Home / Pojokan / Sponsored

Geliat Jiwa dalam Lekuk Tarian Bumi Oka Rusmini

Senjahari.com - 26/10/2022

Novel Tarian Bumi

Penulis : Dinda Pranata

Hidup bagi perempuan di dalam tuntutan adat, sangatlah tidak mudah. Perempuan-perempuan yang terkengkang adat seolah lapar dan haus dalam mencari jati dirinya. Bingung dan tersiksa.

Berlatar masyarakat Bali yang keras, Novel Oka Rusmini yang berjudul Tarian Bumi ini, seolah menjadi pukulan telak bagi mereka yang menggenggam kesalahpahaman tentang adat dan jati diri ajarannya. Apa sih menariknya novel Tarian Bumi ini? Apa yang bisa dikuliti dari Tarian Bumi? dan Tantangannya? Kita kupas satu-satu ya!

Luh Itu Perempuan

Sebuah kisah tentang para perempuan dan keturunannya. Dia lah Ida Ayu Telaga yang menjadi tokoh sentral dari kisah Tarian Bumi. Dia memulai kisahnya dengan rekam jejak para perempuan yang singgah dalam perjalanan hidupnya. Telaga lahir sebagai keturunan seorang bangsawan dalam kasta/wangsa Brahmana atau kalangan pemuka agama/pendeta.

Dengan alur mundur, kisah Telaga ini bermula dari bagaimana ia menceritakan kisah Meme-nya—bahasa Bali untuk Ibu—Luh Sekar hidup. Ibu Telaga, Luh Sekar, berasal dari kasta Sudra (rakyat biasa). Hidupnya sangat sulit sejak kecil yang mana keluarganya mendapat tudingan keluarga musuh, karena ikut gerakan PKI. Belum lagi, ibunya diperkosa oleh orang asing dan menyebabkan dirinya buta. Sejak kecil Ibunya menjadi tulang punggung keluarga dan punya ambisi besar untuk menjadi penari dan orang terpandang.

Luh Sekar tahu bahwa dia cantik, tubuhnya tergambar sempurna dan setiap ia lewat banyak lelaki yang menginginkannya. Sayangnya, ia tidak bisa bergabung dengan kelompok tari itu karena ia bukan dari kelas yang bangsawan, juga karena keluarganya adalah musuh negara. Hingga akhirnya ia memohon pada para dewa agar bisa menjadi penari dalam sekehe tari—kelompok tari—di daerahnya. Akhirnya, doa itu terjawab dan dirinya pun terkenal sebagai penari tercantik dan idaman para lelaki.

Baca juga: Kenanga yang Memecah Batuan Adat di Novel Oka Rusmini

Ilustrasi pria dan wanita Bali
Ilustrasi Pria dan Wanita Bali

Ambisi Luh Sekar semakin lama semakin menjadi. Ia seolah menjadi batu yang hanya bisa merasakan rasa keras dari kehidupannya. Setelah menjadi penari, seorang pria bernama Ida Bagus Pidanda dari kalangan Brahmana mempersuntingnya. Walau ia tak pernah mencintai pria ini, tapi ia berhasil mencapai ambisi-ambisi yang ia inginkan dan memperoleh derajat tertinggi. Dari pernikahannya ini ia mendapatkan seorang putri cantik bernama Ida Ayu Telaga.

Geliat Jiwa Wanita dalam Adat dan Kasta

Nyatanya wanita Sudra yang menjadi kaum Brahmana tidaklah seketika ongkang-ongkang dan terima nyaman karena derajatnya naik. Banyak hal yang berubah dari sikap, posisi terhadap keluarga kandung, hingga wanita itu harus menganggap diri mereka yang “lama” mati. Eh, maksudnya bagaimana?

