Penulis : Dinda Pranata
Hidup itu….
Hidup Itu …. (Dinda Pranata)
kadang menjadikan rasa penasaran,
berubah jadi pencarian.
Kadang menjadikan misteri,
jadi ketidakpastian tak bertepi.
Sang Alkemis ini salah satu novel yang terbeli karena diskon. Serius! Awalnya tidak ada tendensi khusus mau beli buku ini, yang menarik justru bukan dari judulnya tapi dari penulisnya. Lho kok bisa?
Iya, karena salah satu buku dari penulis yang justru aku baca pertama itu tentang Mata Hari. The Legendary of female fatale story. Kalau dibandingkan sama sang alkemis, buku sang alkemis lebih dulu terbit daripada yang judulnya Mata Hari. Terus bagaimana sih sinopsis, pandangan subyektif hingga latar dari novel ini?
Sang Alkemis dan Anak Gembala
Seorang anak gembala bernama Santiago sering menggembalakan domba di atas bukit nan hijau. Bukit itu sangat indah dan tenang, sehingga ia selalu membawa buku-bukunya sambil menggembalakan domba-domba. Hingga suatu hari, ia bertemu dengan seorang gadis jelita, putri dari pedagang wol yang sering mencukur domba-domba Santiago. Ia jatuh cinta.
Selama satu tahun Santiago menanti perjumpaan kembali dengan si gadis ini. Selama setahun itu pula, ia mendapatkan mimpi tentang harta karun yang tersembunyi di piramida-piramida Giza. Saat, mendekati waktu perjumpaannya dengan si gadis pujaan ia menemui seorang Gipsi yang mempu meramal. Sejak pertemuan dengan wanita gipsi inilah petualangan Santiago di mulai.
Baca juga: Pojok Literasi-Resensi The Danish Way Of Parenting: Pola Asuh Anak Berkarakter.
Si peramal gipsi ini meramalkan nasib bahwa ia bisa menemukan harta karun itu, jika si anak mengikuti pertanda-pertanda dari mimpinya. Santiago awalnya tidak percaya dengan apa yang wanita ini katakan dan meninggalkan rumah wanita itu. Namun di tengah jalan ia bertemu dengan pria tua yang mengaku raja dan menyuruhnya untuk mengikuti mimpi-mimpi yang katanya adalah pertanda dari Tuhan. Dan sebelum berpisah raja tua itu memberinya dua buah batu yang katanya bisa membantu saat dirinya merasa bimbang.
Santiago kemudian berkelana menyusuri padang pasir yang luas demi mengikuti mimpinya. Ia bertemu dengan macam-macam orang mulai dari pedagang kristal, Fatimah (kekasih hatinya), seorang pria Inggris, hingga sang Alkemis. Masing-masing dari mereka memiliki cerita yang membuat Santiago menyadari hal tersembunyi dalam dirinya dan tentang kehidupan di alam semesta.
Harta Karun Kehidupan
Kalau dibaca dari blurb buku ini memang seperti perjalanan petualangan seorang anak gembala bernama Santiago. Namun jika dibaca lebih dalam ternyata petualangan itu bukanlah sekedar petualangan mencari harta karun tapi lebih pada harta karun kehidupan si petualangnya sendiri. Latar belakang dari kisah ini bisa diartikan sebagai pengalaman pribadi dari penulis sendiri dalam meraih impiannya.
Jika pernah membaca pengalaman hidupnya dan membandingkan dengan isi dari buku ini, maka barulah kita paham apa yang ingin disampaikan oleh Coelho. Paulo Coelho lahir di Rio De Jeneiro, Brazil. Kehidupannya bisa dibilang penuh tekanan terutama ketika masa-masa mudanya. Orang tuanya pernah memasukkannya ke sebuah rumah sakit jiwa pada usia 17 tahun karena memiliki keinginan untuk menjadi seorang penulis. Lalu setelah itu ia memenuhi keinginan orang tuanya untuk mengambil jurusan hukum dan melupakan keinginan menjadi seorang penulis.
Tapi tak sampai lulus, sekolahnya mengeluarkannya dan Coelho memutuskan untuk menjadi seorang pengembara. Pergi ke berbagai tempat dari Amerika Selatan, Mexico, Eropa hingga Afrika Utara. Ia pun pernah menjadi seorang penulis lagu, hingga suatu ketika ia mengalami kebangkitan spiritual saat berjalan sepanjang 500 mil dari barat laut spanyol. Dari pengalaman spriritual itu ia menuliskan kisah sang Alkemis ini. Lalu apa sih yang aku suka atau yang tidak aku suka dari buku ini?
