Penulis : Dinda Pranata
Pernah enggak sih menemukan challenge atau tantangan yang berseliweran di media sosial. Sebut saja tantangan makan mie pedes level seratus, lalu ada juga tantangan cover dance K-Pop gaya emak-emak pakai kebaya. Yang enggak kalah seru (mungkin) menjajal sense of music anak muda dengan peralatan dapur emaknya. Tantangan di media sosial ini sangat seru untuk dibagikan, bukan?
Tapi masalahnya di kalangan anak-anak muda saat ini, terjadi semacam pergeresan kreatifitas yang sebenarnya sangat meresahkan. Acap kali sense of creativity mereka sudah di luar batas. Maunya sih ingin melepaskan masa lalu, tapi justru jadi pengalaman pahit terjerat kasus. Maunya juga kelihatan seperti selebgram dadakan, yang mungkin nantinya dilirik oleh rumah produksi di antah berantah. Tapi ujung-ujungnya malah jadi aktor di rumah tahanan
Konten kreatifitas di luar batas yang biasanya mereka sebut sebagai “katalis pengalaman buruk” justru jadi pengalaman buruk bagi orang lain lo. Mereka melabelinya dengan label challenge bahkan viral, padahal itu konten kekerasan yang enggak banget buat disebarluaskan. Fenomena ini kita beri nama bullygram.
Eh, apa sih bullygram itu?
Era Berbagi Pengalaman Buruk yang Likeable
Dulu sekali nih ya, era kita sekolah (tahun 1980 atau 1990-an), jaman sekolah itu ibarat panggung komedi. Segala aneka tingkah laku dan uji coba yang gagal, bakal menuai gelak tawa. Misalkan saja keisengan Joko yang suka menarik kursi Sukirman sampai ia terjatuh, bisa berakhir dengan adu jotos antara Joko dan Sukirman.
Di balik kisah Sukirman yang acap kali kursinya ditarik oleh Joko, tersimpan memori kelam dari perilaku si pem-bully itu. Dan BOOM! ketika ia dewasa, mereka masuk ke dunia yang serba cepat dan kehidupan mereka berubah 180 derajat.
Suatu ketika ia teringat perilaku Joko yang menarik kursinya. Tapi, tunggu dulu! Apa yang ia ingat, tidak membuatnya menangis dan justru tertawa geli. Ditambah lagi Sukirman ini justru membuat konten dari pengalaman menyakitkannya dulu dengan gaya humor yang ‘likeable’.
Bisa kebanyang dong, sekarang menarik kursi duduk teman bukan lagi tentang rasa sakit, tapi jadi bahan guyonan yang mengundang gelak tawa. Bisa-bisa orang yang dulu nge-bully jadi bingung sendiri, “Eh, perilakuku kok malah jadi trending sih?”
Bullygram: Serangan Fisik vs Serangan Perhatian!
Bisa kita lihat ‘kan bedanya? Dulu kita begitu marah ketika seseorang memukul atau menghina kita. Tapi sekarang, candaan kekerasan itu malah sering dijadikan konten oleh beberapa kalangan. Lebih parahnya lagi adegan-adegan dalam konten itu kadang menjadi sebuah challange demi meraup acungan jempol di media sosial.
Serangan fisik yang seseorang alami dulu, kini berubah menjadi “serangan perhatian” di media sosial. Ini kadang dimanfaatkan oleh kalangan tertentu untuk meningkatkan jumlah like dan follower sebanyak-banyaknya. Ya, kita tahu lah sekarang jumlah like dan follower menunjukkan seberapa terpecayanya kita di mata alogaritma dunia maya.
Tapi yang membuat miris adalah konten-konten ini sering kali menyasar ke anak-anak yang masih sekolah. Karena memang konten bullygram ini sering menceritakan kekerasan di masa sekolah. Mereka menganggap bahwa adegan-adegan kekerasan yang diselingi humor-apalagi yang memiliki jumlah share dan like yang banyak- ini pantas untuk dijadikan contoh untuk “mengusili” temannya. Mereka tidak tahu bahwa ada resiko-resiko tertentu yang bisa mengakibatkan trauma pada temannya.