Luh Sekar yang menjadi wanita kaum bangsawan harus rela meninggalkan tubuh lamanya dan keluarganya. Ia mendapatkan nama baru dari kalangan bangsawan bernama Jero Kenanga—Jero adalah sebutan bagi wanita yang sudah menikah dengan kaum Brahmana—dan tidak boleh mengunjungi keluarganya terlalu sering karena dipandang tidak pantas. Banyak tindak tanduk yang harus ia sesuaikan dengan cara-cara hidup kaum Brahmana, termasuk kepada anaknya sendiri Ida Ayu Telaga.

Setelah Dayu Telaga dewasa, ia semakin menyadari bahwa wanita-wanita yang berseliweran dalam kehidupannya memiliki masalah dengan adat-adat dan tradisi yang mengekang mereka. Tidak hanya kaum Sudra yang identik dengan kesulitan, tapi juga kaum bangsawan.

Dari kacamata Telaga, perempuan-perempuan itu seolah haus akan penghargaan yang utuh tentang diri dan posisi berpendapat mereka dalam budaya Bali yang kental akan kasta/wangsa dan budaya patriarki yang tak jarang menyengsarakan kaum perempuan.

Baca juga: Tradisi Mekotek di Desa Munggu, Mengwi-Bali

Wanita bali dalam Novel Tarian Bumi
Wanita Bali dalam Adat Istiadat

Telaga bertemu dengan Wayan Sasmitha dan jatuh cinta pada lelaki sudra itu. Ia menentang pakem-pakem wanita kaum Brahmana dan membuatnya harus mengambil keputusan penting dalam kehidupannya, apakah ia akan tetap menggunakan jubah kebangsawanannya atau lari dengan lelaki sudra itu.

Lalu apa yang bisa kita kuliti dari novel tarian bumi milik Oka Rusmini ini?

Kritik Pada Budaya Bali yang Salah Kaprah dan Kaku

Pandangan Telaga yang tajam akan budaya yang mengekang kaum perempuan, seolah menjadi katarsis dan geliat jiwa-jiwa perempuan Bali yang ingin mengubah tradisi salah kaprah dari kasta itu. Sebelumnya aku pernah membahas tentang keyakinan perkastaan yang nyatanya adalah sebuah salah kaprah besar.

Oka Rusmini, yang notabene adalah sastrawan yang berasal dari Kaum Brahmana ini, mengerti betul bagaimana salah kaprah ini berdampak pada kaum perempuan lingkungannya.

Pergulatan batin dan percakapan para tokoh menjawab semua kegelisahan para wanita yang hidupnya antara ada dan tiada, antara indah tapi juga kelam.

Contohnya adalah bagaimana ibu Telaga, Jero Kenanga ini, berjuang untuk mendapat penerimaan dari keluarga mertuanya. Belum lagi suaminya, Ida Bagus Pidanda, adalah pria yang suka main perempuan, mabuk dan doyan sambung ayam. Tak heran bahwa sang ibu dan Telaga rindu mendapat kasih sayang dari sosok laki-laki yang baik.

Tak hanya itu, novel ini pun menyajikan gambaran bagaimana perempuan kerap kali menjadi obyek yang sensual dan indah dari mata yang memandangnya. Isu-isu feminis sangat lekat dalam buku ini.

Kau ingat Luh Dampar, perempuan binal yang merasa tubuhnya paling indah di antara kita semua? Nasibnya sangat buruk. Dia terjebak dalam kehidupan yang mengerikan. Laki-laki Jerman yang selalu dipujanya ternyata memanfaatkan dirinya untuk obyek lukisan. Kau tahu, laki-laki itu tak segan menelanjangi istrinya di muka teman-teman pelukisnya?

