Home / Jendela

Literasi Lintas Dimensi: Candu Buku dan Candu Smartphone

Senjahari.com - 11/12/2022

Literasi Buku Vs Literasi Smartphone

Penulis : Dinda Pranata

Saat ini banyak sekali orang yang menganggap kehadiran buku ini sangat penting. Di tengah gempuran arus teknologi ponsel pintar, lambat laun menggeser keberadaan buku itu sendiri. Meski di lapangan pecinta buku ini banyak, tetapi justru waktu yang mereka habiskan untuk membaca buku bisa sangat menurun.

Tapi kita tidak menyadari bahwa kondisi candu pada gawai, hampir sama dengan pola candu pada buku. Bahkan orang dahulu sempat mengalami shock culture terhadap masalah fenomena peningkatan aktifitas membaca buku itu sendiri.

Ada yang mencibir, ada yang mendukung bahkan ada yang kecanduan dan sakit jiwa. Nah, bisa berabe kan itu? Kalau gitu kita kenalan dulu sama candu buku.

Mesin Cetak dan Candu Buku

Sejak Johannes Guttenberg menemukan mesin cetak tahun 1439 di Eropa mulai masuk masa-masa gemilang pengetahuan. Banyak catatan ilmu pengetahuan yang dicetak dan dibagikan ke banyak cendikiawan. Lalu tahun 1455 Guttenberg menciptakan mesin cetak baru yang lebih efisien terhadap bahan dan lebih cepat, membuat percetakan kembali berjaya. Mesin cetak buatan Guttenberg kemudian mengantar Eropa memasuki masa Renaissance.

Selama kurang lebih tiga abad, mesin cetak milik Guttenberg menginsiprasi banyak percetakan di seluruh dunia. Penemuannya ini menjadi alat penyebaran ilmu pengetahuan dan meningkatkan kebutuhan literasi orang di berbagai lapisan. Akibatnya muncul dan menjamurnya industri percetakan di Eropa terutama pada masa-masa revolusi Industri di Inggris akhir abad ke-18.

Baca juga: Literasi Usia Dini Antara Ekspektasi dan Realita

Mesin cetak dan candu buku
Ilustrasi Mesin cetak dan candu buku

Ketika banyaknya industri percetakan yang muncul, menjadikan bahan bacaan seperti koran, brosur dan pamflet banyak bertebaran, khususnya buku. Meski pada tahap awal industri buku masih menjangkau kaum menengah ke atas, dalam tiga abad kemudian sudah hampir menjangkau semua lapisan dengan jenis bacaan yang beragam.

Kondisi teknologi yang memadai untuk menghasilkan banyak buku dan bahan-bahan literasi, membuat buku menjadi candu. Candu buku ini menyebabkan banyak orang mengalami fenomena reading mania (fenomena yang berhubungan dengan peningkatan aktifitas membaca).

Candu Buku dan Stigma Jenis Buku

Kondisi peningkatan dunia percetakan dan aktifitas membaca setidaknya membuat sekitar 80% sampai 90% orang Eropa melek huruf. Banyak dari masyarakat Eropa berbondong-bondong belajar membaca untuk bisa mengikuti tren bacaan terkini.

Selain itu dukungan situasi ekonomi, sosial dan politik yang panas, malah memperkaya jenis bacaan yang tidak hanya berkisar seputar ilmu pengetahuan dan buku politik. Buku-buku yang menghibur pun mulai banyak bermunculan. Pilihan buku yang menghibur justru menjadi cara mereka mengisi waktu.

Nah, akibat dari kebutuhan bacaan yang menghibur seperti novel romantis dan satir di Eropa—dengan pusat tepatnya di Inggris—sebagai bahan bacaan. Jenis bacaan ini semakin meningkatkan kecanduan orang buat baca buku. Kondisi meningkatnya minat baca di zaman itu, mendapatkan kritikan keras bahkan pelabelan karena dianggap membawa dampak buruk.

Baca juga: Review Buku The Man Who Loved Books Too Much 

Moral Panic Theory

Ada banyak sekali teori yang mungkin dipakai sebagai proses pembentukan labeling. Tapi aku mau menggunakan teori yang menurutku cocok dalam kasus kali ini yaitu teori Moral Panic. Ada dua pencetus model teori ini sih, tapi aku mau pakai teori yang dikembangkan oleh Erich Goode dan Yehuda yang dianggap lebih modern. Dalam rumusan teorinya setidaknya ada empat pertimbangan saat terjadinya moral panik.

  1. Consern: ketakutan pihak yang kontra pada aktifitas baca seperti menjadikan seseorang lebih individualis, bertindak di luar nalar hingga ketakutan yang memicu tindakan ekstrim dalam buku-buku yang dibaca).
  2. Hostily: perilaku yang dianggap menyimpang atau berbeda dari kebiasaan umum. Misal pada penikmat buku era renaissance kala itu. banyak orang yang menganggap membaca buku ini justru membuang uang, seorang yang malas dan individualis sampai sikap menutup diri.
  3. Consensus: pihak yang menyepakati bahwa ada suatu ancaman bahaya dari sesuatu hal. Dalam kasus pembaca buku, konsensus biasanya didapatkan dari koran-koran yang memberitakan dampak nyata bacaan novel terhadap perilaku atau dari jurnal yang dikeluarkan oleh otoritas tertentu, seperti gereja.
  4. Disproportionality: ketidakseimbangn fakta dan dampak yang dipikirkan oleh pihak yang kontra. Pada kasus pembaca buku misalnya, antara ketakutan pihak tertentu banyak yang tidak terjadi bahkan terbalik yang mana nyatanya membaca buku membantu orang dalam memperbaiki kehidupannya.

