Penulis : Dinda Pranata
Masalah penebangan hutan bukan lagi masalah baru di Indonesia. Sudah bertahun-tahun lamanya pembobolan hutan untuk lahan kepentingan industri tak kunjung mereda. Walhasil, luas hutan di Indonesia semakin berkurang dari tahun ke tahun. Berdasarkan data KLH tahun 2014 luas hutan sekitar 95,7 juta ha sedangkan di tahun 2019 luas hutan di Indonesia 94,1 juta ha, itu artinya sepanjang lima tahun telah terjadi pengambil alihan fungsi hutan sebanyak 1,6 juta ha. Banyak sekali bukan?
Padahal kita tahu bahwa fungsi hutan sendiri sangat penting bagi bumi. Mulai dari penahan perubahan iklim, pengurangan dampak bencana, tempat berlindungnya ekosistem alami hutan hingga khususnya tempat berlindung bagi manusia yang tinggal di dalamnya.
Hutan dan Masyarakat Adat
Bukan rahasia lagi bahwa sebelum kita hidup di dalam kompleks bangunan berbatu bata, atau kota dengan hingar bingar kendaraan, jutaan tahun yang lalu wilayah kita ini hanyalah hutan yang luas. Homo sapiens kemudian berpindah-pindah mencari suaka yang aman hingga akhirnya menemukan cara untuk menetap di dalam hutan itu.
Selama ratusan ribu abad manusia berkembang dari hanya tinggal di gua-gua hutan, hingga sekarang tinggal di kompleks berbatu bata dengan segala fasilitas lengkap. Tapi ada juga sebagian dari mereka yang tetap tinggal di dalam hutan dengan komunitas dan adat yang dibentuk oleh nenek moyang mereka, dan kita menyebutnya sebagai masyarakat adat.
Masyarakat Adat pun memiliki hak atas tanah dan sumber daya alam. Mereka pun memiliki hukum adat yang mengatur kehidupan sosial-budaya mereka dan lembaga adat yang mengatur masyarakat adat sebagai komunitas. Sumber hukum adat mereka biasanya tidak jauh dari sistem kepercayaan yang dibangun oleh nenek moyangnya dan itu berhubungan dengan animisme dan dinamisme.
Baca juga: Rumput Laut Jadi Senjata Perubahan Iklim? Ini Temuannya!
Meski begitu keberadaan masyarakat adat masih dianggap minoritas dan terkadang masih terpinggirkan. Masyarakat yang terpinggirkan itu, nyatanya justru membantu pemerintah dalam menjaga hutan dengan segala keterbatasannya. Bagaimana sebenarnya cara mereka dalam menjaga hutan meski banyak keterbatasan yang dimilikinya?
Simbiosis Mutualisme Manusia dan Alam
Salah satu cara mereka dalam menjaga hutan adalah dengan mengembangkan mitos nenek moyang turunkan pada mereka. Nah, penggunaan mitos untuk menjaga hutan oleh masyarakat adat ini, juga ada pada sebuah jurnal berjudul Mitos, Masyarakat Adat dan Pelestarian Hutan.
Para peneliti melakukan penelitian di sekitar hutan Gilimanuk dan Baluran; memang di kawasan hutan tersebut memiliki mitos-mitos yang berkembang contohnya legenda Mbah Cungking di Baluran, Mitos Bak Manting, dan lainnya. Berkembangnya mitos-mitos yang berkembang membuat orang-orang enggan untuk memasuki hutan untuk merusak termasuk melakukan aktifitas yang merugikan kawasan itu.
Dari mitos yang berkembang itu, memunculkan pantangan-pantangan aktifitas untuk membatasi perilaku yang menyimpang. Misalkan saja orang yang hendak menebang kayu di hutan, mendengar mitos dan pantangannya akan merasa takut karena menggap hutan tersebut angker.
Kalau kita mempelajari etnografi, kita bisa melihat bahwa mitos masyarakat adat ini memiliki fungsi kontrol sosial terutama bagi masyarakat yang masih mengikuti dan percaya mitos. Mitos yang berkembang dan diturunkan ini membentuk simbiosis mutualisme antara hutan, masyarakat adat dan kelestarian alam. Peran besar mereka lewat mitos itulah yang menyebabkan kawasan hutan di Gilimanuk dan Baluran masih tetap lestari.
Baca juga: Saat Tirta Menjadi Stress, Maka Pertiwi Menjadi Krisis
Tak hanya wilayah Gilimanuk dan Baluran yang memiliki kepercayaan dan mitos tentang hutan, juga suku adat lain. Misalkan suku adat pipitak, suku togutil Halmahera, Suku Anak Dalam, Suku Baduy dalam, dan lainnya. Namun meski sudah berperan untuk upaya pelestarian lingkungan, masyarakat adat di Indonesia ini masih terpinggirkan.
Apa yang bisa kita upayakan agar masyarakat adat ini tetap bisa menjalankan fungsinya tanpa kehilangan haknya?
Pembangunan Masyarakat Adat yang Setara
Seperti yang sudah aku jelaskan sebelumnya bahwa masyarakat adat ini masih terpinggirkan. Beberapa dari mereka masih kesulitan mendapatkan akses memadai untuk membangun kehidupan mereka. Meskipun banyak pembangunan terjadi di sekelilingnya, masyarakat adat tidak bisa sepenuhnya menikmati pembangunan itu. Baik itu dari segi sosial, ekonomi dan budaya.