Tarian Bumi halaman 97

Novel Tarian Bumi ini tidak hanya berkisah tentang kehidupan realita kasta di Bali, tapi juga junjungan garis patrilineal yang sering kali menyusahkan perempuan dan (juga) laki-laki. Seperti kisah tentang Tukakiang Ketu, yang merupakan kakek Telaga, yang berasal dari kasta Sudra yang kemudian ikut istri. Posisi kakek Ketu ini menyalahi pakem garis patrilineal yang seharusnya istri mengikuti garis suami. Sehingga ketika hal itu terjadi ,Tukakiang-nya merasa tidak dapat mengambil banyak keputusan terkait dengan griya karena merasa tidak punya hak.

lalu apa tantangan membaca buku ini?

Subyektifitas Pembaca

Buku setebal 179 halaman ini alurnya cukup mudah kita pahami, begitu pun dengan apa yang ingin penulis sampaikan dalam karyanya. Ada beberapa nilai plus dari novel ini:

  1. Karakter dalam buku ini begitu khas dan mewakili lapisan masyarakat Bali. Tak hanya bagaimana tantangan kaum Sudra yang naik kelas menjadi bangsawan, begitu pun dengan realita masyarakat kaum bangsawan yang turun kelas menjadi kaum sudra.
  2. Menjawab dilema-dilema perempuan di Bali yang terkungkung dalam adat dan tradisi yang kaku. Contohnya pada pilihan-pilihan hidup dari perempuan sering kali terbatas karena masalah aturan tradisinya.
  3. Lugas dan keras adalah bahasa kritikan dari Oka Rusmini. Kritikan ini untuk mereka yang menganggap kasta dan kakunya tradisi menjadi hal yang mutlak dan tidak bisa berubah.

Walau begitu bukan karya yang sempurna ada beberapa catatan dariku untuk novel Tarian Bumi ini:

  1. Ada kata-kata yang (mungkin hanya) bisa dipahami oleh masyarakat setempat. Bahasa lokal yang kadang membuat orang awam kebingungan tanpa adanya arti. Semisal Sekehe (sebutan kelompok), Taksu (kekuatan suci atau anugerah dari Tuhan), atau pemerajan (pura keluarga).
  2. Karakter ini sudah khas namun masih kurang kuat dalam mendeskripsikan. Misal karakter mata yang tajam itu seperti apa. Contoh dalam penggambaran dari sosok Ida Ayu Sagra Pidanda (nenek Telaga). Begitupun deskripsi tentang suasanya yang rasanya kurang ‘klik’.
  3. Tidak adanya bab-bab pemisah sehingga kadang jump up ke cerita tokoh lain atau pemikiran tokoh lain yang cukup membingungkan.

Sejujurnya setelah membaca novel ini ada pertanyaan yang belum terjawab tentang budaya patrilineal ini. Maybe kita akan bahas pada artikel berikutnya ya! Stay tune!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

*

Post comment

Comment

Karya sastra adalah cerminan budaya pengarangnya. Saya kenal gaya bahasa Oka Rusmini yang khas mencerminkan tradisi lokal. Lokalitas yang memukau tentang Bali dan manusia di dalamnya.

Jadi penasaran dengan Tarian Bumi. Kompleks banget kisahnya. Apalagi gaya bahasa Oka Rusmini mengalun dalam irama yang berat namun lugas dan bergulir cepat.

Keren nih kisahnya, Akku dulu suka banget baca Novel, sekarang suka juga tapi karena sibuk, kadang cuma baca judulnya saja hehehe

kebetulan saya mempunyai seorang teman asli Bali dan seorang akademisi, saya banyak mendapatkan cerita tentang Bali yang sangat detail dan banyak menginspirasi saya dalam banyak hal

Annisa Khairiyyah Rahmi

Seru deh kayanya bukunya. Mengangkat kritikan kepada budaya yang akan menyadarkan kita.

