Home / Pojokan

Catatan Harian Anne Frank, Komedi dan Eksplorasi di Tengah Tradegi

Senjahari.com - 14/05/2022

Buku Harian Anne Frank

Penulis : Dinda Pranata

“Bocah-bocah tengil!” teriak bapak tua berkumis di dalam rumah kayu mungin. Rumah itu ramai sekali dengan anak-anak berbagai usia. Sayangnya sang bapak tua tidak terlalu suka pada anak-anak karena mereka sering mengatainya Si Tua Campa. Suatu ketika ia melihat rumah kayu di sebelahnya begitu damai, sehingga ia menginginkan rumah itu.

Si Tua Campa diam-diam sering berkunjung dan berbaik hati pada pemilik rumah. Kadang kala pemilik rumah kayu besar itu sering menghabiskan waktu di rumah si tua martir. Hingga suatu ketika, pemilik rumah kayu itu di usir dan mengaku bahwa rumah itu milik dirinya. “Kalian pergi saja ke rumah itu, bukankah kalian sering menempati rumah itu daripada rumah ini,” kata si Tua Campa.

Pasangan muda itu akhirnya tinggal di rumah si tua Campa, Beberapa lama muncul rasa tamak pada si Martir yang iri pada pasangan muda itu dengan kedamaian bersama anak-anak di rumahnya. Semakin menjadi rasa bencinya hingga ia membuat kegaduhan dengan memasang petasan di kedua rumah sampai akhirnya semuanya lebur bersama asap petasannya.

Si Tua Campa by Dinda Pranata

Perang terjadi terkadang untuk alasan yang sepele. Tapi karena terlalu sepele hingga seperti bola salju yang bisa meledak saat bertabrakan dengan paku kecil sekali pun. Tidak terkecuali Perang Dunia II yang dipicu karena ketidaksukaan pada golongan Yahudi. Kisah ini pun tak akan lekang oleh waktu untuk dibahas dan salah satu catatan yang menyayat hati justru datang dari korban anak-anak. Salah satunya Anne Frank. Ayahnya kemudian menerbitkan Buku Catatan Anne Frank ini untuk mewujudkan mimpi anaknya. Bagaimana kisah dalam buku ini?

Anne Frank dan The Secret Annex

The Secret Annex dan Anne Frank
The Secret Annex

Anne Frank saat itu berusia dua belas tahun, ketika mulai menjalani kehidupan di persembunyiannya. Ayah Anne yaitu Otto Frank seorang pegawai di Opekta—sebuah perusahaan rempah dan kimia— menjabat sebagai direktur operasional. Lalu, ibunya bernama Edith Frank hanyalah ibu rumah tangga biasa. Anak keturunan Yahudi liberal ini dikenal periang, cerdas dan memiliki visi bahkan ketika anak-anak. Anne—sapaan akrabnya ini—mungkin begitu nakal seperti anak seusianya yang beranjak remaja, tapi itu semata karena ia ingin mengeksplor banyak hal dari ketidaktahuannya.

Baca juga: Review Bukan Pasar Malam: Dari Filsafat, Profesi Sampai Politik

Ketika Jerman menduduki Belanda di pertengahan tahun 1940, menyebabkan pengalaman Anne menjadi terbatas. Hingga saat seruan penangkapan kaum-kaum Yahudi membuatnya harus bersembunyi di salah satu ruangan dalam kantor Opekta, tempat ayahnya bekerja. Selama dua tahun anak remaja ini terkekang dan terkurung dalam tempat persembunyian bernama The Secret Annex itu.

Persembunyian itu tidak hanya Anne, Margot (kakak Anne), dan kedua orang tuanya saja yang tinggal. Di dalamnya juga ada empat orang tambahan yang bersembunyi antara lain, Nyonya dan Tuan Van Daan, Peter Van Daan serta seorang dokter gigi bernama Dussel. Dalam buku harian Anne banyak eksplorasi mendalam tentang kehidupan yang remaja ini dapatkan bersama dengan penghuni di Annex ini.

