Home / Pojokan / Sponsored

Life Lesson, Karena yang Negatif Tak Harus Selalu Positif

Senjahari.com - 23/12/2022

Cover Buku Life Lesson

Penulis : Dinda Pranata

Buku Life lesson merupakan buku non-fiksi yang ditulis oleh dua orang pakar psikologi bernama Elizabeth Kübler-Ross dan David Kessler. Dua pakar psikologi ini sudah malang melintang untuk memberikan kelas dan konseling pada banyak orang. Pengalaman mereka memberikan konseling kepada orang lain, tak jarang mereka mendapatkan pengalaman dari cerita kliennya yang berada pada ambang kematian.

Inspirasi dari cerita mereka yang pernah berada atau mengahadapi ambang kematian ini, mereka tuliskan dalam buku Life Lesson ini. Sebenarnya bagaimana isi buku ini? Lalu apa yang bisa dapatkan dalam buku ini serta subyektifitas atas buku ini?

Life Lesson: Yang Negatif Tak Selamanya Harus Positif, Asal ….

Buku ini mengusung konsep penerimaan untuk mengubahnya menjadi sisi positif dari hal-hal negatif. Jika kita sering merasa ingin buru-buru mengubah hal negatif ke positif dalam bab-bab kisah di buku ini lebih membuat kita menyadari bahwa hal negatif butuh diterima dan diberi waktu untuk mereda. Selain itu di buku ini pun banyak sekali menjelaskan akar masalah dari hal negatif yang justru berasal dari persepsi diri terhadap aspek di luar diri kita.

Terbagi dalam tiga belas bab yang semuanya hampir berisi tentang emosi negatif yang seringkali kita hindari. Padahal menghindari emosi negatif dengan penyangkalan justru membuat diri sendiri semakin membuat kita jauh lebih buruk.

Daripada menyangkal lebih baik mengakui meski ada perdebatan dalam diri tentang emosi itu. Biarkan saja perdebatan itu terjadi, tidak perlu ditanggapi apapun.

Baca juga: Review Animal Farm, Satir Manusia Dalam Animal Kingdom

Penerimaan Emosi Negatif di Buku Life Lesson
Penerimaan Emosi Negatif

Misalkan saja untuk bab amarah. Dalam bab tersebut terselip kisah orang-orang yang seringkali terjebak dalam amarah hingga banyak menyebabkan masalah. Masalah itu bisa saja menyakiti bahkan menghilangkan nyawa orang lain. Contoh pengemudi yang mengemudi dengan amarah bisa menyebabkan kematian.

Ketakutan yang tidak kita sembuhkan bisa mengubahnya menjadi amarah. Amarah yang tidak teratasi bisa jadi memyebabkan amukan yang lebih besar. Kita perlu melihat diri kembali, alih-alih mengatakan aku marah karena kamu selalu memaksaku. Coba renungkan kembali, jangan-jangan kita takut bahwa dia tidak peduli dengan perasaan atau kebutuhan kita.

Ada banyak bab-bab lain yang mengupas emosi negatif lain. Lalu apa yang bisa kita renungkan dari buku Life Lesson ini?

Kita Boleh Merasa Negatif, Asal Jangan Terlarut

Siapa sih dari kita, yang merupakan manusia, tidak pernah merasa selimut emosi negatif ini datang. Saking seringnya datang kadang membuat orang yang merasakannya dan orang di sekitarnya, kelelahan dan putus asa. Nggak heran kehadiran emosi ini yang sering bikin nggak nyaman, buat orang buat buru-buru menghilangkannya sampai akhirnya mereka mulai mengingkari.

Kita perlu menyadari bahwa memiliki perasaan negatif itu manusiawi. Toh, memang kenyataannya kita tidak selalu berada dalam keadaan yang positif sepanjang hidup. Justru dengan menerima dan mengakui emosi negatif itu, seseorang bisa berjalan menuju tahap pemulihan.

Baca juga: Sang Alkemis, Kisah Penggembala Domba dan Penaklukan Gurun

Misalkan saja seseorang yang kecewa dan mengingkari kondisinya, emosi itu akan tertahan dan menumpuk. Penumpukan itu menyebabkan kita nggak bisa mengetahui penyebab satu kekecewaan. Saking banyaknya penyebab kekecewaan itu—yang bisa karena takut seorang yang kita cintai meninggalkan kita, sampai kecewa karena nggak jadi juara kelas—kita jadi kesulitan mau menyembuhkan/menyelesaikan yang mana dulu. Beda halnya kalau kita mengakui ada rasa kecewa, sebabnya karena takut orang yang kita cinta meninggalkan kita. Kita bisa saja mencari cara lebih memperhatikan si do’i.

Tentang Penulis Buku Life Lesson
Tentang Penulis Buku Life Lesson

Bisa merasakan emosi negatif perlu kita syukuri, itu yang menjadikan hidup kita bermakna. Bayangin jika kita nggak bisa merasakan perasaan negatif, yang sebenarnya adalah respon alami manusia, apa jadinya kita? Kita nggak bisa lagi berempati ke orang bahkan kita sampai nggak bisa merasakan ketakutan akan adaya bahaya. Boleh kok merasakan emosi negatif, asal jangan terlarut.

Emosi itu hanya emosi dan ia juga bisa pergi secepat kedatangannya.

Terus, gimana sih subyektifitas tentang buku Life Lesson ini?