Kisah dalam novel ini menarik untuk di ulas lebih dalam kak. Penasaran sama kelanjutan ceritanya. Thanks

menarik bukunya kak, saya suka membaca tentang budaya seperti ini, banyak sudut pandang yang bisa diangkat, asyiknya jadi penulis dapat menyampaikan ‘protes’ dengan cara apik seperti yang dilakukan Oka Rusmin

jujur buku ini agak cukup tebal, tapi sebanding dengan penjelasan-penjelasan terutama dalam menggambarkan masyarakat Bali namun yaa ada beberapa bagian yang bisa ditambahkan kembali si

Tarian Bumi bukan sekedar novel biasa, ada banyak nilai di dalamnya, bahkan juga berbicara tentang sejarah. Mengingat kasta Sudra, Brahmana, jadi seakan kembali lagi pada masa-masa pembelajaran sejarah di kala SMP dan SMA.

Terus terang saya sangat menikmati resensi dari Novel Tarian Bumi Okta Rusmini ini. Jadi ingin memilikinya

Saya selalu kagum dengan kepiawaian penulis dalam menagkap rasa dan nuansa dalam kata. Bagi saya menulis fiksi itu jujur tidak mudah, apalagi yang memadupadankan kebudayaan lokal

Lika liku kehidupan masyarakat di Bali memang menarik.untuk.di.kulik dan dipelajari. Sayapun kemarin pulang dari Bali banyak hal yang membuat penasaran.

membaca tulisan ini membuat saya rindu Bali. Meskipun sekilas, bermakna sekali. Menghayati permasalahan dan kehidupan di sana membawa saya pada tahapan baru dalam hidup.

Wow keknya novelnya sarar makna budaya ya. Kita jadi bisa banyak belajar budaya Bali dari novel ini

Yunita Sintha Dewi

Masyarakat Bali memang masing kental banget iya adat istiadatnya apalagi masih menjunjung tinggi kasta. Kasian juga kalau dipikir-pikir nasib wanita-wanita di sana. Gak bsa menjadi diri sendiri secara utuh iya.

Bukunya menarik sekali, Kak. Sebagai seorang wanita modern, nampaknya buku ini mengangkat budaya Bali beserta pandangannya terhadap sisi perempuan dari budaya ya, Kak. Tertarik dengan bukunya.

ullya muflihatin

Aku lagi nyari² bacaan yang bisa bangkitkan semangat bacaku. Ini akan masuk list hihi

Saya suka dengan ulasan dalam postingan ini. Karya sastra memang seringkali dijadikan sebagai sarana untuk mengkritik suatu hal yang kadang dianggap lumrah dalam masyarakat kita.

Jastitah Nurpadmi

Waah seru dan menarik yaa bukunya. kalo di Bali memang masing kental banget ya adat istiadatnya? Apalagi masih harus memperhatikan berdasarkan kasta, yg seakan jadi terhambat ruang gerak nya sebagai perempuan..

Keren banget kak, sebuah cerita yang sangat inspiratif banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari sini

Review buku yang belum pernah aku baca menjadi daya tarik untuk mencari ebooknya. Penasaran dengan adat, sosial budaya bali.

suparjo suparjo

Untuk saat ini, apakah perbedaab kasta antar sudra, ksatria dan brahmana masih terlihat mencolok atau sudah mulai menghilang batasannya seiring perkembangan peradaban kak?

Pembahasan bukunya renyah sekali, kak.
Aku menikmati dan serasa sedang diskusi buku.
Sesungguhnya, buku yang mengambil tema adat begini memang harus menyelami dari sisi penulis yaa.. Sehingga tidak banyak kontemplating. Namun aku setuju sekali bahwa melalui literasi, kita bisa mengangkat hal tabu untuk menjadi hal yang pantas diangkat dan didiskusikan. Mungkin memang tidak ada konklusinya, namun bisa membuka mata bagi kita semua bagaimana sebaiknya menghadapi segala perbedaan.

Aku rasa perbedaan kasta ini tidak hanya Bali yang punya yaa..
Suku-suku lain din Indonesia seperti Jawa, juga punya. Hanya saja dibabras habis oleh RA. Kartini dan meskipun zaman sekarang masih ada, tapi tidak sekuat di tanah Bali.

21 Responses