Industri percetakan membuka seluas-luasnya penyebaran ilmu pengetahuan dengan media cetak seperti buku, koran, jurnal, atau majalah. Meski begitu ketika teknologi percetakan mulai bergeser dan berganti dengan teknologi elektronik, lagi-lagi kondisi pada masa awal mesin cetak ada kembali terulang.

Pola Sama, Obyek yang Berbeda

Pola Literasi tiap zaman
Ilustrasi Literasi Lintas Zaman

Zaman sekarang di era di mana arus teknologi berkembang pesat, kita mulai percaya bahwa buku menjadi sesuatu yang berdampak positif pada perkembangan literasi seseorang. Padahal dahulu, zaman Renaissance, buku bacaan tak ubahnya seperti perangkat lunak yang kita pakai sekarang. Sama-sama menimbulkan candu dan melahirkan serangkaian pikiran skeptis.

Baik buku maupun smarthphone, kehadiran di masa awalnya akan kita anggap memiliki lebih banyak dampak negatif daripada positifnya. Kita bisa lihat di tahun 1990an ketika teknologi ponsel mendapat banyak kritikan. Tapi akhirnya, kita tidak memiliki pilihan selain menerimanya, kita akan percaya bahwa efek negatif dan positif selalu ada di setiap perkembangan teknologi apapun.

Ini justru bagian positif dari fenomena panik moral itu sendiri. Fenomena panik moral ini bisa menjadi kompas yang memandu kita menilai kemungkinan-kemungkinan dampak buruk dari sebuah teknologi seperti kecanduan ini. Kepanikan moral ini membantu dan memudahkan pencipta teknologi meminimalisir dampak-dampak tersebut dan terus melakukan serangkaian perbaikan sehingga teknologi menjadi ramah. Misal pada buku dengan pemberian label usia pembaca, atau pada smartphone ada parental control dan lainnya.

Ketika sekarang kita tanya, “kenapa anak muda sekarang lebih suka lihat HP daripada baca buku?” maka pertanyaan itu akan serupa dengan, “kenapa anak muda di zaman renaissance lebih suka baca buku daripada membantu orang tuanya bekerja?” Candu buku di zaman itu kurang lebih sama dengan candu smartphone di zaman sekarang.

Alih-alih menanyakan kenapa, coba untuk bertanya bagaimana anak-anak bisa bijak menggunakan HP atau buku-bukunya. Ini setidaknya bisa membuat kita mengurangi sikap membandingkan lebih baik buku atau smartphone.

Semoga bermanfaat ya!

Tiap zaman punya teknologinya sendiri. Terbukalah padanya yang ada, siapa tahu kau membutuhkannya. Tapi ingat untuk terbuka pula pada setiap kemungkinan buruknya, karena tidak ada teknologi yang sempurna.

Dinda Pranata

Source:
thought.co

Vogrinčič, Anna. 2008. “The Novel-Reading Panic in 18th-Century in England: An Outline of an Early Moral Media Panic“: University of Ljubljana

Hamerton, Christopher. “The Shaping of Opinion: Literacy, Media, and Folk Devils in Eighteenth-Century London.” Devilry, Deviance, and Public Sphere, Springer International Publishing, 2022, pp. 47–80, http://dx.doi.org/10.1007/978-3-031-14883-5_3.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

*

Post comment

Comment

Karena buku dan gadget masing-masing punya plus minus ya. Tapi dua dua menimbulkan candu. Sebagai orang tua kami berusaha juga membatasi anak bermain gadget. Bahaya kalau sampai jadi candu.

Jadi tercerahkan sekali dengan artikel ini, Kak. Ternyata begitu, ya. Kadang kita bilang satu hal ini buruk, bisa jadi karena ada sisi lain yang belum kita ketahui. Saya juga baru tahu kalau ternyata ada masanya membaca buku menjadi candu dan malah dinilai buruk. Makasih banyak, Kak.

Betul sekali tiap zaman punya teknologinya sendiri. Dulu saya kecil juga kencanduan sama buku dan majalah. Seiring zaman, rasa candu itu juga memudar. Karena faktor U juga sih, baca dikit ngantuk..hahaha.. tapi kalo nonton film kenapa engga. Nah, ada sisi rasa suka yang mungkin bergeser, dari 1 dimensi visual, menjadi dimensi berbentuk benda bergerak. Tapi untuk beli buku masih tetap sih, nimbun wkwkw. Ya bgitulah zaman, hehe.

Irhan Hisyam Dwi Nugroho

keren kak jadi punya metode berpikir yang berbeda memandang bahwa setiap zaman memiliki teknologinya sendiri – sendiri seperti buku pada zaman renesaince menjadi teknologi yang maju tetapi sekarang dengan adanya smartphone lebih bisa menjangkau berbagai ilmu pengetahuan

4 Responses