Penulis : Dinda Pranata
Aksara lontara mungkin hampir tidak kita kenal sebelumnya. Sebagian dari kita mungkin lebih mengenal lontar daripada apa itu lontara. Aksara lontara merupakan salah satu huruf kuno yang berasal dari Sulawesi. Di Sulawesi sendiri setidaknya ada empat jenis tulisan yang dipakai antara lain lontara, aksara jangang-jangang, bilang-bilang dan aksara arab serang.
Salah satu aksara yang menarik adalah aksara lontara yang digunakan dalam salah satu kesusasteraan kuno bernama La Galigo. Yang mana naskah La Galigo ini akan kita bahas pada atikel berikutnya. Lalu bagaimana sejarah mencatat tentang aksara ini? dan bagaimana dinamikanya?
Desas-desus Aksara Lontara dari Para Ahli
Jika manusia memiliki silsilah keluarga, maka begitupun dengan bahasa dan aksara yang juga sama-sama memiliki garis keturunannya. Misalkan tulisan hanacaraka atau aksara Jawa memiliki nenek moyang dari aksara semit kuno. Hal yang sama juga berlaku bagi aksara lontara yang bangsa bugis miliki, yang ternyata satu garis dari tulisan semit kuno.
Banyak ahli yang meneliti asal dari huruf ini lho. Seperti salah satunya menurut H. Kern dalam sebuah jurnal mengatakan bahwa aksara ini berasal dari aksara sansekerta. Aksara tersebut kemudian disederhanakan agar lebih mudah digunakan. Menurut Nakanishi pun berpendapat hal yang sama bahwa tulisan ini turunan dari bahasa sansekerta.
Berbeda dengan ahli budaya bugis-makassar yang membantah hal tersebut. Bantahan itu mereka sampaikan bahwa tulisan lontara adalah tulisan yang mereka ciptakan sendiri berdasarkan falsafah kehidupannya. Falsafah itu mereka istilahkan sebagai Sulapak eppa walasuji (Segi empat belah ketupat) yang artinya mereka memandang alam semesta dari empat sisi/arah mata angin. Bahkan sebuah desertasi menyebutkan bahwa falsafah tersebut kemudian menjadi nama lain dari aksara lontara (lontara) sendiri. Sayangnya bantahan mengenai aksara dan falsafah sulapak eppa walasuji ini bisa jadi kurang tepat.
Persebaran Tulisan dan Rumornya
Berdasarkan Kern dalam Nurhayanti (2014) yang mana ia mendapat potongan terjemahan dari Groeneveld tentang tulisan dari daun lontar yang berbentuk seperti gulungan pita tahun 977M. Informasi itu memuat sebuah dugaan tentang surat bersegel dari Raja P’uni (Brunei) kepada dinasti Sung di Cina. Media tulisannya mengkilat dengan panjang beberapa kaki, bentuknya pun mirip seperti gulungan kaset dan cara baca secara horizontal. Jika kita lihat dari bentuk medianya maka bisa jadi aksara lontara itu sendiri sudah ada sejak zaman kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-10).
Dalam sebuah buku The Lands West of The Lakes mengemukakan adanya tumpang tindih penggunaan aksara lontara dengan aksara jangang-jangang. Namun dari penelitian dengan identifikasi media tulisnya maka menghasilkan bahwa tulisan lontara lebih dulu ada daripada jangang-jangang yang bentuknya menyerupai burung.
Lalu saat adanya kertas, maka tulisan lontara tersebut mengalami penyesuaian. Tulisan lontara ini mengalami beberapa perubahan seperti bentuk huruf Ja, Pa, La, Sa dan A. Sedangkan, huruf yang menjadi tambahan antara lain huruf Ngka, Mpa, Nca, dan Nra. Lalu bagaimana persebarannya? Di wilayah Bugis dan Makassar, juga di wilayah yang memperoleh budaya Bugis-Makassar seperti di Ende menggunakan aksara lontara.
Di balik klaim-klaim aksara mana lebih dulu ada, ada pula klaim mengenai siapa yang menemukan. Dari banyaknya sumber yang ada, seringkali aksara lontara ini dikaitkan dengan Daeng Pamatte. Padahal aksara yang dituliskan oleh Daeng Pamatte bukanlah aksara lontara kuno, namun huruf lontara yang sudah dimodifikasi. Lalu mengapa anggapan tentang Daeng Pamatte adalah penemunya?
Tulisan yang Berkembang Menjadi Multi-Tafsir
Melansir dari kompas Daeng Pamatte lahir di Kampung Lakiung, Gowa abad ke-16. Karena kepandaiannya, raja Gowa mengangkatnya sebagai Sabannara yang bertugas untuk mengatur perdagangan dan perantara antara kerajaan Gowa dan kerajaan lainnya.
Selain mengurus perdagangan dan menjadi perantara, ia juga bertanggung jawab sebagai tumailalang yang mengurus hal dalam dan luar negeri kerajaan Gowa. Dengan kata lain, sebagai tumailalang inilah ia bertugas untuk memelihara kesejahteraan dan pemerintahan dari kerajaan Gowa. Atas tugas tersebut dan mandat dari raja untuk melakukan pencatatan, ia pun membuat buku berjudul Lontara Bilang Gowa Tallo.
Bukankah dia berarti menciptakan aksara lontara itu? Tidak! dari beberapa bukti penelitian seperti tulisan dari surat dari Raja P’uni ke Dinasti Sung, juga epik La Galigo yang ada pada abad ke-13 menjadi bukti bahwa huruf lontara sudah dipakai jauh sebelum Daeng Pamatte lahir.
Selain itu, satu-satunya bukti yang dianggap kuat adalah bukunya yang berjudul Lontara Bilang Gowa Tallo, tapi tidak bisa menjadi bukti kuat. Sayangnya dan kenyataannya selama perkembangan dari aksara ini, lontara tidak hanya memiliki arti sebagai tulisan tapi juga undang-undang, hukum, astronomi, obat-obatan dan ilmu pengetahuan tradisional lain. Maka nggak heran banyak yang salah mengira bahwa Daeng Pamatte sebagai penemunya.
Semoga tulisannya menjadi penetral kesalahpahaman ini ya. Dan, kita berharap akan ada banyak penelitian lain terkait aksara ini
Source:
Ahmad, Abd. Aziz. “ALTERNATIF PENGEMBANGAN AKSARA LONTARA.” SAWERIGADING, no. 1, sawerigading, Vol. 15, No. 2 Agustus 2009: 203—210, Aug. 2009, pp. 67–75. Crossref, doi: https://doi.org/10.26499/sawer.v15i2.56.
Noorduyn,J. 1993. Variation in the Bugis/Makasarese script. University of Leiden: Netherland
Druce, Stephen. C,. 2009. The Lands West Of The Lakes. KITLV Press: Leiden
kompas.com
Comment
Keren juga baca artikelnya..penelitian mengenai bahasa ini memang menarik tapi kalau gak ngulik-ngulik sourcenya bisa puyeng..
1 Response