Home / Jendela

Antara Apel, iPhone dan Cinta di Semester Akhir Sekolah

Senjahari.com - 02/09/2023

Hadiah Kepada Wali Kelas

Penulis : Dinda Pranata

Hal yang paling menyenangkan sekaligus mendebarkan adalah ketika pengumuman kelulusan atau kenaikan kelas. Selain yang dinanti adalah kata “naik kelas” juga “lulus” di dalam raport, ada juga yang tak pernah terlewat adalah fenomena memberikan hadiah kepada wali kelas. Kayaknya fenomena ini sudah jadi kebiasaan yang turun temurun dari kakek-nenek, bapak-ibu sampai ke anak-anak sekarang. Ini tidak terjadi hanya di kalangan anak kuliahan tapi mulai masuk ke anak PAUD-TK, SD, SMP dan sekolah tinggi.

“Lah, memang salah memberi hadiah kepada guru? Ya, itung-itung itu sebagai rasa terima kasih.” Mungkin kata-kata itu atau alasan itu tidak asing kita dengar bukan? Tapi benarkah memberikan hadiah kepada guru sebagai rasa terima kasih itu benar?

Dari Apel ke Iphone

Di zaman kakek-nenek atau orang tua kita, memberi buah-buahan kepada guru sudah mewakili rasa terima kasih dan syukur atas segala pengabdian yang mereka lakukan. Lalu di kita (era 90-an sampai sekarang) memberi kado sebagai hadiah kenang-kenangan guru berlanjut bukan hanya sekedar keranjang berisi buah, tapi beralih ke berbagai isi seperti kain batik bermerek sampai Iphone yang cukup membuat dompet meringis kecut.

Saat menjelang semester akhir ini, persiapan pencarian ide hadiah dan kenang-kenangan ini tidak hanya menimbulkan kehebohan para siswanya tapi juga wali/orang tua murid. Mereka secara aktif memikirkan ide-ide anti mainstream untuk kenang-kenangan sebagai rasa terima kasih pada sang guru. Dan tak jarang ide-ide yang muncul baik dari siswa atau wali murid ini memiliki tujuan implisit untuk mengejar kompetisi hadiah siapa yang paling baik.

Kondisi niat-niat terselubung inilah yang mengurangi niat memberi jadi perihal yang pelik ya. Pergeseran nilai memberi dan menerima ini, melesapkan nilai dari sebuah apel yang sederhana menjadi apple (iphone) yang merumitkan. Bahkan fenomena ini membuat hukum akhirnya turun tangan.

Baca juga: Kamu Pintar, Enggak Harus Ikut Industri Joki Akademik! Tapi ....

Eh kok bawa-bawa hukum, Jeng?

Bersyukur sambil Adu Kompetisi

Pemberi Hadian dan Impresi
Pemberi Hadian dan Impresi

“Gini lo Jeng-Kelin, sebelumnya sudah pernah baca berita tentang kasus yang viral wisuda di jenjang sekolah yang memberatkan wali murid ?” tanya narator.

“Kok topiknya beda sih, yang dibahas kan masalah kasih hadiah kepada wali kelas?” Jeng-Kelin malah balik bertanya sambil keheranan.

Banyak dari pembaca heran ya, kok memberi hadiah dengan acara wisuda sekolah dikaitkan, padahal kan berbeda kasus. Tapi tunggu dulu deh, meski kasusnya berbeda, tapi tahukah kalian bahwa kasus ini serupa, yaitu sama-sama berucap syukur sambil beradu kompetisi siapa yang paling …. (Bisa diisi sendiri ya). Meski tidak semua hadiah kepada wali kelas dari wali murid/siswa kita anggap sebagai kompetisi, tapi ini bisa memicu adanya konflik kepentingan yang bisa merugikan guru dan lingkungan sekolah.

“Apa kamu enggak berlebihan berpikir seperti itu?”

Baca juga: Teknologi dan Waktu Dalam Sebuah Ironi

Oke, coba kita lihat bagaimana praktek wisuda sekolah ini memicu pro dan kontra sama halnya dengan memberi hadiah. Benang merahnya adalah tentang selebrasi dan impresi. Kita mungkin tidak mewaspadai adanya keinginan untuk menciptakan momen dan impresi yang sering kali berujung pada adu kompetesi. Saking ingin membuat momen tak terlupakan, kita tanpa sadar malah mendorong diri untuk mengejar pujian dari berbagai kalangan (mencari impresi). Enggak heran kalau ajang wisuda sekolah sering kali terperosok pada ajang hura-hura dan tertunggangi oleh oknum tak bertanggung jawab untuk melakukan pungli.

Bukankah ini sama dengan fenomena memberi hadiah kepada wali kelas selepas kenaikan kelas? Sering kali ajang memberi hadiah ini lebih condong ke mencari impresi daripada menciptakan momen. Misalkan saja munculnya ide dari wali murid/siswa untuk memberikan barang bermerek atau barang mahal. Walaupun dilakukan secara gotong-royong/bersama-sama, tak sedikit orang yang merasa keberatan dengan jumlah uang yang harus dikeluarkan tersebut.

Ini kan cuma sebatas hadiah, kok kamu yang sewot?

