Penulis : Dinda Pranata
Perang Suriah sudah menelan ratusan ribu korban yang terdiri dari anak-anak hingga orang dewasa. Ada yang tergulung dalam runtuhan bangunan, ada yang kehilangan nyawa, ada yang menjadi yatim dan semuanya itu menyisakan luka yang teramat dalam. Anak-anak kehilangan anggota tubuhnya, masa depan dan harapan akan kehidupan sehat. Pun dengan orang dewasa yang kehilangan semangat hidup setelah ditinggal anggota keluarga atau anak-anak mereka.
Dalam badai kemanusiaan di Suriah yang terjadi bertahun-tahun lamanya kurang lebih tahun 2011-an, ada seorang gadis kecil bernama Bana Alabed dan dua orang adik, serta keluarga besarnya terjebak dalam konflik di Alepo, Suriah. Gadis ini menceritakan kisah perang dalam kaca matanya dengan cukup memilukan di buku Dear World. Bagaimana kisahnya, nilai tak tampak dari novel ini dan pandangan subyektifitas dalam novel ini?
Pasang Surut Kebahagiaan di Tengah Perang
Bana Alabed lahir tahun 2009 di Allepo—kota tertua dan bersejarah di Suriah. Ibunya seorang guru dan ayahnya seorang pengacara. Kedua orang tuanya ini sudah menikah lama tapi tidak dikaruniai seorang anak. Baru tahun 2009 ibunya hamil dan lahirlah Bana yang kemudian dipanggil Bon Bon oleh keluarganya.
Lahirnya anak perempuan ini, membuat ibu dan ayah serta keluarga besarnya terhanyut dalam euforia. Kedua orang tuanya ini berusaha memberikan hal-hal terbaik bagi Bana di masa kecilnya. Tiga tahun awal kehidupan Bana sangat menyenangkan, ditambah kehadiran sang Adik Mohammed menjadi pelengkapnya.
Tapi harapan untuk tetap menjalani kehidupan masa anak-anak mereka tiba-tiba terenggut. Perang Suriah mengacaukan kehidupan orang-orang di Alepo, memutuskan jalur darat antar wilayah dan bom-bom jatuh di kota tua itu. Bana dan keluarga terjebak di dalam kota Allepo.
Baca juga: Stigma dan Diskriminasi: Bukan Hakim Tapi Suka Menghakimi?
Selama perang itu tak sedikit korban yang berjatuhan. Anak sekecil Bana dan Mohammed harus menyaksikan kekejaman orang dewasa yang getol akan keegoan menguasai kehidupan. Ia dan sang adiknya harus melihat dengan mata bagaimana kematian menjemput sahabat kecilnya (Yasmin), juga mata mereka menatap kekejaman bom-bom yang melukai sesamanya.
Di tengah perang itu, kedua orang tua Bana pun harus menerima kedatangan satu anggota keluarga lagi yaitu Noor, adik kedua Bana dan anak ketiga dari kedua orang tuanya. Perjalanan kehamilan adik kedua Bana mulai mencari tenaga kesehatan hingga melahirkan, sangat melelahkan. Tapi keluarga ini tetap mengusahakan agar bayi ini tetap lahir dan selamat dari perang.
Dear World, We Need a Peace!
Pada tahun 2016, saat semua sudah begitu memuakkan. Terlebih bom-bom yang kian hari seperti cuitan burung tanpa henti, membuat Bana dan Ibunya gerah. Sudah berapa banyak keluarga yang mereka saksikan harus menderita kehilangan, membuat Bana bertanya, “mengapa orang-orang dewasa menyakiti sesamanya?” Pengajuan pertanyaan itu membuatnya dan sang Ibu mengirimkan cuitan twitter. Darimana menerima gawai?
Baba, panggilan untuk sang ayah, mendapatkan itu ketika ulang tahun Bana sekaligus menjadikannya hiburan bagi anak-anak mereka. Dengan gawai itu mereka bisa belajar dan berselancar menonton acara favorit mereka. Mereka membangun panel surya untuk mengisi daya baterai di lantai teratas gedung yang mereka tinggali. Setelah berkali-kali merasa putus asa akhirnya mereka berusaha menumbuhkan harapan dengan mengirimkan cuitan twitter itu.