Ini pernah terjadi di salah satu sekolah menengah SMP Plus Baiturrahman di tahun 2022 lalu. Sekelompok anak melakukan tantangan “tes kegantengan” dengan memukul kepala temannya yang menggunakan helm. Si korban pun pernah menolak melakukan tantangan ini, namun yang ada ia malah diludahi dan dikeroyok teman-temannya.
Hashtag “Empati” Vs Retweet
Konten-konten bullying yang disertai humor kadang membuat kita tergerak untuk tertawa. Dibalik tawa kita sebagai penonton, terkadang ada luka-luka tak kasat mata dari korban yang di-bully tersebut. Pernahkan kita memandang bagaimana perasaan yang mereka yang mendapat perlakuan bullying? Mungkin sebagian besar akan menjawab, “la kok kamu yang sewot. Yang di-bully saja ketawa-ketiwi!”
“Aduh abang Lobak! Memang seberapa tahu sih kamu sama perasaan orang.” Mungkin orang yang menjadi korban dalam video yang kita nikmati terpaksa tertawa terpingkal-pingkal. Seringnya malah sense of humor kita ini kelewat batas, sampai kita kehilangan empati. Demi mengejar validasi dunia maya, kita melupakan sisi humanis kita sebagai manusia.
“Jadi kita enggak boleh menikmati humor ini?” para penikmat video bullygram mungkin akan berfikir seperti ini. Terserah saja kalau mau menikmati, tapi nikmati untuk diri sendiri dan paling penting jangan pernah diterapkan pada orang lain. Kita perlu menghidupkan kembali tombol empati sebelum menekan tombol retweet/share dari akun media sosial. Coba bertanyalah pada diri sendiri, bagaimana ya perasaan korban bully dalam video ini?
Kebebasan Berbicara vs Kewajiban Berempati
Era digital ini kita boleh berbangga karena punya hak untuk menikmati era kebebasan. Kebebasan untuk mendapatkan informasi, belajar lebih banyak, melihat dunia secara luas dan bahkan keliling dunia dengan ujung telunjuk. Tapi apakah kita ini memang bebas sebebas-bebasnya?
Saya menyarankan agar Patung Kemerdekaan yang ada di pantai timur Amerika diimbangi dengan mendirikan Patung Tanggung Jawab di pantai barat Amerika.
Victor Frankl – Man’s Seach for Meaning
Ini salah satu kutipan favoritku dan sampai sekarang masih aku pegang. Kenapa? Orang di era digital sekarang merasa sangat bebas berekspresi dan itu keuntungan yang mereka dapat. Baik itu seorang pengajar di sekolah atau siswa yang sedang belajar. Kebebasan mereka untuk mendapatkan akses informasi dan wawasan terbuka di depan mereka dengan ujung jari. Namun, meski ini eranya kebebasan berekspresi atau mencari wawasan, ada satu hal yang penting dan tak boleh terlewat.
Masalah tanggung jawab. Siapa bilang mereka yang bebas akan terlepas dari tanggung jawab? Itu hanya omong kosong! Setiap individu memang bebas memilih gaya ekspresi mereka, tapi pilihan itu tidak akan lepas dari konsekuensi untuk bertanggung jawab. Ini yang sering terlewatkan. Kita sibuk untuk menggembor-gemborkan era kebebasan berbicara dan berekspresi tapi lupa caranya bertanggung jawab atas konsekunsi pilihan kita. Apalagi kekerasan di sekolah sudah ada payung hukumnya.
Invitasi dan Diskusi
Nah, di tengah tawa dan like di media sosial, jangan lupa dengan kekuatan mendengarkan dan memberi dukungan. Saking asiknya berbagi, kita jadi lupa untuk merasakan perasaan orang lain. Juga kelewat menikmati perhatian dari temen sosmed, kita juga lupa ada teman yang di dalam konten yang ingin kita dengarkan keluhnya.
Berbagi momen lucu itu boleh, tapi tidak dengan meromantisasi konten-konten bullying di media sosial. Kalau kamu yang jadi korban bullying, apakah kamu bisa tertawa setelah melihat konten-konten itu?
