Penulis : Dinda Pranata
Apa yang kamu pikirkan ketika mendengar istilah masyarakat adat?
Pedalaman, ndeso, keterbelakang, jauh dari modernitas dan bahkan udik. Setidaknya pertanyaan tadi mengawali pembukaan online gathering dengan tema Masyarakat Adat bersama Sekjen AMAN (Rukka Sombolinggi) dan #EcoBloggerSquad.
Masyarakat adat merupakan sekelompok orang yang mempunyai sejarah panjang terkait asal-usul dan menghuni wilayah adat secara turun-temurun. Ada apa dengan mereka ini?
Gembar-gembor Pluralisme
Negara Indonesia memiliki setidaknya 70 juta jiwa masyarakat adat dari Sabang sampai Merauke dan ini menjadikan negara kita kaya akan budaya dan tradisi. Bahkan kekayaan kita akan budaya membuat orang Indonesia sering kali menggembar-gemborkannya pluralisme ke pelosok dunia.
Meski gembar-gembor itu benar adanya, sering kali kebanggaan itu hanya sedikit membawa dampak positif terhadap kehidupan para indigenous ini.
Baca juga: Semua Orang Kepo, Tapi Enggak Ada yang Bergerak. Apa Itu?
Coba kita ingat kembali berapa banyak tradisi dari warga adat yang mulai hilang, kita contohkan saja tradisi Nau Noang dari orang Sikka, NTT; juga ada tradisi Nyopuh asal Kalimantan dari Suku Dayak Bidayuh dan juga beberapa tradisi lain yang mulai tergerus zaman.
Tahukah kita bahwa tradisi yang mereka lakukan adalah cara masyarakat adat berkomunikasi dengan alam? Kehadiran tradisi itu bukan hanya sekedar ritual “hura-hura”, tapi juga menjadi salah satu asas hidup bagi mereka.

Kalau kita flashback keberadaan masyarakat adat, baik itu di Indonesia atau di dunia, maka kita akan menemukan satu garis lurus yaitu kepercayaan animisme dinamisme. Nah, kepercayaan animisme dinamisme ini merupakan kepercayaan tertua yang bertumpu pada kekuatan kosmologi.
Misalkan cara mereka memperlakukan sebuah pohon seolah mereka ini memiliki roh. Juga, bagaimana mereka menunjukkan rasa syukur kepada Tuhan atas panen dengan manifestasi alam semesta di ritual-ritual tertentu.
Pada postingan sebelumnya aku pernah membahas tentang bagaimana simbiosis mutualisme antara mitos yang berkembang di dalam hutan dengan masyarakat lokal sekitar hutan. Mitos yang mengelilingi hutan semacam hutan itu angker; hutan itu ada kutukannya dan lainnya, nyatanya secara turun-temurun diwariskan oleh leluhur masyarakat lokal demi menjaga kelangsungan ekosistem di dalamnya.
Baca juga: Ih, Jurusan Kuliahnya Itu! Nanti Mau Kerja Apa?
Meski ada perlindungan dari warga adat untuk menjaga ekosistem, nyatanya tidak bersamaan dengan upaya pemerintah dalam melindungi mereka. Mengapa bisa begitu?
Masyarakat Adat Vs Pengabdi Modernitas
Sejarah umat manusia ini panjang sekali. Dahulu para homo sapiens ini sangat mendewakan alam. Mereka bahkan takut jika mencelakai alam, maka alam bisa saja balik mencelakai mereka.

Di mulai dari kedatangan agama-agama baru yang ditandai dengan eksplorasi bangsa asing, yang kemudian berlanjut pada eksploitasi sumber kekayaan dan tenaga manusianya, membuat warga adat ikut kena imbasnya. Hal ini pun diperparah dengan modernisasi yang semakin lama mempengaruhi kehidupan socioculture bangsa Indonesia.
