Penulis : Dinda Pranata
Heidi, salah satu karya dari Johanna Spyri yang sudah banyak difilmkan di berbagai versi film. Aku kenal kisah ini ketika SMP saat berkumpul dengan nenek tiriku yang biasa aku panggil Mbah Mami. Singkat cerita nenek tiriku ini sudah lama tinggal di Swiss tepatnya di kota Zurich untuk menemani adiknya, Tante Siska—salah satu oma yang lebih prefer dipanggil tante daripada oma. Dari nenekku itu kisah Heidi mengantarku ke ranjang dan mimpi tentang pegunungan Alpen.
Bagaimana kisah Heidi ini? Apa yang bisa kita kuliti dari kisah ini? Dan bagaimana Subyektifitas tentang novel anak ini?
Heidi, Alpen dan Kerinduan
Novel ini berkisah tentang seorang anak berusia lima tahun yang yatim piatu. Sejak usia setahun ia tinggal bersama bibinya Dete karena ibunya—Adelheid—dan ayahnya—Tobias—meninggal. Selama empat tahun Heidi ikut bibinya, hingga suatu hari sang bibi harus bekerja ke Frankfrut untuk membantu di rumah orang kaya.
Alhasil, Ia membawa Heidi untuk tinggal bersama dengan Paman Alm—kakek Heidi—yang tinggal di pegununangan Alm. Heidi sangat senang lantaran penasaran dengan kakeknya itu. Saat perjalanan itu mereka melewati desa Döfli dan beristirahat sejekak di sana. Di desa itu ia bertemu seorang anak gembala bernama Peter yang menggembalakan domba-dombanya. Peter begitu asing dengan gadis itu dan mengajaknya mengobrol. Ia terkejut karena Heidi adalah cucu dari kakek tua yang kejam dan pemarah yang tinggal di atas gunung.
Tapi Heidi nggak terlalu percaya dengan apa yang Peter katakan, meski agak takut-takut, ia dan bibinya melanjutkan perjalanan hingga di rumah sang Kakek. Sesampainya di sana sang Bibi hanya mengobrol sebentar dengan Kakek tua itu dan segera pergi tanpa menoleh kembali. Sejak saat itu Heidi hidup bersama sang kakek.
Baca juga: The Girl on Paper, Kisah Cinta Penulis dan Tokoh Novel
Awalnya sang kakek menolak dan sering kala berbicara ketus pada Heidi. Tapi Heidi tetap tidak sedih karenanya, ia tetap ceria membantu sang kakek memerah susu, membuat keju dan melakukan pekerjaan yang bisa meringankan kakeknya. Eh, lama-kelamaan si kakek merasa senang dengan kehadiran cucunya ini. Bahkan beberapa penduduk di Dörfli heran dengan perubahan itu. Sayangnya itu semua tidak bertahan lama.
Bibi Dete kembali menjemput Heidi untuk membawanya ke Frankfrut demi mendapat pendidikan. Ia harus berpisah dari kakeknya di pegunungan dan tinggal bersama keluarga Seseman yang memiliki anak bernama Clara. Si Clara ini lumpuh dan dengan hadirnya Heidi mereka mengharapkan kesembuhannya. Tapi kehidupan di rumah itu, meski nyaman, justru membawa Heidi pada kesulitan lain yang bertubi-tubi. Ia mengalami home sick alias rindu kampung halamannya di Alm.
Apa menariknya novel Heidi ini?
Ikatan Emosional Heidi dan Johanna Spyri
Meski buku ini berkisah tentang kehidupan seorang anak lima tahun, tapi kisah ini tidak bisa berdiri sendiri. Pasalnya cerita-cerita dan tokoh dari novel ini berkaitan erat dengan kehidupan dari penulisnya yaitu Johanna Spyri.
Johanna Spyri menikah dengan Bernhard Spyri tahun 1852 dan memiliki anak bernama sama dengan sang suami. Sejak menikah dan memiliki anak Johanna Spyri tinggal di kota Zürich dan mendedikasikan diri sebagai ibu penuh dari sang anak Bernhard. Pada saat mengasuh anak, Johanna seringkali mendongengkan anaknya kisah-kisah menarik.
Baca juga: Konstruksi Feminitas Dan Maskulinitas Wanita Di Novel The Grand Sophy Karya Georgette Heyer
Mengetahui cerita Johanna untuk anaknya, suaminya mendorongnya untuk menuliskan ceritanya sendiri. Meski Heidi bukan novel pertamanya, tapi novel ini nyatanya membawa Spyri terkenal hampir di seluruh dunia. Novel ini ia selesaikan dalam waktu empat minggu, dengan bekal rasa rindunya akan kampung halaman di Hirzel. Ikatan emosionalnya bisa terasa saat bagaimana ia menjelaskan bahwa alam pedesaan, bunga yang tumbuh di atas rumput, udara pegunungan Alpen hingga domba-domba yang di ternak di sekitar kampung halamannya terdeskripsi secara jelas.
