Penulis : Dinda Pranata
Baru-baru ini aku sempat membaca berita yang cukup mencolok mata tentang kasus pembunuhan Brigadir J. Mungkin kasus Brigadir J ini tidak hanya menarik perhatian karena merupakan pembuhunan berencana yang penuh drama dari seorang petinggi kepolisian. Tapi juga sangat menarik perhatian karena fenomena yang tidak biasa dari warga Indonesia yang di luar nalar.
Salah satunya adalah bagaimana fanatisme terhadap pelaku bisa menumbuhkan kelumpuhan moral atas perilaku dari pelaku kriminal itu sendiri.
Romantisasi Kriminal: Yay or Nay?
Dalam sebuah berita di halaman kompas (29/11/22) menyebutkan bagaimana Ferdy Sambo—otak pembunuhan—memiliki fans fanatik bernama S yang membuat geger persidangan. Berita ini muncul tidak hanya di laman kompas, tapi juga media berita lainnya.
Selain itu ada juga Barada E (Richard Eliezer) —yang juga merupakan pelaku penembakan—memiliki fans club. Fans club itu ada untuk memberikan dukungan kepada Bharada E paska ia memutuskan menjadi justice collaborator. Bahkan dalam beberapa media para fans yang mendukung Bharada E tak jarang juga membuat geger persidangan. Pertanyaannya apakah itu lumrah?
Tindakan para fans Ferdy Sambo maupun Bharada E, secara tidak langsung berdampak pada perilaku yang meromantisasi tindak kriminal. Kok namanya romantis sih, kan tujuannya adalah berempati karena si pelaku pasti punya motif? Berempati itu boleh, tapi bukan membenarkan sikap pelaku yang jelas melawan hukum.
Baca juga: Antara Apel, iPhone dan Cinta di Semester Akhir Sekolah
Contoh nyatanya nih dalam kasus Brigadir J. Fans berat Sambo misalnya menggegerkan sidang karena minta agar bisa memeluk si bapak ini. Lalu ada juga fans dari Bharada E yang mengirimkan bunga ke pengadilan sebagai wujud dukungan yang rasanya kurang pada tempatnya. Serta, teriakan dukungan yang terkesan tidak masuk akal selama sidang berlangsung. Perilaku fanatisme ini, jika kebablasan bisa memunculkan fenomena hybristophilia.
Dukungan Normal dan Hybristophilia
Mendukung pelaku kriminal untuk membuka alasan kejahatannya, membantu pelaku untuk mendapatkan haknya (pengacara, bantuan hukum, dll) ini termasuk dukungan yang positif. Tapi, jika dukungan itu justru mengintervensi jalannya peradilan, tentu ini bukan dukungan yang benar. Misal berteriak histeris tak terima saat idolanya (pelaku) dinyatakan bersalah. Atau para fans mengamuk dalam sidang yang keberatan dengan putusan hukuman pelaku, ini bukan lagi cara dukungan yang sehat.
Dukungan berlebihan atau fanatisme berlebihan pada pelaku kejahatan/kriminal bisa membuat seseorang terjebak pada fenomena hybristophilia. Fenomena ini terjadi saat seseorang (wanita/pria dan kebanyakan terjadi pada wanita) yang tertarik secara seksual atau memiliki suatu ketertarikan pada pelaku pembunuhan, pemerkosaan atau kriminal lain. Fenomena ini ada yang menyebutkan merupakan salah satu kelainan seksual ada juga yang menganggapnya kelainan psikologis. Memang tidak semua orang yang fans terhadap pelaku kriminal adalah seorang hybristophilia. Namun kecenderungan yang berawal dari fanatisme berlebih bisa melahirkan kondisi ini, jika tidak ditindaklanjuti.
Fenomena ini tidak hanya ada di Indonesia, contoh lainnya ada di Amerika. Tahun 1999 kasus kejahatan pembantaian Columbia High School yang melibatkan pelaku Dylan dan Eric Klebold nyatanya memiliki fans di dunia maya.
Perempuan yang akrab dipanggil Savannah ini mengaku bahwa berawal dari empati yang dirasakan dari dua bersaudara Klebold ini, mampu membuatnya tergila-gila pada pelaku kasus pembantaian sekolah menengah itu. Pada blog yang ia kelola, para pembacanya akan menemukan banyak curahan hati Savannah yang lebih menjurus pada rasa cinta pada pelaku.
