Penulis : Dinda Pranata
Tradisi belis sejatinya adalah rangkaian dalam adat perkawinan berupa pemberian mas kawin asal Nusa Tenggara Timur. Tentu saja pemberian mas kawin oleh laki-laki ini biasanya berbeda-beda tiap wilayahnya, termasuk pada tradisi belis di Nusa Tenggara Timur. Contohnya tradisi belis di Flores Timur atau Wilayah Alor menggunakan gading gajah, sedangkan di wilayah Sumba menggunakan hewan.
Tapi di balik uniknya seserahan mas kawin dari laki-laki ke perempuan ini, nyatanya tidak serta merta memudahkan mereka melangsungkan pernikahan. Bagai dua sisi mata uang, tradisi ini pun ada sisi baik dan buruknya. Kira-kira apa ya?
Sejarah Lahirnya Tradisi Belis
Tidak mungkin sebuah tradisi berdiri sendiri, pasti ada latar belakang atau cerita di baliknya. Sama halnya dengan tradisi pemberian mas kawin ini. Berdasarkan jurnal berjdul Belis: Tradisi Perkawinan Masyarakat Insana Kabupaten Timor Tengah Utara bahwa tradisi ini sudah ada sejak masa kerajaan. Senada dengan penelitian skripsi tahun 2019 yang menjelaskan juga tradisi mas kawin ini telah berlangsung sejak zaman Todo hingga datangnya kerajaan Goa di Manggarai.
Masa itu orang memberikan mas kawin kepada mempelai perempuan sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada orang tua sang pengantin perempuan. Ucapan terima kasih yang sesuai pada saat itu bisa berupa hewan (kerbauatau gading gajang), kain, emas/perak serta sirih-pinang. Apabila mempelai wanita memiliki kedudukan tinggi (seorang bangsawan) maka pemberian mas kawin berupa beberapa ekor hewan serta emas perak menjadi wajar terjadi.
Sejarah dan penelitian mencatat pada masa lalu, pemberian belis atau mas kawin ini dilakukan berdasarkan kemampuan si pria. Sangat langka di masa kuno wanita bangsawan menikah dengan rakyat biasa, jadi pemberian belis bisa sesuai dengan kemampuan calon mempelai. Semakin zaman bergulir tradisi pemberian mas kawin ini pun bergeser.
Baca juga: Studi Komparatif Bertema SARA: Apakah Rawan Konflik?
Mas Kawin: Antara Gengsi dan Penghormatan Pada Wanita
Ada banyak faktor yang menjadikan tradisi belis ini bergeser dari tujuannya sebagai ucapan terima kasih pada orang tua mempelai wanita. Faktor itu antara lain status perempuan yang saat ini sudah banyak yang berpendidikan tinggi. Lalu ada juga tuntutan dari keluarga atau orang tua sang calon pengantin perempuan terhadap ‘kualitas’ anak perempuannya. Tak hanya itu faktor kondisi ekonomi keluarga dari pengantin perempuan pun mengambil peran dalam penentuan belis.
Dalam laman tirto.id, tradisi ini selain menjadi cara mempelai pria berterima kasih pada calon mertua, juga bentuk penghormatan pada wanita. Seperti contohnya mas kawin berupa gading gajah di Flores yang masih dapat ditemukan hingga sekarang. Bagi mereka pemberian gading gajah atau hewan kepada keluarga mempelai wanita sebagai bentuk bahwa keluarga perempuan setuju memberikan anak perempuannya untuk masuk ke dalam keluarga laki-laki.
Meski sebagai bentuk ucapan terima kasih dan penghormatan kepada perempuan, nyatanya tradisi belis ini seringkali membuat calon pengantin laki-laki mengalami kesulitan. Sebab, pemberian mas kawin dalam tradisi ini bergeser sudah sangat jauh sekali bahkan menyentuh ranah ego dan gengsi keluarga si mempelai perempuan. Sebagai contoh karena faktor pendidikan atau pekerjaan dari kaum perempuan, kerap kali keluarga mematok mas kawin yang cukup besar tergantung pendidikan atau pekerjaan wanitanya. Tentu saja ini sangat menyulitkan kaum laki-laki yang hendak menikah bukan?
Inovasi Tradisi Tanpa Mengurangi Makna Sejati
Mas kawin atau dalam artian di sini adalah tradisi belis sendiri, sebenarnya perlu inovasi. Inovasi dalam tradisi bukan membuat tradisi baru, pun justru menghilangkan unsur asli dari tradisi yang sudah ada. Perombakan di sini bermaksud agar tradisi ini tetap lestari, tanpa mengurangi makna dari tradisi untuk mengungkapkan penghormatan kepada wanita atau rasa terima kasih pada orang tua mempelai. Pemberian mas kawin kepada pihak mempelai wanita harapannya tidak memberatkan mempelai pria.
Kedua belah pihak—baik yang hendak menikah atau pun keluarga besar mempelai— sejenak menurunkan ego masing-masing untuk meminta mas kawin berlebih kepada calon mempelai. KIta sendiri tidak dapat melihat penghormatan kepada calon mempelai wanita hanya dari banyaknya materi yang bisa mempelai pria berikan, bukan? Juga ucapan terima kasih tidak harus dengan materi berlebihan seperti mas kawin berupa gading gajah, hewan puluhan ekor, atau uang ratusan juta. Apakah dengan pemberian mas kawin yang sederhana membuat pernikahan tidak berjalan baik? Tidak selalu.
Baca juga: Karong Woja Wole, Konstruksi Budaya Manggarai Tentang Perempuan
Setidaknya ketika masyarakat bisa membuat tradisi belis lebih sederhana, sesuai dengan kondisi ekonomi pihak pria atau wanitanya, tentu saja akan menyenangkan semua pihak. Misal untuk ucapan terima kasih kepada calon mertua bisa memberikan seekor kerbau, uang tunai, perhiasan, atau sesuai dengan keuangan mempelai pria/wanita. Begitu juga penghormatan kepada wanita bisa dengan pemberian mas kawin sesuai dengan keuangan. Makna sesungguhnya tetap terlaksana, tradisi tetap hidup dan tentunya pihak yang hendak menikah tidak kesulitan dengan prasyarat dari tradisi belis.
Source:
tirto.id
Idaroyani Neonnub, Fransiska, and Novi Triana Habsari. “Belis: Tradisi Perkawinan Masyarakat Insana Kabupaten Timor Tengah Utara (Kajian Historis Dan Budaya Tahun 2000-2017).” AGASTYA: JURNAL SEJARAH DAN PEMBELAJARANNYA, vol. 8, no. 01, 2018, p. 107.
Comment
Pernikahan itu mahal, tapi gengsi dengan balutan tradisi lebih mahal. Hal ini ada kesamaan juga kak dengan budaya tradisi Batak. Menjadi mahal karena ada balutan tradisi apalagi jika adatnya penuh ya.
Menurutku tradisi budaya itu indah jika memang memiliki kemampuan secara finansial. Kalaupun kondisi tidak memungkinkan sah dulu saja secara agama
Menikah memang butuh biaya ya kak, tapi yang lebih mahal justru gengsinya. Hehehe,,
2 Responses