk punya wawasan yg luas bgt ttg topik ini. Tpi ttp sih, smua tegantung cara pandang masing²
saya pro feminis. dengan tidak meninggalkan tanggung jawab saya sesuai peran saya tentunya. bukan berarti laki2 harus dibawah perempuan ya, tp yg namanya sepadan itu ya namanya saling tolong menolong.
Wah menarik banget kalau sudah berbicara tentang feminisme, sejarah dan kisah masa lalunya
Keren keren tulisannya. Menambah referensi saya tentang feminisme
Blog yang keren, tulisan yang keren dengan topik yang keren juga. Bener2 membuka wawasan bahwa perjuangan untuk mengangkat derajat perempuan bukan isu di zaman modern. Ternyata masalah kesetaraan gender ini sudah diperjuangkan sejak lama dan emang segitu lama perjuangannya. Dan sampai sekarang pun masih ada aja kasus-kasus diskriminasi terhadap kaum perempuan. Salute to all women in the world.
Kalau kata syeikh Abu Hasan an Nadwi, perempuan dalam sejarah eropa terurama, dianggap sebagai barang yang bisa di otak-atik semaunya. Sejak islam datang baru derajat peremupuan terangkat
16 Responses