Baca juga: Peringatan Kemerdekaan RI: Sudahkah Merdeka dari Sampah Plastik?
Woman Love a Bad Boy sampai Peran Media
Kurangnya penelitian terhadap kasus-kasus hybristophilia menyebabkan kondisi ini, agak sulit tergali dan teridentifikasi. Beberapa jurnal psikologi dan forensik mengenali beberapa penyebab yang memungkinkan dari kondisi ini bisa berasal dari faktor internal (psikis si penderita hybristophilia) dan faktor eksternal. Beberapa faktor penyebab yang berasal dari internal di antaranya:
- Orang yang mengidap kondisi ini memang memiliki masalah dengan kepribadian narsistik (memunculkan keinginan untuk disorot media atau mendapat tawaran bermain film atas pengalamannya). Misal kalau di Indonesia kasus arak-arakan dari kekasih Saiful Jamil (pelaku pencabulan anak di bawah umur) yang menggunakan mobil mewah, bisa masuk dalam kategori ini. Pasalnya kekasih Saiful Jamil ini seolah ingin menunjukkan rasa cintanya kepada dunia luar secara tidak tepat moral.
- Ada juga dari pengidap kondisi ini adalah mereka yang memiliki naluri “keibuan” atau melindungi, sehingga muncul rasa ingin mengubah pelaku menjadi lebih baik. Kondisi ini biasanya didorong oleh rasa empati yang tinggi dan cenderung berlebihan.
- Ada juga sebagian dari pengidap kondisi ini disebabkan karena trauma pelecehan seksual atau kekerasan. Berdasarkan riset dari penulis Women Who Love Men Who kill yaitu Sheila Isenberg, Seorang yang pengidap sindrom hybristophilia cenderung memiliki keinginan untuk mengontrol hubungan mereka dengan pelaku kriminal.
Tidak hanya karena faktor internal dari pengidapnya, tetapi juga dari maraknya media yang sering kali memberikan lampu hijau terhadap romantisasi kriminal melalui acara hiburan seperti film, drama dan lainnya. Acara hiburan yang cenderung menyuguhkan kisah-kisah romantisasi kriminal, turut serta melebarkan penormalan terhadap perilaku hybristophilia yang harusnya bisa kita minimalisir.
Ironisnya dari acara hiburan yang menyuguhkan romantisasi kriminal itu, banyak bermunculan fans page atau grup di media sosial yang memuja kriminal tertentu, seperti Ted Bunny, Richard Ramirez, atau kalau di Indonesia seperti fans club yang dari Bharada E, Ferdy Sambo dan lainnya.
Invitasi dan Diskusi
Edukasi dan filter media menjadi jalan tengah bagi penormalan romantisasi kriminal yang memicu meluasnya sindrom hybristophilia. Jangan hanya karena ingin meraup keuntungan, media jadi lupa akan peran penting dalam mengedukasi moral masyarakat. Bagaimana tanggapanmu?
Source:
www.artefactmagazine.com
www.psychologytoday.com
Money, J. (1986). Lovemaps: Clinical concepts of sexual/erotic health and pathology, paraphilia, and gender transposition in childhood, adolescence, and maturity. New York: Irvington.
www.journal.sociolla.com
Comment
Memang kompleks sekali masalah ini. Fanatisme kalau tidak segera diarahkan memang akan menjadi hal yang tidak baik.
Betul sekali, betul betul kompleks pokoknya yaa, memang harus segera diarahkan agar tidak terlalu melebar lagi
Jadi ingat sarkasme : kalau kamu goodlooking, separuh masalah hidupmu terselesaikan.
Ini jelas kalimat yg debatable. Namun dalam kasus2 seperti ini sepertinya juga karena ada faktor goodlooking dr si pelaku kriminal. Coba kalau eliezer atau siapapun itu tidak goodlooking (ya walaupun tampak ganteng itu relatif tergantung selera sih). Sanga mungkin respon publik hanya simpati pada kondisi (melakukan penembakan di bawah tekanan jenderal) tapi tidak sampai ngefans.
Sarkasmenya memang nyata kok mbak. Kondisi ini nggak cuma ada di Indonesia, di luar negeri juga beberapa kasus malah sampai masuk media besar. Alasannya karena pelaku “too goodlooking”
Saya bingung dengan orang2 yg melakukan ini. Mereka seperti dibutakan akan kejahatan si pelaku.
5 Responses