Dewasa yang Terjebak dalam Tubuh Remaja

Saat anak berusia dua belas tahun bisa mengeksplorasi berbagai petualangan baik di bidang akademis dan sosial, kehidupan Anne tidak bisa merasakan petualangan khas remaja tersebut. Masa remajanya mengharuskan ia terjebak di pusaran tornado yang membuatnya harus berteman dengan suara tembakan, serta pengalaman traumatis secara fisik dan emosional. Rasa frustasi yang luar biasa di masa pergerakan Nazi membuat Anne—termasuk semua yang tinggal di Annex—mencari penghiburan dengan hal-hal sederhana. Radio, obrolan, pertengkaran, caci maki, gosip, tulisan dan buku bacaan.

Dari hal-hal sederhana yang dilakukan Anne serta interaksinya dengan para penghuninya menjadikan remaja ini tumbuh dewasa. Pemikirannya tentang orang dewasa, pergumulannya dengan dirinya sendiri, permasalahan orang dewasa, hingga pandangan politik banyak ia tulis dalam buku hariannya. Intinya adalah buku harian ini tidak hanya berisi tentang egoisme penulisnya tetapi juga idealisme serta pemikiran terdalam Anne yang tidak bisa ia sampaikan di masanya.

… Aku tahu apa yang aku inginkan, aku memiliki tujuan, aku mempunyai pendapat, agama dan cinta. Andai saja aku bisa menjadi diriku sendiri, itu sudah membuatku puas. Aku tahu aku perempuan, perempuan dengan kekuatan batin dan semangat keberanian yang tinggi!

Anne Frank-halaman 349

Krisis Eksistensial Anne

Anne Frank dan Holocaust
Anne Frank dan Holocaust

Dalam buku hariannya saat ia berusia dua belas hingga tiga belas tahun, banyak sekali bagian yang menunjukkan bagaimana emosinya sebagai anak remaja pemberontak menggebu-gebu. Mulai dari gesekan dengan sang ibu yang lebih banyak menuntut Anne sepintar dan serajin kakaknya (Margot), pun dengan keluarga Van Daan yang begitu banyak mencelanya sebagai pribadi yang kurang santun dalam cara bicara. Secara garis besar tulisannya pada tahun 1942-1943 mempertanyakan siapa Anne bagi Anne Frank sendiri, bukan orang lain.

Perlahan saat usianya memasuki empat belas tahun, ia mulai menemukan sisi diri yang lain. Dia menyadari bahwa normal memiliki sisi dua sisi yang berbeda dalam satu tubuh. Saat berhadapan dengan orang lain ia menjadi begitu periang dan nakal, tetapi di sisi lain saat dia bisa menulis buku hariannya ia menjadi seorang pendiam dan banyak berpikir. Kesadaran Anne membuatnya terus mempertanyakan eksistensinya sendiri sebagai anak, manusia dan perempuan. Hingga menghasilkan pandangan yang jarang dan langka untuk anak usia 14 tahun yaitu tentang idealismenya untuk menjadi perempuan yang ia inginkan.

Masa sulit, makanan yang langka, perang, dan frustasi akan kematian yang ia rasakan membuatnya berusaha menemukan hal kecil yang mengiburnya. Ini pun menjadi cara Anne untuk mengatasi krisis eksistensial sebagai seorang Yahudi di masanya. Perteman yang intim dengan Peter hingga fantasi seputar hasrat seksual yang dianggap tabu oleh orang tua, semua ia tuliskan dalam buku hariannya ini. Lantas apa tantangan membaca buku ini?

Tantangan Pembaca

Secara garis besar buku ini unik dan menyenangkan. Aku sebagai pembaca merasa terbawa kembali pada usia-usia saat mengenal buku harian. Sama dengan kebanyakan buku harian lain, isinya juga pasti seputar perasaan, emosi yang tak terucap hingga egoisme si penulis. Saat membaca buku ini pada awalnya aku menganggap Anne Frank sama seperti anak-anak seusianya yang suka menjalin persahabatan, kekanakan dan suka berpetualang di banyak hal. Tapi secara tidak terduga, aku menemukan sosok Anne yang lebih frustasi daripada orang dewasa di tempat itu.

Tantangan yang aku dapat sebagai pembaca adalah kadang kala banyak bagian yang tidak aku mengerti dari buku ini. Struktur kalimat yang terkadang melompat-lompat dan kadang membuatku melewatinya atau membacanya hingga beberapa kali. Selain itu, menjelang akhir buku aku banyak menemukan hal baru dari sosok Anne yang membuatku bertanya-tanya, “bagaimana jika buku ini memiliki kelanjutannya? kira-kira apa yang akan Anne tulis?”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

*

Post comment