Subyektifitas Buku Life Lesson

Review buku dari hal yang membuatku cocok dengan buku ini:

  1. Buku ini aku bilang adem, karena nggak menyudutkan dan menghakimi orang-orang yang punya masalah dengan emosi negatif. Aku sering banget baca buku self improvement dan ada satu kenyataan pahit yang nggak bisa dipungkiri bahwa nggak semua buku self improvement itu pas/cocok. Aliasnya nih cocok-cocokan. Aku salah satu orang yang nggak terlalu suka buku motivasi yang selalu menggaungkan think positively. Meski bagus, tapi jika salah ujung-ujungnya kita merasa kaya robot yang berjuang ditengah keidealan nilai positif.
  2. Bahasannya ini related sama kondisi di masa sekarang di mana banyak orang (termasuk aku) berjuang untuk menerima emosi negatif sebagai bagian dari diri. Ayo, ngaku deh! Siapa di antara kita di sini yang sering dicekokin sama dogma sedih marah, atau kecewa itu buruk? Hampir banyak dari kita sebagai orang tua dan (dulunya) anak, pernah mendapatkan perlakuan seperti dimarahi saat nangis, diancam saat merasa marah, atau dipukul karena kecewa nggak diberikan permen. Alih-alih untuk menerima perasaan negatif itu sebagai sesuatu yang wajar, kita jadi terbiasa menanamkan pada diri bahwa menjadi senang, sabar, nurut dan peduli pada orang lain itu lebih baik. Akhirnya kita perlu berjuang sangat keras (mau nggak mau) untuk menerima kehadiran si emosi negatif.
Kutipan Buku Life Lesson
Kutipan Buku Life Lesson
  1. Mempositifkan yang negatif dengan tidak mengabaikan proses. Hal yang terpenting dari penerimaan emosi negatif justru bukannya hasil tapi proses yang menjadikan kita lebih bermakna. Banyak dari kita yang seringkali mengabaikan proses karena terfokus pada hasil, akhirnya apa? Kita jadi kurang bersyukur. Contoh mudahnya saja, kita ingin bisa memasak sayur asem. Tapi saat berbelanja bahan sayur asem tidak ada, kita jadi ngedulem dan kecewa. Karena terfokus hasilnya memasak sayur asem, kita jadi melupakan bahwa ada bahan dari sayur lain yang bisa dimasak.

Banyak dari kita yang bekerja di bawah ilusi bahwa memegang kendali selalu baik, bahwa akan berbahaya jika membiarkan semesta mengurus semuanya.

Life Lesson halaman 241

Meski aku merasa cocok dengan mayoritas isi dari buku, ada juga sih sisi yang kurang cocok buat aku.

Review buku dari sisi yang kurang cocok untukku tentangnya

Aku justru kurang merasa cocok ketika membaca pada bagian pasrah. Kita perlu mencocokkan kembali rasa pasrah ini terhadap kehidupan. Pada salah satu bagian ini, entah mengapa aku merasa perbandingannya kurang pas antara kepasrahan orang yang akan meninggal dengan orang yang masih hidup. Meski sama-sama bisa kita terapkan aku lebih memilih pasrah untuk tidak terlalu memegang kendali pada segala hal. Ini lebih terasa lebih bertenaga alih-alih membandingkan hal dengan orang yang menghadapi ajalnya.

Lalu ada point tentang kebenaran. Aku lebih prefer mengatakan insting atau naluri alih-alih kebenaran. Ada suatu cerita yang mana seorang wanita bernama Stephanie terjebak di kemacetan kota Los Angeles. Lalu ada sebuah mobil yang melaju dengan kecepatan kencang dari arah belakang tanpa henti. Wanita itu lebih memilih diam daripada pindah jalur dan melepaskan tangan dari kemudinya sambil memejam mata. Di sana wanita tersebut mengatakan bahwa apa yang ia pilih adalah sebuah kebenaran.

Secara pribadi aku lebih mengatakan itu adalah insting atau naluri. Mengatakan kebenaran agak kurang cocok karena cenderung bias ke banyak hal. Pertama adalah pembenaran untuk mudah pasrah ketika kita masih bisa berbuat sesuatu dan kedua pembenaran dengan pertimbangan bahwa baik mengubah haluan atau diam di tempat tidak sama-sama menguntungkan.

Jika kalian sudah pernah membacanya? Apa yang kamu pikirkan tentangnya dan seberapah relevan buku ini untuk hidupmu? Sharing yuk di kolom komentar!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

*

Post comment

Comment

Andri Marza Akhda

Menarik nih ulasannya.. Memang benar sekarang kita dipaksa untuk merubah sesuatu yang negatif jadi positif dengan cepat. Dulu pernah juga gagal dalam ujian, dan kecewa banget. Orang-orang pada support untuk bangkit segala macam, bersyukur memang, tapi ya ada masanya memang harus diakui kekecewaan itu..
Toh juga itu hal yang wajar..
Gak wajarnya kalau berlarut-larut..

menarik nih bukunya mbak, jadi ingin baca juga
sepakat emosi negatif adalah bagian dari diri, sehingga mau ga mau ya diterima walaupun ga gampang prosesnya

Jujur nih aq belum baca buku ini, tapi liat reviewnya kok menarik ya. Pasti ada sudut pandang lain yang bisa dikuoas versi saya

Pas banget lagi ngerasain emosi negatif ini kak. Review ini bikin aku menerima perasaan kecewa yang sedang aku rasakan. Jadi pengen baca seluruhnya. Pasti lebih mantap lagi sama apa yg dirasakan sekarang.

Jastitah Nurpadmi

Waah menarik yaa bukunya, jadi pengen baca juga. Emosi negatif emang bagian dari kita, asal kita mau belajar buat menangani emosi emosi itu.

5 Responses