Pola pikir sebagian masyarakat Indonesia yang dulunya sangat mendaku pada alam, kini semakin berubah haluan mendewakan modernisasi. Industrialisasi yang bertujuan untuk me-modern-kan kehidupan, mengakibatkan posisi warga adat ini terjepit. Akibatnya banyak penggusuran lahan adat baik itu hutan alami atau dataran hijau yang membuat banyak warga adat kehilangan tempat tinggalnya.
Misalkan saja pembukaan lahan adat di Sumatera Utara tahun 2015 untuk perkebunan monokultur eukaliptus. Lalu, pembakaran hutan adat di Papua untuk perkebunan sawit perusahaan Korea Selatan tahun 2021. Itu hanya segelintir contoh permasalahan yang terjadi pada masyarakat adat kita.
Baca juga: Subak Bukan Hanya Tentang Pengairan Sawah Di Bali. Filosofinya Dalam!
Tahun 2020 saja ada 31,632.67 ha wilayah adat, 39,069 orang dan 18,372 keluarga adat yang menjadi korban industrialisasi. Tak jarang warga adat yang berusaha menjaga tanahnya sering dianggap sebagai pengganggu bahkan kriminal oleh pihak-pihak yang mengambil lahan warga. Padahal orang yang mengambil paksa lahan ini, melakukan hal yang tidak sesuai dengan prosedur hukum.
Tapi, bukankah warga adat bisa menentang lewat hukum adat?
Akar Hukum Adat yang Kokoh
Meski ada hukum adat mampu melindungi warga adat dalam mempertahankan lahannya, namun hukum adat ini akan “kisut” kekuatannya saat berhadapan dengan hukum konstitusi. Berdasarkan pada UUD 1945 pasal 33
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat
Dari pasal undang-undang ini, sebenarnya rawan untuk disalahgunakan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab. Apalagi praktik “Kong kali kong” antara pemilik usaha dengan pemerintah yang umum terjadi di Indonesia, justru menjadi lahan subur untuk memakmurkan “sebagian” rakyat Indonesia.
Baca juga: Ohaguro, Tradisi Nginang Ala Jepang! Nggak Percaya?
Untuk itu perlu adanya pengesahan Rancangan Undang-undang yang melindungi masyarakat adat dan hukumnya.

Dengan adanya RUU masyarakat adat, mereka memiliki payung hukum yang melindungi hak-hak mereka baik untuk penggunaan lahan adat dan pemanfaatan sumber kekayaan hayati, yang nantinya dapat bermanfaat bagi negara.
Selain itu, RUU ini bisa menjadi akar yang kuat untuk menyelesaikan konflik-konflik lahan antara masyarakat adat dan pengabdi modernisasi. Bukankah warga adat ini juga bagian dari rakyat Indonesia?
Invitasi dan Diskusi
Masyarakat adat memang percaya sekali dengan mitos-mitos yang kadang membuat kita geleng kepala. Tapi mitos dan kepercayaan yang sering kita sepelekan, nyatanya menjadi kearifan hidup mereka dalam menjaga bumi kita. Carut-marut masalah lahan, pemanasan global, kelaparan, kemiskinan hingga krisis kemanusiaan terjadi, karena kita (manusia) terlalu mendewakan modernitas, tapi melupakan dari mana sebenarnya itu semua berasal.
Satu suara membantu masyarakat adat mendapat keadilan hukum melalui pengesahan RUU masyarakat adat, sama artinya dengan menjaga bumi kita dari bencana iklim dan krisis kemanusiaan di depan mata. Maukah kamu menjadi bagian dari satu orang itu?
Source:
https://www.bbc.com
https://projectmultatuli.org
https://kompas.com
www.komnasham.go.id
Dewi, Indarti Komala & Istiadi, Yossa. 2016. “Mitigasi Bencana Pada Masyarakat Tradisional Dalam Menghadapi Perubahan Iklim Di Kampung Naga Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya”. Jurnal Manusia dan Lingkungan Vol.23 (1): 129-135
Comment
Masyarakat adat adalah pemilik asli hutan, begitu kira2 yang aku pikirkan. Miris memang melihat nasib mereka yang masih bertahan di tempat tinggalnya, mempertahankan alam dan hutan, di sisi lain modernisasi terus menggerus tempat tinggal mereka. Selama ini kita cuma fokus pada pembangunan yang merata, tapi lupa dampaknya terhadap alam. Semoga ke depan Indonesia bisa memelihara alam yg masih tersisa dengan lebih baik.
