Home / Gerbang

Tradisi Kritik yang Kebablasan

Senjahari.com - 02/09/2022

Tradisi Kritik

Penulis : Dinda Pranata

“Dasar nggak becus! Tolol! Gitu aja nggak bisa!” atau “Anj*ng loe! Bintang apa manusia sih! Gitu amat sama orang!” Ada yang pernah mendengar kalimat-kalimat begitu, entah di media sosial atau dalam lingkung sosial. Orang kadang menganggap kata-kata seperti ini lumrah untuk sebuah kritik. Tapi tahu nggak antara kritik dan hinaan itu bedanya tipis sekali. Kadang kita tidak menyadari kalau sudah menghina dengan dalih kritik. Lalu apa bedanya antara kritik dan hinaan?

Beda Sudut Pandang Beda Istilah

Mengkritik bisa menjadi salah satu cara yang membantu orang untuk berkembang. Tapi mengkritik juga menjadi kebiasaan yang tak sehat baik bagi pengkritik atau penerima kritiknya. Kenapa? Karena bisa jadi kritikan itu bukan untuk membuat orang berkembang atau merubah sifat/perilaku justru membuat orang merasa rendah diri dan sakit hati.

Antara kritik dan hinaan, bedanya tipis. Ibaratnya antara cinta dan benci, cie cie…! Jika kritikan itu kebablasan dan tidak sesuai tempatnya, bukan tidak mungkin menimbulkan konflik hingga kesehatan mental yang buruk. Bisakah kita membedakan kritik dengan hinaan?

Berdasarkan laman britannica yang menjelaskan bahwa kritikan ditujukan untuk mengkritik suatu hal/obyek kritik. Seperti misalkan kita ingin mengkritik pemerintah atas kenaikan harga BBM, alih-alih menyerang pemerintah dengan “pemerintah tolol dan nggak becus, masa BBM naik begitu saja!” Kita bisa mengubahnya dengan, “pemerintah tidak seharusnya menaikkan harga BBM terlalu dini, ada baiknya untuk mengkaji ulang hal tersebut.” Tidak hanya untuk pemerintah tetapi juga bisa kita terapkan kepada urusan personal.

Jika kita menggunakan kata-kata pemerintah tolol, bla bla bla, maka yang terjadi kita termasuk golongan penghina pemerintah. Menghina kita berarti menjelekkan pribadi/institusi dan menyerang secara personal. Kasus-kasus seperti ini sering kita temui di media sosial. Jika kebablasan menyerang pribadi dengan dalih kritik, maka sebagai konsekuensinya kita bisa dipenjara atas tuduhan penghinaan konstitusi atau pencemaran nama baik. Dari sini kita bisa membedakan, mana yang namanya kritik dan mana yang namanya penghinaan. Lalu apa dampaknya jika mengkritik jadi kebablasan?

Tradisi Kritik dan Pembenaran Penghinaan

Coba kita refleksikan kembali diri kita dengan pertanyaan, seberapa sering kita mengkritik seseorang atau sesuatu tapi justru menjadi hinaan? Atau seberapa sering kita menerima kritik tapi bukannya kritik malah penghinaan pada diri? Hal yang sama pun terjadi di media sosial atau lingkungan sehari-hari. Misal nih yang sederhana, kita ingin mengkritik pasangan “kamu enggak bisa masak ya, kok masakannya keasinan terus.” Atau mau mengkritik anak, “kamu ini cengeng banget! ini masalah kecil, jangan dibesar-besarkan.”

Sama dengan penjelasan di atas, hal tersebut kerap kali tanpa sadar kita lakukan dalam keseharian. Banyak orang mengajukan kritik tidak sesuai tempat dan kadang nggak nyambung dengan apa yang harusnya mereka kritik. Ketika penerima kritiknya merasa defensif, pengkritik akan buru-buru bilang bahwa itu kritikan yang membangun atau kritik tersebut demi membangun si penerima kritik. Naasnya, penerima kritik mengiyakan dan berusaha legowo dengan kritik yang menjatuhkan tersebut.

Kritik dan Penghinaan
Kritik dan Penghinaan

Dalih-dalih ini yang perlu kita sadari sebagai individu yang cerdas agar tidak terjebak dengan pembenaran penghinaan dengan dalih kritik. Hal yang sama pun berlaku dengan mereka yang mereka mendapatkan kritik, tidak semua kritik adalah penghinaan.

Di era modern seperti sekarang, media sosial menjadi sarana tercepat untuk menyampaikan kritik atau hinaan ke berbagai lapisan masyarakat. Dalih-dalih yang menyesatkan seperti penghinaan dengan motif kritik, akan menjadikan hinaan sebagai tradisi kritik yang umum di masyarakat. Ini merupakan dampak yang sangat berbahaya tidak hanya bagi si pengkritik tapi juga penerima kritik.

Peyorasi Kritik di Mata Manusia

Saat penghinaan dengan maksud kritik menjadi sebuah tradisi dan budaya, menjadikan kritik sendiri bukan lagi cara yang sehat untuk membangun manusia/lembaga/kelompok. Bagaimana bisa? Jika itu terjadi di hubungan antar manusia tentu mudah sekali memicu konflik antar individu serta mengganggu keharmonisan suatu hubungan antar manusia secara mental dan fisik. Saat penghinaan terhadap institusi/lembaga, ya tentu saja bisa menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut atau disfungsi dari lembaga tersebut.

Bukankah fungsi kritik bisa dikatakan sebagai kontrol atau perbaikan atas kekurangan-kekurangan yang ada agar manusia atau sebuah lembaga dann juga institusi semakin berkembang. Tapi kondisi masyarakat yang kurang bisa membedakan mana kritik dan mana menghina dan menebas semua kata-kata angkara murka sebagai kritik, menjadikan kritik ini tak ubahnya sebagai senjata untuk saling menyakiti. Hasilnya kritik menjadi sebuah produk yang mengalami degradasi makna di mata kalangan masyarakat. Lalu apa solusinya?

hanya ada satu rumus:
Kritik = tujuannya sifat/obyek/kinerja
Penghinaan = tujuannya orang/benda/lembaga/subyek

Sudahkah kita belajar untuk mengkritik tanpa menghina? atau meneria kritik bukan sebagai hinaan?

Source:
mediaindonesia.com
kompas.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

*

Post comment

Comment

benerrr bangettss.. sekarang udah kelewat batas banget sejak ada sosial media. sosmed memang seperti pedang bermata dua, satu sisi bisa sangat bermamfaat, sisi lainnya bisa sangat berakibat negatif. kata-kata tak pantas bahkan menyebut kelompok orang dengan sebutan hewan sudah jadi hal biasa.. semisal cebong, unta, kampret, kadal gurun, dll.. makanya saya rasa ingin menarik diri dari diskusi hal-hal yang sensitif di sosmed..

antara kritik dan hinaan memang cukup tipis perbedaannya. ada orang yang jelas menghina tapi mereka berdalih hanya mengkritik 😌

2 Responses