Selain ikatan emosional tentang alam di Hirzel yang ia rindukan. Buku ini juga menjadi syarat akan cintanya terhadap anaknya Bernhard. Bahkan dalam buku terjemahan aslinya yang berbahasa jerman, memasukkan sub-judul Eine Geschichte für Kinder und auch für Solche, welche die Kinder lieb haben—cerita untuk anak-anak dan juga untuk mereka yang mencintai anak-anak.
Gimana sih subyektifitas tentang novel Heidi ini?
Subyektifitas Terhadap Novel Heidi
Bagian-bagian novel yang menyentuh
- Tidak seperti kebanyakan novel anak-anak yang menuntut anak-anak untuk berfikir dewasa seperti novel L.M Montgomery atau Francis Hudgson. Kisah Heidi menyadarkan kita bahwa anak-anak hendaknya diperlakukan seperti anak-anak. Kondisi anak-anak yang diperlakukan seperti orang dewasa justru terlihat ketika Heidi berhadapan dengan Nyonya Rottenmayer di rumah tuan Seseman. Bagaimana Heidi begitu stress dan membuatnya jatuh sakit. Kita mungkin akan berpikir karena ia rindu kakeknya dan alamnya semata, tapi lebih dari itu rasa stress karena tidak bebas kesana kemari membuatnya terkekang di rumah Tuan Seseman.
- Penuturan, tokoh dan alur yang sederhana membuat pembaca nyaman menikmati bacaan ini. Ketika membaca buku ini di bagian awal, aku sudah terpukau sama latar tempatnya yaitu pegunungan Alpen. Ceritanya juga tidak rumit layaknya cerita anak desa sederhana yang mencoba hidup di kota besar tapi lebih nyaman tinggal di desa asalnya. Pembaca juga tidak harus mengerutkan dahi untuk memahami alurnya dan bisa dikategorikan sebagai bacaan ringan.
- Anak-anak yang hidup dan besar di alam, ternyata bisa mengembangkan jiwa ketuhanan melalui kepolosannya. Ini salah satu hal yang mengena di aku sebagai orang tua. Salah satu hal yang aku pelajari justru ada di awal cerita, misalkan bagaimana alam bisa membantu seorang anak menghadapi perangai kakek yang ketus dan nggak menerimanya. Atau ketika Heidi mampu secara sadar berempati pada Clara Seseman yang lumpuh. Di sini alam membantu membentuk karakter Heidi lewat sisi ilahiah dari kepolosan seorang anak yang berjiwa bebas. Ini tidak jauh berbeda dengan konsep ketuhanan itu sendiri yang mana menerangkan bahwa Tuhan itu ada di mana pun, termasuk dalam alam dan makhluk hidupnya.
Bagian-bagian novel yang kurang mengena
- Kurang gretet. Karena masuk cerita ringan, klimaks cerita justru kurang terasa. Misalkan pada bagian saat Heidi mengalami tidur sambil berjalan yang menghebohkan seluruh keluarga Seseman. Sebenarnya masih bisa dieksplore dan dibuat lebih gregetan lagi.
- Meski Heidi memiliki karakter yang penuh kasih sayang, tetapi aku menemukan bagaimana karakter Heidi ini memiliki kecenderungan people pleasure yang tidak disengaja. Misalkan bagaimana Heidi cenderung ingin merepotkan sang kakek saat kakeknya tidak memiliki satu kursi untuk dia makan, alih-alih untuk mengatakan aku membutuhkan meja dan kursi, dia menerima keadaannya. Juga saat Bibi Dente datang ke keluarga Seseman, ia tidak berusaha menolak dan menerima keadaannya sampai akhirnya ia jatuh sakit.
Adakah dari kalian yang sudah membaca buku ini? Bagaimana sih kesannya setelah membaca bukunya? Yuk bagikan di kolom komentar.
Comment
Selalu menarik buku anak yg menggambarkan alam di tempat lain. Saya ingat film berjudul Heidi, sudah lama sekali, kayaknya tahun 80-an. Isinya ttg anak perempuan kecil di pegunungan Alpen yapi lupa detailnya. Saat baca ini, samar2 teringat lagi.
Pernah waktu kecil membaca buku heidi tapi sudah lupaa dalam bayanganku hanya gambar2 anak perempuan di area rumput luass dg pemandangan yg memukau.
Masya Allah waktu itu hy bisa membayangkan tempat indah, 2018 Allah Maha Baik kami bisa menjejakkan kaki di swiss emang beneran indahh.
Aku lagi nyari buku Heidi ini. Pengen bgt baca gara-gara tertarik cover bukunya yg klasik.
Beberapa waktu lalu sempet lihat di toko buku online tapi kehabisan. Hiks
Aku termasuk jarang membaca novel anak Heidi.
Tapi kalau menerka-nerka tulisan yang ditulis oleh penulis pada zaman tersebut, biasanya kisah anak-anaknya selalu kelam. Mungkin bisa jadi bukan kategori anak-anak ya..
Tapi begitulah sebuah penulis dalam menuangkan hasil karyanya.
Senang karena penggambaran mengenai Desa Hirzel yang lengkap dengan pemandangan pegunungan dan domba ini tampak sangat menempel dan berkesan di hati pembaca.
4 Responses