Penulis : Dinda Pranata
Srek! srek! Suara sapu lidi terdengar dari kamar si Ucup, anak Mamak yang usianya 4 tahun. Pagi-pagi mamak sudah sibuk di depan rumah dan di dapur mememuhi kewajiban seorang wanita yang sudah menikah. “Waduh pagi-pagi sudah menyapu halaman, Bu!” sapa Bu Dodit yang dijawab dengan senyuman mamak. Tiba-tiba, “Bu, saya ini heran lihat Mamat. Disuruh baca buku selalu kabur ke kandang ayam,” keluh Bu Dodit.
Bunga Kaktus di Kampung By Dinda Pranata
“Memang Mamat ngapain di kandang ayam, Bu?” tanya Mamak. “Suka adu ayam sama si Pete,” jawab Bu Dodit, “padahal ya kalah terus. Daripada begitu ‘kan lebih baik baca buku seperti si Ucup.”
Ibu cuma tersenyum sambil melanjutkan menyerok sampah daun ke tong sampah, “lha njenengan sendiri suka baca apa tidak?” seloroh mamak. Bu Dodit cuma menatapnya melongo.
Literasi usia dini memang menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat Indonesia khususnya para orang tua. Di Indonesia berdasarkan pada data dari laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2019 menyebutkan Indonesia dalam kategori sedang untuk budaya membaca. Sedangkan secara per provinsi sebagian besar masih dalam kategori rendah minat baca.
Tak heran banyak pihak yang gencar melakukan sosialisasi untuk menyebarkan virus gemar membaca pada anak. Salah satunya pada hari Rabu, 24 Agustus 2022 dinas perpustakaan DKI Jakarta melakukan sosialisasi dengan judul Menumbuhkan Kegemaran Membaca Anak Sejak Usia Dini yang diikuti kurang lebih sebanyak 526 peserta dari berbagai elemen masyarakat. Lalu bagaimana sih sebenarnya menanamkan minat baca pada anak?
Literasi Usia Dini dan Cerminan Diri
Keluarga adalah sekolah paling awal dari seorang anak. Ketika anak belum masuk sekolah, anak-anak akan berinterasi dengan keluarga selama 24 jam penuh. Apabila dalam keluarga salah satu atau kedua orang tuanya memiliki minat baca yang tinggi, maka bukan tidak mungkin kegemaran atau minat itu akan menurun pada anaknya. Mengapa?
Tentu saja karena keluarga adalah role model seorang anak dalam memulai proses sosialisasi pertama kali. Dalam keluarga inilah anak-anak akan belajar proses internalisasi diri mulai nilai moral, perilaku termasuk kebiasaan itu sendiri. Jika sejak kecil anak melihat role model-nya (yaitu: orang tua) terbiasa membaca buku, anak akan cenderung meniru perilaku membaca buku sebagai proses internalisasi perilaku. Jadi jangan heran apabila orang tuanya suka main game di smartphone maka anak akan meniru perilaku tersebut dan begitu pun perilaku membaca buku.
Baca juga: Sang Alkemis, Kisah Penggembala Domba dan Penaklukan Gurun
Ibaratnya tingkat literasi pada anak usia dini bisa menjadi cerminan diri bagi orang tua. Dengan rendahnya minat baca buku pada anak, ini bisa menandakan bahwa anak kekurangan role model yang membuatnya kurang meminati aktifitas tersebut. Sehingga dalam menanamkan kebiasaan senang membaca pada anak, tentu orang tua perlu berkaca dulu pada diri sendiri. Apakah sebagai orang tua kita sudah memiliki minat membaca ataukah belum. Lalu, apa lagi nih tantangannya?
Ekspektasi Orang Tua yang Terlalu Muluk = Rasa Frustasi Anak
Selain masalah kurangnya minat baca dari orang tua, juga ada masalah pada tingkat ekspektasi orang tua terhadap minat dan kemampuan si anak. Memangnya itu masalah ya? bukannya wajar kalau orang tua ingin literasi anak meningkat atau anaknya pintar?
Mommy, Daddy! anak-anak itu juga manusia yang punya kemampuan berbeda dan tidak bisa disama ratakan. Dalam webminar tersebut Ms. Rosalynn Tamara seorang pemerhati pendidikan anak usia dini menjelaskan, “rata-rata orang tua anak mengharapkan anak-anaknya lancar membaca pada usia tertentu. Padahal kemampuan literasi anak bisa berbeda dan tidak terpatok pada usia tertentu,” ujarnya dalam sesi tanya jawab webminar.