Dengan bantuan sang ibu, Bana membuat akun twitter-nya dan membagikan perjalanan hari-harinya selama masa blokade di Allepo. Ia mengirimkan pesan-pesan SOS “We need a peace” dan #StandWithAlepo. Betapa mengejutkannya bahwa banyak yang merespon positif unggahannya dan banyak orang-orang yang bersimpati serta mengirimkan bantuan ke wilayah itu. Bahkan keluarga itu berhasil mendapat perlindungan dari dunia lewat cuitan dari Bana.
Baca juga: Filantropi-Istilah Kece Bagi Kegiatan Kemanusiaan! Apa sih itu?
Apa menariknya buku ini?
Dear World buatku ini bukan sekedar buku yang habis baca lalu mudah aku lupakan. Tapi sebaliknya, setelah baca buku ini membuatku ingat akan anak sendiri. Why?
- Dua sisi penulisan buku yaitu sisi anak dan sisi ibu. Sebagian memang benar ditulis dari sisi anak yaitu Bana Alabed sendiri, dan tulisan ibunya menurutku melengkapi isi buku anak ini tentang kondisi orang dewasa khususnya sang ibu pada hari-harinya merawat putra-putrinya.
- Isinya membuat terenyuh dan nggak mudah dilupakan begitu saja. Banyak kata-kata yang membuatku tersentuh terutama ketika bom-bom berjatuhan di kota Allepo. Kata-katanya benar-benar bisa membuat pembaca ikut merasakan bagaimana kondisi kota saat itu, mungkin karena buku ini menerangkan kejadian yang benar-benar faktual sehingga emosi dan tekanan bisa terasa oleh pembaca.
Ada kisah lain yang menghanrui ibu, tentang perempuan yang tinggal di ujung jalan, yang ibu kenal melalui Asma. Pada suatu malam, ia menidurkan keempat anaknya, persis seperti ibu menidurkan kalian bertiga, seperti kau dan adik-adik.u, anak-anaknya juga takut tidur sendirian selama perang, jadi ia menidurkan keempat anaknya itu ditempat teraman yang ia ketahui, di tengah kasur di tengah rumah, jauh dari jendela. Tetapi ketika bom menghantam gedung sebelahnya, getarannya begitu kuat sehingga salah satu dinding apartemennya runtuh, langsung menimpa keempat anaknya yang sedang tidur.
Dear World halaman 109
- Pesannya sangat mendalam. Yang tidak bisa terlupa dari isi buku ini tentu saja pesannya. Pesan untuk mengajak kita semua sebagai manusia perlu mengedepankan perdamaian dan menghentikan perang. Perang tidak hanya membuat kita mengalami keterpurukan ekonomi ataupun kerusakan infrakstruktur, tapi rusaknya jiwa-jiwa manusia.
Meski dear world membuatku tersentuh, aku juga menemukan kekurangan itu sendiri. Meski begitu kekurangannya hanya bersifat minor.
- Penulisan dari sisi anak-anak membuat tulisannya sedikit melompat-lompat. Mungkin karena konsepnya semacam jurnal harian, sehingga tidak menyulitkan si anak untuk menyusun runtutan naskah.
- Walau penulisnya dari anak-anak, buku ini tidak cocok untuk anak-anak. Buku ini masih dominan berisi tentang hari-hari Bana dan keluarganya dalam situasi perang sehingga jangan salah duga bahwa para orang tua bisa membacakan untuk anak-anak!
Buku ini menjadi pengingat bahwa perang tidak pernah membuat siapapun bahagia, tidak juga mereka yang memiliki kepentingan sekalipun. We need a peace, stop war!
Comment
Menarik karena berasal dari kisah nyata … tapi pasti perasaan campur aduk membacanya ya.
Setelah melihat tulisan ini saya langsung melihat Twitter milik Bana. Ceritanya sangat menyentuh. Ia mengingatkan saya pada Janna Tamimi dari Palestina yang mengenal kan pada dunia tentang negerinya yang sedang terjadi dengan cara mereka sendiri.
2 Responses