Secara ekonomi mereka justru dirugikan karena penebangan hutan. Penebangan hutan membuat mereka yang mencari makan dengan berburu, atau menggantukan kehidupan mereka dengan menggarap tanah hutan berkurang. Belum lagi kompensasi atas penebangan hutan oleh pengusaha dan pemerintah daerah tidak sepadan dengan upaya mereka untuk menjaga hutan demi kelangsungan hidup yang lebih besar.
Salah satunya adalah kasus sengketa tanah masyarakat Adat di Besipae, NTT untuk perkebunan sawit. Konflik yang terjadi pada tahun 2020 ini membuat masyarakat adat harus angkat kaki dari hutan Pubabu yang menjadi tempat tinggal mereka. Penggusuran itu sebenarnya tidak sesuai dengan undang-undang dasar 1945
Baca juga: Menyelamatkan Bumi Dalam Tulisan Terdengar Aneh Tapi..
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
UUD 1945 pasal 18B ayat 2
Penggusuran dan hilangnya hak Masyarakat adat terjadi karena pemerintah kurang begitu memperhatikan keberadaan mereka. Ironisnya masyarakat sipil pun belum teredukasi secara penuh tentang pentingnya peranan masyarakat adat terhadap konservasi alam itu sendiri.
Apa yang bisa kita lakukan untuk membangun masyarakat adat yang adil dan sejahtera?
Idealisme yang membutuhkan Realisasi
Idealnya kita perlu menjaga masyarakat adat sebagai bagian dari penduduk Indonesia, tapi idealisme itu tidak akan berarti tanpa ada kerja sama antara warga sipil, organisasi dan juga pemerintah. Apa upaya yang bisa kita lakukan untuk membangun masyarakat adat yang adil dan sejahtera?
- Pameran konservasi hutan yang melibatkan masyarakat adat. Hasil pendanaan dan donasi konservasi 100% untuk kesejahteraan masyarakat adat. Kegiatan ini bisa dilakukan dengan bekerja sama dengan pemerintah, swasta dan organisasi.
- Membentuk indigenous tourism market atau pasar wisata masyarakat adat. Pasar ini bukan menjual hasil seni masyarakat adat saja, tetapi juga kuliner atau bahan pokok dari tumbuhan yang mereka olah sendiri di dalam hutan ke masyarakat umum. Masyarakat kota tentu tidak pernah mencicipi hasil olahan atau bahan pokok yang berasal dari hutan alami kan? Pembentukan pasar wisata masyarakat adat bisa bekerja sama dengan pihak yang berhubungan dengan pariwisata semisal hotel, organisasi lingkungan, bank, dan badan lainnya.
- Pengesahan hukum dan undang-undang yang pro terhadap kesejahteraan masyarakat adat. Undang-undang ini yang membantu kelangsungan masyarakat adat untuk tetap menjalankan fungsinya sebagai penjaga dan pelestari hutan. Hukum dalam undang-undang harus mengatur batasan wilayah yang boleh dibangun dan yang tidak boleh. Kompensasi pembangunan hutan yang sepadan dengan timbulnya dampak (misal membangun hutan buatan yang tidak untuk industri dan lainnya); Undang-undang juga mengatur pokok peningkatan kesejahteraan di bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi dan sosial.
- Merancang atau membuka Usaha Kecil Menengah Masyarakat Adat (UKMMA). Bentuk usaha ini akan membantu masyarakat adat untuk berwirausaha dan membuka lapangan kerja berbasis kearifan lokal yang dikelola masyarakat adat. Misalkan usaha pertanian mini, perkebunan mini, peternakan hutan untuk hewan-hewan ternak hutan (ayam hutan, babi butan, dll) yang dikelola oleh masyarakat adat sendiri. Pembentukannya bisa bekerja sama dengan badan usaha pemerintah, bank, dan badan pelatihan.
Menurutmu bagaimana nih? Adakah hal yang bisa kita lakukan untuk menjaga hutan dan masyarakat adatnya?
Source:
Mongabay.co.id
https://www.antaranews.com/berita/2393401/fakta-menarik-tentang-masyarakat-adat-di-indonesia
Manuaba, I. B. Putera, et al. “Mitos, Masyarakat Adat, Dan Pelestarian Hutan.” ATAVISME, no. 2, Balai Bahasa Jawa Timur, Dec. 2012, pp. 235–46. Crossref, doi:10.24257/atavisme.v15i2.63.235-246.
Comment
Memang hutan itu perlu dijaga ya. Kasihan masyarakat adat sebagai pihak yang dirugikan. Semoga makin kesini semakin banyak pihak yang sadar lingkungan sehingga hutan terjaga.
Upaya-upaya yang disebut di atas bagus Kak. Namun perlu pengawasan dan pengontrolan dalam pelaksanaanya, misal dalam hal donasi tadi bagaimana caranya agar bemar-benar sesuai dengan apa yang direncanakan. Semoga sinergi semakin kuat sehingga juga bisa menjaga kelestarian alam.
Undang2 yang pro ke masyarakat adat itu perlu banget, agar masyarakat setempat mendapatkan haknya untuk lahan yang akan digunakan. Juga agar tidak merusak lingkungan sekitarnya ya kan
3 Responses