Penulis : Dinda Pranata
Sebagian besar orang akan merasa lelah atau kecewa saat tahu nasib mempermainkanya. Misal saat kita berbuat baik pada orang A, tapi yang ada orang A berbuat buruk pada kita. Kita langsung menyebutnya orang tak tahu adab, atau tak tahu terima kasih. Tak hanya itu, kita lalu mudah merajuk dan enggan berbuat baik lagi.
Voltaire—seorang penulis dan filsuf asal Perancis—pun memiliki pemikiran yang serupa dan kemudian ia gambarkan dalam bukunya berjudul Suratan Takdir. Bukunya ini cukup tipis dan berisi bab yang mana pembaca akan mudah memahami maksud penulisnya. Bagaimana kisahnya dan apa tantangan pembaca?
Suratan Takdir dan Perjalanan Kehidupan Zadig
Tokoh utama dalam kisah ini adalah Zadig—pria yang nyaris sempurna—dengan kekayaan, ketampanan dan sikap kebaikan yang menjadi tidak beruntung. Awalnya ia mencintai seorang wanita cantik bernama Semira. Namun karena kecemburuan keponakan pamannya yang juga menyukai Semira, membuat mata Zadig harus terluka.
Seorang tabib kemudian mengobati Zadig, tapi tabib tersebut lantas mengatakan bahwa Zadig kemungkinan akan bermata picak. Mengetahui kondisi Zadig, Semira lalu meninggalkan pria ini karena takut memiliki pasangan bermata cacat. Akibatnya, pria ini pun menderita luka hati.
Beberapa bulan setelahnya, ia bertemu dengan wanita cantik dan menjalin asmara dengan wanita bernama Azora itu. Setelah mengenal kepribadian Azora yang baik, ia pun memutuskan menikah dengannya. Selama satu bulan lamanya, ia menjalani kehidupan yang bahagia. Selama itu pula ia mulai mengenali kepribadian Azora yang memuakkan yaitu kebodohannya tentang anggapan orang pintar dan tahu segalanya pantas mendapat pujian setinggi langit.
Untuk memberikan pelajaran bagi sang Istri akhirnya, Zagid berpura-pura meninggal yang membuat istrinya melihat kebodohannya sendiri. Sayangnya caranya itu menjadi pisau bagi Zadig dan membuatnya justru kabur dari sang istri. Kaburnya itu justru mempertemukan dia dengan petualangan kehidupan mulai dari seorang pelarian, kepercayaan raja di negeri seberang, budak hingga menjadi raja di tempat pelarian itu.
Takdir Itu Tak Berdiri Sendiri
Ketika membaca buku karya Voltaire ini, nyatanya membuatku bertanya arti takdir itu sebenarnya. Berdasarkan KBBI takdir itu ketetapan Tuhan dan bisa berarti juga nasib. Tapi jika membaca banyak literatur takdir dan nasib memiliki pembeda yang sangat tipis yang mana nasib bisa berubah dan takdir tidak bisa berubah walau sekitarnya tetap berubah. Kira-kira apa?
Dalam buku suratan takdir ini penulis seolah menyuguhkan realita bahwa perjalanan takdir ibarat matematika. Seperti apa yang Voltaire gambarkan dalam kehidupan tokoh Zadig yang mana takdirnya tergantung pada faktor internal dan eksternal (perilaku dan pilihan sikap dari makhluk hidup lain). Seperti misalkan saat Zadig menolong seseorang yang sedang mencari kuda kesayangan ratu, sayangnya pertolongan itu membuatnya mengalami takdir buruk yaitu dituduh menjadi seorang pencuri karena orang lain yang memiliki niat buruk padanya.
Walau memiliki ending yang membahagiakan, konflik internal si tokoh utama dan lingkungannya pun mempengaruhi sikap yang diambilnya. Seperti saat ia dicurangi pada perlombaan untuk merebut hati Ratu. Dalam perjalanan menuju kompetisi berikutnya, ia bertemu dengan seorang pendeta aneh dan menemukan bahwa apa yang selama ini dianggap baik nyatanya bukanlah kebaikan yang sebenarnya.
Salah satunya, pendeta itu membawa Zadig bertamu ke sebuah rumah seorang tua. Pendeta tersebut sangat menghormati orang tua tersebut dan sebagai wujudnya, pendeta tersebut justru membakar rumah si pemilik rumah.
Rumah itu menyala-nyala. Pendeta, yang telah berdiri cukup jauh, memperhatikannya dengan tenang. “Syukur!” katanya, “tamatlah riwayat rumah sahabatku yang baik! Orang yang berbahagia!”
Mendengar perkataan itu ingin rasanya Zadig tertawa terbahak-bahak sekaligus mengucapkan sumpah serapah kepada orang tua itu, menempelengnya dan melarikan diri.
Suratan Takdir hal 168-169
Tantangan Pembaca
Buku ini bukanlah buku filsafat yang rumit, melainkan buku yang sederhana dengan topik yang berat (tentang hidup dan takdir). Secara gaya bahasa, pembaca bisa mencerna apa adanya dalam arti mengenai takdir itu sendiri seperti apa. Bahasanya sederhana, ringan, dan sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini yang cenderung bias. Tidak ada tantangan khusus yang menyulitkan pembaca untuk menikmati buku yang tebalnya hanya 184 halaman. Lalu apakah buku ini sempurna?
Tidak. Buku ini tidaklah sempurna, setidaknya bagi mereka yang suka mencari esensi tersembunyi dari sebuah bacaan. Nilai eksplisitnya tentu saja tentang hidup yang tidak bisa seratus persen mulus atau tentang hal yang terlihat baik namun buruk. Tapi bagaimana dengan nilai implisitnya, nih?
Bagi pembaca yang suka membaca dan meneliti nilai implisit dari bacaan, ini bisa jadi sebuah tantangan. Pasalnya buku suratan takdir ini merupakan bentuk kritik dari Voltaire kepada orang yang terlalu fanatik terhadap keyakinan tertentu hingga membutakan pikiran (Penggambaran pada tokoh Azora). Lalu juga bentuk kritik tentang bagaimana bangsawan Perancis bisa hidup berfoya-foya.