Penulis : Dinda Pranata
Salah satu hal yang sampai sekarang aku ingat adalah ketika di salah satu mata kuliah, aku mendapat kebebasan baca manga/komik. Seumur-umur selama sekolah bacaan komik itu jadi bacaan paling ‘haram’, karena adanya anggapan kurang mendidik. Bahkan lucunya, saat razia di tas di sekolah menengah salah satu guru nyeletuk, “kalau sekolah jangan baca komik, tapi buku pelajaran!”
Pertanyaan yang terlintas di kepalaku adalah kenapa bacaan seperti komik atau buku grafis semacam itu mereka anggap tidak mendidik? Dan adakah solusinya?
Komik dan Budaya Tradisional
Kalian yang generasi 90-an mungkin paham banget bagaimana rasanya saat membaca komik justru mendapat omelan baik dari guru atau orang tua. Di era 90-an kala itu, banyak sekolah yang melarang anak-anak didiknya membaca komik dengan alasan komik adalah bacaan yang tidak mendidik. Tidak hanya guru-guru di sekolah lho, tapi juga para orang tua ikut-ikutan melarang anak baca komik dengan alasan childish/ kekanakan atau berbahaya bagi pendidikan anak.
Sebuah jurnal berjudul Komik: Karya Sastra Bergambar menjelaskan keberadaan komik bisa memperlambat anak dalam belajar membaca. Menurut Miktiono seperti yang dikutip jurnal tersebut mengatakan bahwa komik bisa membuat anak buta huruf, serta kritik pada gambar dalam komik yang banyak menyajikan tindakan brutal, kasar atau tidak senonoh. Tapi tahukah kalian bahwa komik sendiri nyatanya juga masuk dalam karya sastra.
Cikal bakal komik menurut laman kompas bisa jadi dari relief-relief di candi borobudur atau di candi lainnya. Relief yang tergambar di candi-candi menunjukkan suatu cerita yang pernah terjadi dahulu kala. Lalu juga ada gulungan wayang beber yang menjadi wadah cerita dengan media gambar wayang di gulungan kain. Cikal bakal ini menunjukkan bahwa masyarakat tradisional sudah mengenal media gambar sebagai sarana edukasi.
Budaya Populer yang Dianggap Tak Mendidik
Di Indonesia komik pop atau komik strip awalnya muncul di koran-koran atau majalah. Tercatat bahwa komik striping pertama muncul tahun 1930-an berjudul Put On karya Kho Wan Gie yang ada dalam koran Shin Po tahun 1931-1960-an. Lalu tahun 1950-an R.A Kosasih membuat komik Sri Asih yang terinsiparasi dari kisah super hero asal barat (wonder woman).
Lalu tahun 1960-an komik-komik yang mengangkat tema perjuangan dan sejarah mulai bermunculan. Salah satunya karya Abdulsalam berjudul Kisah Pendudukan Jogja yang berkisah tentang masa agresi militer Belanda tahun 1948-1949. Bahkan koran harian pikiran rakyat juga memuat kisah dari Abdulsalam ini. Namun tepat tahun 1964-1966 banyak komik-komik roman yang masuk ke Indonesia, sehingga mendapat banyak kecaman. Lho kenapa?
Pasalnya pada komik roman remaja ini banyak gambar-gambar vulgar dan menampilakan sisi erotisme serta kekerasan. Kondisi inilah yang mengakibatkan banyak pihak memandang komik sebagai bacaan tak mendidik. Stereotip itulah lambat laun menjadikan komik kurang diminati dan terus mengalami kemunduran dari tahun 1968 hingga saat ini. Belum lagi gempuran komik asing yang terus mendapat tempat di kalangan konsumen Indonesia. Lalu enaknya bagaimana nih?
Menghilangkan Stereotip Komik, Apa Mungkin?
Bisa saja kita menghilangkan stereotip tapi proses itu tentu sangat panjang dan membutuhkan keterlibatan banyak pihak. Walau proses penghilangan stereotip komik tidak mudah, kita bisa memulainya dengan langkah sederhana. Langkah itu dimulai dari pendidikan keluarga.
Pada postingan sebelumnya, aku pernah membahas tentang bagaimana meningkatkan minat baca pada anak usia dini. Postingan itu aku buat setelah mengikuti webminar yang menurutku sangat bermanfaat bagi orang tua dan juga kita sendiri. Salah satunya adalah tentan kebebasan memilih bacaan. Anak-anak—bahkan orang dewasa sekalipun—tentu sangat suka bacaan bergambar/komik, karena visual dari bacaan sangat membantu dalam menterjemahkan kata-kata. Saat anak menunjukkan ketertarikan pada komik biarkan dia menikmatinya sebagai proses menumbuhkan minat literasi anak.
Jika orang tua sudah mengekang jenis bacaan pada anak karena stereotip tentang komik, mana bisa anak menyukai proses membaca ataupun menumbuhkan minat literasinya sejak dini. Selain itu saat ini dunia pendidikan pun tak kalah maju, sudah banyak bahan ajar yang menggunakan gambar sebagai bagian dari proses pembelajaran. Kini komik perlahan dianggap sebagai mediator yang baik bagi penyerapan ilmu dibanding dengan tulisan yang (kadang) kaku dan membosankan.
Jadi hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah mengajarkan anak atau siswa didik kita bebas stereotip. Termasuk stereotip terhadap pilihan buku/bacaan. Selama bacaan itu memiliki hal yang bisa dipetik/diajarkan/memberi wawasan, mengapa tidak!
source:
goodnewsfromindonesia.id
Soedarso, Nick. “Komik: Karya Sastra Bergambar.” Humaniora, vol. 6, no. 4, 2015: Hal. 496
Comment
Bener banget yaa..
Kalau anak gak pernah dilarang membaca, meski itu komik (asal jangan bacaan yang gak sesuai usia), rasanya gak bijak banget. Gitu menuntu anak senang membaca darimana?
Jadi inget komik kesukaanku, karena masku koleksi, Dragon Ballz sama Kungfu Boy.
Selanjutnya pas SMA, pinjem temen komik Arale (alias Dr Slump). Hehhe…seneng banget baca komik.
suka banget quote ini : Membaca itu nikmat, tapi lebih nikmat lagi membaca dari sesuatu yang memantik minat.
ada lagi yang saya suka : temukan satu buku yang disukai dan silakan jatuh cinta dnegan membaca
aku nggak setuju sih kalo komik dibilang nggak mendidik hehe. karena aku suka baca awal mulanya dari komik Doraemon haha. hal-hal besar justru bermula dari hal-hal kecil. begitu juga dengan habit membaca.
3 Responses