Selain itu Ms. Rosalynn juga menyoroti dengan adanya standarisasi kemampuan membaca berdasarkan usia tertentu, justru bisa menurunkan minat baca pada anak-anak. Alasannya adalah paksaan untuk bisa dan bukan untuk meminati aktifitasnya. Dan aku sendiri sebagai orang tua pun setuju dengan hal tersebut. Alih-alih anak-anak merasa senang justru anak-anak bisa frustasi karena aktifitas membaca bukan sesuatu yang menyenangkan baginya. Lalu apa yang harus dilakukan orang tua?
Mengurangi ekspektasi. Sejatinya ekspektasi yang muluk dari orang tua bisa menjadi momok bagi anak. Bukan hanya untuk kasus pengenalan kebiasaan membaca, tapi juga untuk segala aktifitas yang lain. Ekspektasi yang tidak realistis dan juga tidak dibarengi kebiasaan membaca dari orang tua, maka kecil kemungkinan kebiasaan membaca buku usia dini bisa terbentuk. Lalu ada tidak langkah yang baik untuk mengenalkan kebiasaan membaca buku usia dini?
Baca juga: L'Assommoir - Kisah Wanita Tangguh Ditengah Kemiskinan dan Kebobrokan Paris
Membaca Karena Senang Bukan Karena Tegang
Apa alasan anak-anak senang bermain? Jelas karena bagi mereka bermain menyenangkan. Sama halnya dengan membaca buku, jika orang tua mengenalkan bacaan dengan cara yang menyenangkan mereka pun akan menyenangi aktifitas tersebut.
Senada dengan apa yang dijelaskan oleh Kak Cahyo sebagai seorang pendongeng sekaligus praktiksi pendidikan anak usia dini, bahwa bahasa dan membaca itu adalah sebuah proses yang dibentuk. Kedua hal itu tidak tumbuh secara alami tapi budaya dan kebiasaan membentuk kedua hal tersebut. Dan, untuk membentuk budaya membaca setidaknya orang tua bisa lakukan dengan beberapa hal berikut:
- Tunjukkan bukan jelaskan: Orang tua menunjukkan di depan anak membaca buku secara rutin dan disertai dengan penjelasan sederhana bahwa membaca buku menyenangkan, cepat atau lambat proses itu akan diserap anak.
- Sortir Bacaan dan Biarkan Mereka Memilih Bacaan yang Tersortir. Mensortir bacaan bukan berarti kita membatasi bacaan anak, di sini kita mensortir isi bacaan anak sesuai dengan usia. Jangan sampai isi bacaan tidak sesuai dengan usia si anak dong. Setelah sortir lalu biarkan mereka memilih bacaan yang mereka suka. Bacaan favorit si kecil bisa merangsang mood membaca.
- Berimajinasilah wahai manusia. Orang tua tidak perlu terlalu serius saat membaca bacaan anak. Kadang kala orang tua bisa berimprovisasi lewat imajinasi untuk menunjukkan bahwa membaca tidak sekaku atau seserius itu. Improvisasi merangsang anak untuk lebih kreatif dan dengan bebas berimajinasi bisa membuat perjalanan membaca menjadi lebih menyenangkan.
- Bersenang-senanglah. Sekali lagi orang tua perlu menyadari bahwa membaca buku adalah sebuah proses yang membutuhkan waktu. Bersabarlah dan bersenang-senanglah dengan proses membaca dengan sang anak. Jangan berekspekasi anak akan segera menguasai satu bacaan atau menangkap bacaan, tapi biarkan mereka meresapi dan menikmati aktifitas membaca bukunya.
Comment
Waktu saya kecil cara ortu saya menanamkan kebiasaan membaca dengan berlangganan majalah anak-anak, saya disuruh milih majalah yang saya suka. Lalu kalau minta mainan dan lainnya lebih dipersulit, tapi kalau minta buku entah itu komik, novel, atau lainnya lebih dipermudah bahkan dianterin ke toko buku. Dan saya dibebasin membaca apa yang saya suka, nggak dituntut apapun kecuali nggak boleh baca di jam belajar. Waktu masih SD koleksi buku saya termasuk banyak, sempat buka persewaan buku juga.
Jaman aku kecil, aku gemar membaca. Makin ke sini makin jarang baca buku 😂 Tapi aku mao mencoba ajarin anakku untuk suka baca buku juga. Thanks ya artikelnya
Tantangan banget memang melakukan pembiasaan literasi dini ke anak. Jangan sampai membiasakan anak untuk membaca, tapi orang tuanya nggk suka baca
Ini benar banget sih, Dua point yang aku hightlight jangan memaksa anak dan buat kegiatan itu menyenangkan. Menurut saya kedua poin di atas emang penting banget ya… biar anak-anak ngak terpaksa saat membaca buku, mereka happy kita happy.
4 Responses