Penulis : Dinda Pranata
Pada hari selasa (21/3/23) balai kota Malang sudah ramai orang-orang yang mengenakan adat Bali. Sejak pukul 06.30 jalan di balai kota Malang sudah cukup ramai dan semakin ramai menjelang pukul 10 pagi.
Orang-orang yang berkumpul bukan untuk demo melainkan untuk melaksanakan persembahyangan tawung kesanga bersama di depan kantor DPRD kota malang. Terop dan penutupan jalan sudah terpasang setidaknya pada hari Senin siang dimana pada sore harinya akan dilaksanakan gladi bersih untuk kegiatan tawur kesangan tersebut.
Apa sih tawur Agung kesanga? Dan bagaimana kegiatannya?
Tawur Kesanga dan Liak Liuk Tarian
Tawur agung kesanga ini masih menjadi serangkaian upacara nyepi yang dilaksanakan pada tilem sasih kesanga atau satu hari sebelum hari raya nyepi itu.
Kegiatan ini sendiri memiliki arti sebagai pengembalian sari dari alam semesta yang manusia gunakan dan ditujukan kepada para Butha.
Baca juga: Ohaguro, Tradisi Nginang Ala Jepang! Nggak Percaya?
Tujuan pelaksanaannya, agar para Butha ini tidak mengganggu manusia dan alam semesta. Biasanya kegiatan ini berlangsung di perempatan (catus pata) desa sebagai titik temu ruang dan waktu. Lalu bagaimana pelaksanaannya?
Sebelum melakukan persembahyangan bersama, pedanda/pinandita akan memantrai banten-banten yang dihaturkan. Setelah itu prosesi berlanjut dengan puja tri sandya bersama pada pukul setengah sebelas siang. Setelah persembahyangan bersama itu, panitia akan membagikan pecaruan dan tirta untuk umat hindu sebar di rumah masing-masing setelah acara tawur ini selesai.
Bersamaan dengan pembagian caru ini ada beberapa pementasan seni budaya seperti pementasan tarian Jawa oleh mahasiswa STAH (Sekolah Tinggi Agama Hindu) Malang dan sambutan oleh Walikota Malang serta ketua DPRD Kota malang. Kemudian berlanjut dengan tari topeng dan rangda.
Tarian Boneka-boneka Buto di Jalanan
Banyak dari kita mengira bahwa arak-arakan/pawai ogoh-ogoh ini hanya bisa kita saksikan di Bali. Namun, beberapa tempat seperti di Jakarta, Jawa Tengah, Surabaya, Malang dan lainnya juga menyelenggarakan pawai ogoh-ogoh ini. Ogoh-ogoh sendiri adalah sebuah simbol dari butha/kala/keburukan. Pada pukul satu siang kegiatan itu berlanjut dengan pawai ogoh-ogoh yang rutenya Jalan Gajah Mada, Jalan Untung Suropati, perempatan Hotel Helios, perempatan Trunojoyo, stasiun kota baru dan kembali ke Jalan Gajah Mada.
Pada kegiatan Tawur Kesanga di Malang, ada sepuluh ogoh-ogoh dari berbagai tempat. Salah satu mahasiswa bernama Ratih (nama samaran) dari salah satu universitas negeri di Malang berkata, “persiapan pembuatan ogoh-ogoh sendiri mulai bulan Januari. Pembuatannya bersama dengan teman-teman dari himpunan mahasiswa di kampus.”
Baca juga: Gender dari Biologis ke Sosiologis
Setelah pawai ogoh-ogoh menyelesaikan rutenya dan kembali ke seputar kantor DPRD, mereka mempersiapkan acara puncak yaitu Pralina Ogoh-ogoh (membakar ogoh-ogoh). Tujuan dari pembakaran ini sebagai simbol memusnahkan keburukan. Acara tawur kesanga ini kemudian berakhir kurang lebih pada pukul setengah empat sore.
Toleransi Umat Beragama
Kegiatan yang terselenggara di depan kantor walikota dan DPRD ini bisa disaksikan oleh banyak orang. Pria-pria yang menggunakan pakaian serba hitam dengan kain kotak-kotak yang kita sebut pecalang sudah berjejer mengamankan lokasi. Uniknya meski ada pecalang yang berjajar, tidak ada larangan bagi siapa saja yang ingin melihat kegiatan tawur kesanga itu.
Bahkan tampak dari alun-alun tugu, siswa-siswi dari SMAN 1 Malang berjajar sambil melihat acara tawur kesanga ini. Ada yang sambil merekam hingga ada yang sambil membawa buku catatan. Umat hindu berharap dengan adanya acara ini, terjalin toleransi antar umat beragama dan menjadi esensi dari kegiatan ini (tri hita karana).
Secara keseluruhan acara ini terselenggara dengan khidmat, damai dan menyentuh. Semua pihak yang menyaksikan kegiatan ini tidak mengganggu atau membuat keributan. Sementara, pihak yang menyelenggarakan acara ini memberi kebebasan bagi siapa pun yang ingin menikmati acara.