Penulis : Dinda Pranata
“Eh, kamu mau baju lungsuran dari kakak?” Eka menoleh ke kakaknya yang membawa beberapa pakaian kebaya.
“Nggak mau ah, baju bekas kakak nggak modis.” Eka menggelengkan kepala. Kakaknya hanya mengangkat bahu dan menutup pintu. Tak lama mamanya masuk sambil membawakan biskuit yang tadi mereka bawa untuk dipersembahkan di pura.
“Ini ada biskuit kesukaanmu dari merajan Bibi Nyoman.” Eka menatapnya ragu karena bungkusan itu sudah jelek dan nampaknya tidak enak.
“Nggak ah, Lagian kata bapak nggak boleh makan lungsuran dari merajan Bibi Nyoman.” jawabnya.
“Tradisi yang terdikstrasi” Cerita Ilustrasi Pribadi.
Ketika berhadapan dengan istilah ini, pasti sebagian besar orang akan mengerti bahwa artinya sisa. Bahkan ada orang yang menolak untuk memakan sisa persembahan banten ini karena ungkapan lungsuran. Apakah seseorang tidak boleh memakan makanan yang berasal dari sisa banten yang kita sebut lungsuran itu ? Atau itu masalah persepsi semata?
Baca juga: Wanita Menstruasi Dilarang Sembahyang dalam Hindu?
Asal kata Lungsuran
Istilah lungsuran/surudan sebenarnya menunjukkan pembagian kelas untuk hidangan yang berasal dari persembahan untuk banten. Persembahan ini biasanya lengkap dengan nasi, ketupat, ikan/daging, buah dan jajanan. Setelah seseorang selesai menghaturkan banten tersebut, haturan baten berubah nenjadi lungsuran atau surudan sebagai bentuk anugrah dari Hyang Widhi.
Kita bisa mengatakan bahwa istilah lungsuran ini adalah produk hasil masa kolonialisme yang berkaitan dengan kasta. Padahal dalam agama hindu sendiri tidak mengenal pembagian kasta. Akibat dari pembagian kelas atau kasta tersebut menyebabkan berkembangnya persepsi yang keliru tentang haturan kepada Hyang Widhi ini.
Beberapa orang terkadang enggan menikmatinya lungsuran jika haturannya ini tidak berada dalam kasta yang sama atau kasta yang lebih tinggi. Maksudnya bagaimana? Contohnya apabila lungsuran ini adalah haturan dari merajan keluarga berkasta rendah, maka seseorang yang berkasta tinggi akan enggan memakan lungsuran tersebut. Tetapi jika orang yang memiliki kasta tinggi memberikan lungsuran pada orang yang berkasta rendah, maka itu seseorang akan menganggapnya keberkahan.
Kata Ganti Istilah Ini
Anggapan penggunaan kata lungsuran yang tidak sederajat menyebabkan kata ini berganti menjadi prasadam. Istilah prasadam ini dipakai untuk mempositifkan kembali kata lungsuran yang sudah terlanjur tidak baik. Berdasarkan laman PHDI sendiri penggunaan kata prasadam memberikan image positif terhadap sisa haturan kepada Hyang Widhi Wasa.
Padahal dalam kitab Bhagavad Gita sendiri sudah menjelaskan bahwa seseorang yang mempersembahkan apapun kepada Hyang Widhi Wasa secara tulus dan sesuai ajaran kitab suci, berarti mereka sudah melaksanakan yadnya.
Baca juga: Melasti 2023: Detoksifikasi dan Lambaian Nyiur di Pantai Balekambang
Aphalakan ksibhir yajno, widhidristo ya ijyate, yastawyam ewe ‘ti manah, samadhaya sa sattwikah
artinya:
Bhagavad Gita XVII Sloka 11
Yadnya yang dipersembahkan sesuai dengan aturan kitab suci oleh mereka yang tidak mengharapkan ganjaran dan sangat percaya bahwa itu merupakan kewajiban yang harus dilakukan, merupakan yadnya sattvika
Sebenarnya walaupun menggunakan kata lungsuran sekalipun tidak mengubah kenyataan bahwa itu adalah sisa persembahan dari Hyang Widhi yang juga membawa anugerah bagi yang menikmatinya. Baik prasadam ataupun lungsuran merupakan hasil dari yajnya seseorang dan bentuk bakti umat kepada Hyang Widhi atau batara-batari. Lalu mengapa kita mempermasalahkan ungkapan ini itu daripada makna yang sesungguhnya?
Konsep Tri Hita Karana dalam Lungsuran

Sebagian orang mungkin belum menyadari bahwa apa yang kita haturkan memiliki konsep tri hita karana. Tri hita karana merupakan konsep yang tercetus tahun 1966 yang meliputi parhyangan, palemahan dan pawongan. Dalam sebuah penelitian berjudul Hindu Bali Dalam Hubungannya dengan Ritual dan Upakara menjelaskan bahwa konsep ini garis besarnya adalah apa yang dihaturkan ke Tuhan berasal dari alam dan akan kembali ke alam dengan bentuk daur ulang.
Manusia sendiri bagian dari alam, bukan? Sisa makanan dari banten yang berasal dari alam akan kembali ke alam melalui manusia. Apabila manusia menolak memakan atau memanfaatkannya dengan alasan bukan dari kasta yang sama, pun dengan alasan karena menggunakan istilah lungsuran dari prasadam, bukankah kita sudah menolak menjalankan tri hita karana ini. Tidak hanya itu penolakan manusia untuk memakan atau memanfaatkan sisa haturan justru akan meningkatkan jumlah sampah.
Baca juga: Catur Warna - Fenomena Salah Kaprah Tentang Golongan Dan Kasta. Lalu Yang Benar Bagaimana?
Mengubah mindset, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi akan lebih sulit lagi, jika menolak melakukan. Siapkah kita?
Dinda Pranata
Source:
phdi.or.id
Armadi, Made, et al. “Model Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat Di Kota Denpasar.” ECOTROPHIC : Jurnal Ilmu Lingkungan (Journal of Environmental Science), vol. 14, no. 2, 2020, p. 131.