Penulis : Dinda Pranata
Nenek Iyah, panggilan akrab dari Heniah (80) yang tinggal Karangbaru, kecamatan Tukang Kayu, Banyuwangi. Setiap malam minggu ia duduk di teras di kelilingi oleh cucu-cucunya serta beberapa anak di rumahnya. Pukul setengah delapan malam selepas suara toa masjid berhenti. Para cucu Dodo (15), Adit (12), Yanti(9), Ratna (7) dan Adinda (4) sudah siap menanti di teras rumah Nenek Iyah. Mereka bersama dengan beberapa anak tetangga dari Karangbaru siap menunggu sang nenek.
Mereka bukan menunggu diberi angpau seperti tradisi Imlek atau saat lebaran tiba, tapi yang mereka tunggu sang nenek mengisahkan lakon-lakon mitologi dari kisah-kisah pewayangan.
Nenek Iyah datang dengan pakaian kebayanya, sanggul dari rambut putihnya dan tentu saja, inang sirihnya yang membuat mulutnya memerah. “Wis teko kabeh?” tanya nenek yang artinya apakah anak-anak sudah datang semua. Dengan serempak dan antusias mereka menjawab, “Inggih, Mbah!” Nenek Iyah mulai menceritakan kisah Bhatara Bayu.
Bayu, Nafas dan Kehidupan
Singkat ceritanya, ketika dewa-dewa berkumpul tiba-tiba salah satu dewa yaitu dewa Indra berinisiatif untuk membuktikan siapa dewa paling kuat. Semua dewa mencoba keahliannya kepada manusia, tapi hasilnya manusia masih bisa bertahan hidup. Tiba giliran Bhatara Bayu yang kemudian menarik udara di bumi dan seketika manusia kehilangan nafas dan nyawanya.
“Udara itu penting ya anak-anak. Jangan sampai mengotorinya agar hidup selamat,” kata Nenek Iyah dengan bahasa Jawanya dan mengakhiri kisah tersebut.
Baca juga: Penambangan Luar Angkasa. Bagaimana Kelanjutan Alam Semesta?
Jika ditanya mengapa dirinya suka bercerita daripada menasehati. Beliau hanya menjawab bahwa mendongeng lebih membuat anak-anak senang dan nurut ketimbang dituturi ini itu. “Jaman mbah sik cilik, nek ono ibuk ndongengi kuwi wedhi tapi yo seneng (Jaman mbah masih kecil, kalau ibu mendongeng kadang takut tapi ya kadang seneng),” sahutnya dengan memperlihatkan giginya yang merah akibat ngingang dengan daun sirihnya.
Nenek Iyah selalu mewanti-wanti anak-anak tak hanya lewat cerita mitologi, tetapi bentuk-bentuk lain seperti sinoman atau tembang-tembang karawitan yang ia nyanyikan saat santai. “Orang zaman dulu itu paling takut sama alam. Kalau ada banjir atau angin ribut, itu tandanya Tuhan marah pada manusia,” tuturnya dalam bahasa Jawa, “apalagi kalau kejadian itu sampai mencabut nyawa,” lanjutnya kemudian.
Salah satu hal yang paling ia ingat betul adalah cerita tentang ramalan Jayabaya dari neneknya terdahulu. Di balik kemudahan manusia, ada yang perlu berkorban yaitu alam sekitarnya terutama udara sekitar. Ia mencontohkan jika dahulu orang kemana-mana menggunakan dokar/delman, tapi sekarang orang-orang cenderung menggunakan mobil atau motor agar cepat sampai tujuan. Dengan adanya motor dan mobil membuat udara tidak sejuk dan sangat kotor, itulah yang membedakan udara zaman dahulu dan sekarang serta yang membuat Nenek Iyah lebih memilih di rumah bersama tumbuhan di pekarangannya.
Jangka Jayabaya, Polusi dan Modernisasi
Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran,
Jangka Jayabaya
Tanah Jawa kalungan wesi
Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang
Kali ilang kedhunge
Kutipan di atas adalah salah satu hal yang Nenek Iyah ingat ketika neneknya bercerita. Ia adalah salah satu saksi di mana kereta kuda/delman sudah mulai kehilangan pamor, tergantikan dengan mobil/motor yang penuh polusi. Akibatnya, ia kurang tertarik pergi keluar rumah selain karena masalah usia juga karena keadaan jalan yang bising serta udara yang membuatnya terbatuk-batuk. Coba kita pelajari apa yang nenek Iyah pelajari.
Baca juga: Tanya Kenapa- Hewan Berkaki Tiga Sangat Langka? Ini Sebabnya!
“Sejam di luar, rasanya tidak kuat lagi. Panasnya membuat kulit terbakar dan cepat lelah. Kanan kiri sudah banyak pabrik-pabrik,” katanya. Asap pabrik dan kendaraan, sudah benar-benar membuat kondisi tempat tinggalnya kurang sehat. Baginya ini salah satu bukti bahwa kereta tanpa kuda berdampingan dan memenuhi kehidupan nenek Iyah. Kereta-kereta tanpa kuda juga perahu di atas awan (pesawat terbang) membuat kualitas udara kurang baik bagi kehidupan sekitar.
Tanah jawa dan pulau besar lain mulai berkalung besi nyatanya benar terjadi. Tak hanya di tempat tinggal Nenek Iyah, tetapi kita bisa melihat bagaimana industri-industri pabrik menjamur di kota-kota besar. Hasil industri yang kini kita nikmati sebagai produk modernisasi, menciptakan dampak yang besar bagi kelangsungan ekosistem bumi. Seperti sungai/perairan yang mulai kehilangan air, menyempit atau tergantikan dengan lahan (proyek-proyek reklamasi).