Kamu bisa kok berbagi di kolom komentar tentang aksi “bullygram” yang pernah kamu tonton. Atau bisa juga berbagi opini tentang isu kekerasan dalam bentuk konten lain di kolom komen.
Eits, ingat untuk berkomentar dengan sopan dan bijak ya! Agar kamu punya jejak digital yang baik.
Source:
https://regional.kompas.com/read/2022/12/13/213420778/konten-media-sosial-dianggap-picu-bully-di-sekolah
https://news.detik.com/berita/d-6858008/siswa-sma-tikam-teman-komisi-x-dpr-minta-konten-bullying-kekerasan-dibatasi
https://www.suarasurabaya.net/kelanakota/2014/10-Kasus-Bullying-di-Medsos-Berakhir-Kematian/
Comment
Anakku sampe takut loh posting apaan disosmednya. Takut kena bully netizen,bgitu jwbnya. Pdhal sdh 19 thn usianya. Ktnya apapun bs jd komenan negatif netizen meski yg diposting biasa saja
Big Hug … Sekarang memang nitizen lebih galak kok kak. Jangankan anaknya, ibunya kadang mau posting apa juga maju-mundur …
Sebagai orang tua aku kezel bener dengan adanya fenomena bullygram ini. Kadang jadi takut sendiri, gimana kalau anak-anakku yang mengalaminya…duh jangan sampai. Entah kenapa malah viral konten semacam ini ya…Jadi PR bagi ortu, sekolah dan semua untuk ikut serta mengedukasi anak-anak agar tak menirunya
speechless dan mewakili kerisihanku hehe. tulisan yang bagus.
Semakin canggih zaman, semakin mundur ya pola pikirnya ya. Satu hal yang unik dari sini, mungkin sedikit berbeda kasusnya, ada saja nih beberapa influencer yang kaya sengaja mengundang orang-orang untuk menghujat mereka, demi dapatkan engage..
Aku pernah kena bully, jadi sangat tidak suka lihat konten berbau perundungan. Orang mau bilang lucu-lucuan ya terserah. Biasanya kutinggalin kalau nemu atau bikin laporan konten. Gak perlu pakai komentar. Ntar makin ngelunjak yang bikin konten
Humor yang menarik kursi itu jatuhnya zalim kan ya. Dan anak anak kadang berpikir itu hanya humor tapi membahayakan juga. Kalau jatuh dan.keseleo bisa bahaya.
menurut sya generasi terbaru dan manusia modern saat ini banyak yg teralihkan waktu dan perhatiannya dg konten2 yang bersliweran di sosmed.. dan lewat sosmed ini juga terjadi banyak perang komentar yang berujung kekerasan rasisme dan bully.. miris bgt, org2 lebih mudah berkomentar sebelum menyaring ide dan pendapatnya..
That’s why kita kudu aware masa konten-konten yang beraneka ragam itu ya kak. 🙂
Suka bangeet kutipan Victor Frankl. Aku juga baca buku itu. Emang sekarang tuh orang2 merasa punya hak untuk bertindak sebebas-bebasnya, tanpa memikirkan dampak atau kerugian yg dihasilkan
Sepakat. Terkadang kalau dijaili, saat itu ikut terbahak bersama si pembully. Namun, saat telah sendiri tidak jarang kita menangis. Saya pribadi kurang suka jail²an atau prank²an gitu, kita tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya berkecamuk di hati orang yang di-bully.
Mewakili isi pikiran banyak orang nih kak tulisannya. Memang mengerikan sekali bullying sekarang, apalagi efeknya juga tidak main-main, melihat angka depresi bahkan suicide di kalangan anak muda. PR besar untuk orang tua jangan sampai anak jadi pelaku dan korban bullying ini :’
hukuman yang setimpal sih buat yang menjadi pelaku, perekam, dan penyebar bullygram karena efek dari hal ini sangat traumatis..
sebelum era medsos, korban bully pasti mengalami trauma..
apalagi setelah era medsos, yg apa saja bisa disebarkan dengan cepat..
jika hal tsb disebarkan, maka akan menambah parah trauma dari korban..
btw, nice post!
13 Responses