Masyarakat adat umumnya dekat dengan alam dan merasa bagian dari alam sehingga memiliki kewajiban menjaga kelestarian alam yang telah memberikan manusia sumber kehidupan. Indonesia memiliki cukup banyak masyarakat adat, dan seiring modernisasi memang dibutuhkan payung hukum untuk melindungi masyarakat adat agar tetap lestari.
Masyarakat adat punya adat sendiri. Perubahan budaya bisa berasal dari eksternal dan bisa dari komunitas mereka sendiri.
Masyarakat adatlah saat ini yang paling dekat dengan alam karena mereka masih banyak bergantung dari sana.
Keberadaan masyarakat adat semakin terpinggirkan ya. Kasihan sebenarnya. Yang kejadian di Sumatera Utara tahun 2015 itu aku masih di Medan dan ya…tidak bisa berbuat banyak.
Sekarang makin banyak tahu ya apa itu soal masyarakat, bagaimana mereka hidup, apa tantangannya dan peran mereka sangat penting bagi kelestarian bumi ini
Indonesia tidak bisa lepas dari adat masyarakat adat, sebesar apapun gempuran modernisasi … Mereka tetap ada. Tugas kita hanya saling menghargai..
Modernitas sekarang memang lambat laun menggerus keberadaan masyarakat adat. Mereka juga kebanyakan minim pengetahuan soal undang-undang, jadi ini mungkin juga dimanfaatkan para oknum. Ya, semoga saja masyarakat adat diberikan perlindungan biar hidup mereka tenang dan adat di Indonesia tidak cuma cerita di masa depan.
Saya terkadang kagum dg masyarakat adat yg masih mempertahankan adatnya jauh dr teknologi dan menyatu dg alam . Hebat
Kalau mereka merasa nyaman dengan hidup dalam keterbatasan dan kesederhanaan mereka, tanpa mau mengenal modernisasi ya itu harus kita hargai. Tapi, banyak juga aktivis yang mengeksplorasi rimba dan membawa misi untuk memodernkan mereka, mengenalkan mereka dengan buku-buku dan baju.
Mau dong jadi bagian dari masyarakat yang mendukung gerakan di sah kannya ruu. Masyarakat adalah saudara kita semua yang memperjuangkan nafas nafas manusia yang ada di pekotaan
Btw sekarang itu pemerintah emang mrnggalakkan wisata adat dg masyarakat adat didalamnya ya….
Bagus sih supaya generasi muda bisa melihat atau berwisata di desa adat dengan nuansa jaman dulu.
Bagaimanapun juga masyarakat adat harus diperhatikan dan dilestarikan ajarannya supaya tdk tergerus jaman.
Orang orang adat memiliki kekuatan yang lebih dalam melindungi alam. Mereka tak kenal kompromi, karena takut alam menyerang mereka, ibaratnya alam itu adalah Tuhan mereka. Tahun 2015, jadi salah satu tahun yang kelam. Saya tak bisa bersekolah selama 2 bulan semasa SMK dulu karena asap kebakaran hutan.. Ckckckck.. Dijaga sama Pemerintah malah gak jamin hutan itu aman..
Meskipun masyarakat adat itu banyak tertinggal dari masyarakat modern nyatanya mereka lebih sayang ke alam ya. Hubungan antara pemerintah sebagai mediator ke masyarakat modern seharusnya harus diperbaiki lagi. Sayangnya ya kadang pemerintah kita ambil untung dengan keadaan mereka yang tak tahu dunia luar. Jual beli lahan hutan ilegal dan lain-lain.. Dampaknya luar biasa lho. Kebakaran hutan Riau dan Kalimantan 2015 jadi sanksi bisu hingga saat ini
14 Responses