Baca juga: Kisah Kehidupan dalam Cerita Ernest Hemingway
Nilai Estetis Secara Subyektif
Anyway, nilai estetik dari karya ini nggak melulu soal gaya bahasa atau keindahan dari karya ya. Tapi, di sini aku menjelaskan nilai estetik buku sang Alkemis ini sebagai kelebihannya. Untuk beberapa hal buku ini memang worth banget buat teman membaca:
- Gaya Bahasa: Bahasanya dari buku ini mayoritas menggunakan majas Alegori. Bahkan, aku bisa mengatakan buku ini merupakan alegori dari kehidupan banyak orang (juga penulis sendiri). Misalkan bagaimana penulis menggambarkan padang pasir yang menjadi latar tempat dari novel sebagai gambaran dari kehidupan manusia yang luas dan tidak menentu. Bisa juga ia menggambarkan Jiwa Dunia sebagai hati manusia. Sama dengan buku Mata Hari yang aku baca sebelumnya, gaya bahasa denan majas alegori tapi masih terasa lugas seolah menjadi ciri khas dari si penulis ini.
- Penokohan: tidak terlalu banyak, sehingga pembaca bisa mengenal satu-persatu tokoh dari karakteristik fisik yang tergambar di sana. Penokohan dari buku ini lebih menitik beratkan pada kondisi emosional para tokohnya. Banyak pergulatan batin yang terjadi di antara tokoh-tokoh yang berinteraksi dengan si tokoh utama. Salah satunya adalah bagaimana si pedagang kristal ini merasakan dorongan emosional saat Santiago ingin melanjutkan mencari harta karun di Piramida Mesir.
- Latar tempat: penggambaran latar dari cerita yang ada di padang pasir, benar-benar mengkondisikan padang pasir yang sebenarnya. Bagaimana situasi orang-orang di sana yang begitu mendambakan kesejukan dan tentu saja mata air di oase-oase. Bagaimana perang antar suku untuk bisa terjadi di padang pasir.
Walau begitu it’s not 100% perfect ya! Setidaknya ada beberapa hal yang aku garis bawahi dan mungkin bisa jadi masukan buat kalian yang mau baca ini.
Nilai Non-Estetis Secara Subyektif
Buku sang alkemis secara garis besar it bagus. Tapi ada beberapa hal yang aku anggap kurang sebagai pembaca waktu baca bukunya. Apa saja sih yang menurutku jadi nilai non-estetisnya?
- Cover buku: secara pribadi aku lebih suka cover buku yang versi bahasa Inggrisnya. Menurutku warnanya tegas dan memberi kesan misterius daripada sampul buku di cetakan ke-33nya.
- Penokohan: Walau secara penokohan itu sedikit, tapi kita justru bingung dengan karakter tokoh yang ada di dalamnya. Penulis tidak menggambarkan secara dalam bagaimana karakter tokoh melalui emosi yang menyertainya. Seolah Coelho hanya menampilkan sisi umum dari manusia saat menghadapi dilema saat memilih.
- Gaya Bahasa: Walau gaya bahasa dengan penggunaan majas alegori itu indah, tapi tidak semua orang akan paham simbol-simbol dari para tokoh di buku ini. Nasihat yang digunakan sebagai percakapan antar tokoh yang cenderung idealis sehingga lebih cocok untuk renungan dan bukan untuk dipraktekkan. Buku ini pun membuatku merasa lebih cocok disebut buku motivasi belaka.
Buku ini bisa membantu bagi kalian yang berusaha keluar dari cangkang ketakutan diri sendiri. Kalau ada yang sudah membaca buku, bagaimana nih kesannya dengan novel sang alkemis ini?
Comment
saya kesini karena Jang-Uk dan Mu-Deok, tapi yang saya dapatkan malah cerita dan ulasan yang menarik tentang Sang Alkemis. bukan cerita drama penyihir dan pemindah jiwa semata.
Kereeen euy. Pastinya di bukunya bakal banyak istilah-istilah yang berkaitan dengan unsur-unsur kimia, fisika & lain-lain. Novelnya penuh teka teki pengetahuan sains yang nunggu untuk dikulik..
2 Responses