Tak terelakkan beberapa fenomena alam yang Nenek Iyah lihat dan ‘nikmati’ sekarang sangat tidak lazim terjadi di zamannya yang masih banyak orang bisa menikmati alam dengan bebas dan sehat. Industri, polusi, modernisasi dan ambisi insani tak hanya menciptakan kemudahan dan kenikmatan, tetapi dalam jangka panjangnya bisa menyebabkan guncangan bagi bumi yang kian merana.
Bumiku Sayang Bumiku Malang
Bumiku sayang bumiku malang menjadi kalimat yang pas dalam menggambarkan kondisi ini. Peningkatan polusi udara di Indonesia terjadi tahun 2014 dan semakin melandai di tahun 2018 dan di tahun 2021. Sayangnya, penurunan tingkat polusi ini tidak bersamaan dengan kesadaran masyarakat akan adanya bahaya polusi-polusi yang lain seperti polusi air, suara, dan tanah.
Akibat polusi-polusi itu banyak fenomena alam yang tak lazim di zaman Nenek Iyah seperti salah satunya hujan hitam yang ia saksikan melalui televisi bulan November 2016. Selain itu perubahan iklim tak menentu seperti mood swing pada manusia, lalu juga bagaimana makhluk di bumi kian mengerut akibat cuaca yang tak menentu.
Baca juga: Folklore Estonia - Penyihir Laprander
“Saiki wong podho gawe bahan kimia-kimiaan (sintesis). Panganan, pupuk-pupuk tandhuran gawean pabrik. Bedho karo zaman mbah sing nganggo bahan teko alam,” terangnya yang menjelaskan perihal bahan makanan dan pupuk yang sekarang buatan pabrik dan berbeda dengan zaman dulu yang menggunakan bahan-bahan alami. Kalau ditanya apakah dirinya tahu bahaya adanya pabrik atau penggunaan kimia buatan, tentu jawabnya sederhana bahwa bisa merusak kesehatan dan merusak alam seperti yang ia saksikan di televisi. Bagaimana bisa merusaknya tentu nenek Iyah tidak tahu bagaimana.
“Orang tua zaman dahulu, takut menyalahi alam. Bagi mereka alam tak ubahnya Gusti Tuhan yang bisa menghukum manusia. Orang dahulu berbagi cerita mitologi dan mitos bukan untuk menakuti tapi mengajarkan menghargai semesta,” jelasnya, “Beda dengan orang sekarang yang semakin pintar, semakin ingin cepat, dan semakin kurang takut pada semestanya,” tandasnya kemudian. Setidaknya itu yang ia percayai ketika melihat situasi selama hidupnya.
Mitologi Mengajarkan Tentang Rasa,tapi Ambisi Menghancurkan Segalanya
Jurnal psikologi pun mengamini bahwa dongeng dari legenda tersebut memiliki efek pada psikologis kita sebagai manusia. Dalam jurnal tersebut menjelaskan bentuk persuasi dan komunikasi tertua adalah mendongeng/bercerita karena dalam cerita ada struktur awal, tengah dan akhir yang sesuai dengan pikiran manusia. Kemudian juga di dalam kisah mitologi/mitos terdapat hubungan dekat antara manusia dan sekitarnya yang tertutur dalam cerita. Jadi nggak salah dengan anggapan Nenek Iyah saat menasehati cucu-cucu dengan metode ini daripada menasehati untuk begini begitu.
Mitos juga berperan dalam kelangsungan alam secara tidak langsung lho! Bagaimana bisa? Coba kita lihat bagaimana orang zaman dahulu begitu takut menentang alam. Misalkan pernah mendengar mitos membuang sampah pembalut atau diaper bisa menyebabkan sembelit atau gatal-gatal pada organ intim? itu salah satu contoh bagaimana orang tua zaman dahulu menyuruh orang untuk membungkus dan membuang sampah pada tempatnya.
Secara ilmu pengetahuan memang tidak logis mengatakan bahwa fenomena membuang sampah tersebut menyebabkan gatal-gatal pada anggota tubuh, kan? Tapi coba kita dari sisi bagaimana manusia takut terkena batunya jika melanggar hal itu. Mitos/cerita mitologi juga bisa menjadi alat yang ampuh untuk menegakkan moral manusia tentang rasa memiliki alam semesta.
Baca juga: Beda Iklim Dan Cuaca. Nah Lho Apa Maksudnya ?
Alam yang dijaga oleh manusia lewat mitologi/mitos-mitos orang zaman dahulu dapat kita gunakan untuk kelangsungan hidup manusia melalui modernisasi atau penciptaan inovasi. Sayangnya, semakin tinggi keinginan manusia tidak berbarengan tidak sebanding dengan rasa kepemilikan akan bumi dan semesta. Yang terjadi justru menghancurkannya perlahan-lahan.
Banyak yang berkata jangan pernah percaya mitos! Yes, it’s true. Kita tidak boleh percaya mitos sebagai hal yang mutlak. Tapi kita bisa menggunakan mitos untuk belajar kearifan hidup di dalam kisahnya.
Source:
kompas.com
tempo.com
liputan6.com
merdeka.com
Segal, Robert A. “6. Myth and Psychology.” Myth, Oxford University Press, 2004, pp. 91–112, http://dx.doi.org/10.1093/actrade/9780192803474.003.0007.
Comment
Seneng kalau ada yang bahas cerita pewayangan gini. Apalagi ini banyak pelajaran yang bisa di ambil hikmahnya. Ya, bumi kita butuh dijaga agar tidak terkena dampak polusi udara yang semakin menggila. Saatnya menyadarkan diri Dan mengajak orang lain lebih peduli terhadap bumi.
1 Response