Budaya Sepele yang Menyuburkan Koruptor

Dengar berita Menteri A korupsi dana sosial, lalu ada juga penyelewengan dana desa, dan berita korupsi-korupsi lain, membuat darah kita menjadi didih kan? Tapi tanpa sadar kita ikut memberikan sumbang asih terhadap kesuburan lahan korupsi itu. Lebih mirisnya lagi, ladang korupsi itu merambah ke lingkungan pendidikan. Akan ada dampak besar, jika praktik memberi hadiah kepada wali kelas ini tidak dihentikan.

1. Siswa akan merasa bahwa berterima kasih yang benar adalah dengan “memberi sesuatu”.

Padahal banyak cara lain yang bisa kita lakukan untuk menunjukkan terima kasih. Misal dengan mengucapkannya atau membuat guru bangga dengan menjadi sosok yang inspiratif.

Baca juga: Stigma Kusta: Cermin Buta dalam Nista dan Kusta

2. Munculnya ketimpangan sosial yang mencolok di satuan pendidikan di kalangan guru dan murid.

Misalkan saja nih, dalam kelas A berisi sepuluh orang anak. Delapan di antaranya dari kalangan menengah ke atas sementara dua anak lain dari kalangan menengah ke bawah. Kelas ingin memberi gurunya kain batik sutra yang harganya lima ratus ribu dan masing-masing anak membayar lima puluh ribu. Bagi anak yang dari keluarga menengah ke bawah lima puluh ribu bisa sangat memberatkan. Belum lagi ditambah budaya cancel jika mereka menolak membayar. Tidak hanya di kalangan siswa, ketimpangan sosial pun bisa terjadi di kalangan guru yang muridnya rata-rata berasal dari kalangan menengah ke bawah. Hadiah dari murid bisa jadi masalah baik untuk guru atau pun murid.

3. Pemerataan pendidikan yang tak setara.

Ini pernah terjadi saat aku SMA tahun 2008. Aku bersekolah di daerah kompleks pendidikan di mana beberapa sekolah terbangun saling berdekatan satu sama lain. Misalkan sekolah A punya beragam murid, sementara sekolah B, tetangganya, terkenal sebagai sekolah anak kaya. Budaya memberi hadiah kepada guru juga berimbas pada citra sekolah lo. Sekolah A yang mana memiliki siswa beragam, gurunya terlihat lebih sederhana daripada sekolah B. Budaya memberi barang branded yang terjadi di sekolah B menjadikan penampilan guru-gurunya lebih mewah dari sekolah A, sehingga pencitraan tentang sekolah elit pun muncul.

Bukankah esensi sekolah ini adalah untuk menjadikan anak-anak lebih cerdas dan bermartabat?

Hadiah Kepada Wali Kelas, Profesi dan Hukum Menjawab

Solusi Agar Terhindar Dari Gratifikasi
Solusi Agar Terhindar Dari Gratifikasi

Menjadi guru itu memang tidak mudah dan semua mengamini pemikiran tersebut. Di balik pemikiran sederhana ini, banyak yang masih menganggap praktik memberi hadiah ini sebagai hal yang wajar. Ini akan berimbas pada profesi dan integritas guru sebagai pendidik.

Demi menjaga obyektifitas dan proses evaluasi kinerja, pemerintah sampai turun tangan untuk menerbitkan undang-undang gratifikasi di satuan pendidikan. Seperti dalam UU No. 20 tahun 2001, pasal 12b ayat 1, yang menyebut bahwa gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Baca juga: Sapu Jagad Ala Keyboard Warrior: Menyikat atau Menyudutkan?

Sesuai dengan pasal tersebut, bukankah memberi kepada wali kelas bisa masuk ke dalam gratifikasi bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian? Lantas apa tidak sebaiknya berhenti menggunakan praktik seperti ini demi anak-anak ke depannya?

Terus kalau memberi hadiah kepada guru saat momen perpisahan itu dilarang, bagaimana cara kita bisa berterima kasih kepada yang bersangkutan?

Invitasi dan Diskusi

Ada banyak cara kita bisa menyampaikan rasa terima kasih kepada guru. Beberapa alternatif untuk memberikan ucapan terima kasih kepada guru saat acara kenaikan atau perpisahan:

  1. Di hari perpisahan sebaiknya orang tua wali/siswa agar semua staf sekolah mulai dari guru sampai petugas keamanan dan kebersihan bisa ikut berpartisipasi. Ini sekaligus mengajarkan kepada anak-anak bahwa guru, petugas keamanan dan kebersihan turut mensukseskan program belajar-mengajar selama mereka belajar di sekolah. Cara ini pun bisa mengurangi ketimpangan dan kecemburuan sosial daripada memberikan ucapan/penghargaan kepada satu pihak saja.
  2. Wali murid atau siswa bisa memberikan pelatihan yang bermanfaat bagi peningkatan kemampuan guru atau staff pengajar. Seperti merencanakan pelatihan di sekolah untuk semua guru tentang bagaimana mengimplementasikan proses mengajar yang interaktif dan menyenangkan.
  3. Bisa juga siswa/ wali murid/ paguyupan bisa bersama-sama mendonasikan dana atas nama sekolah di hari perpisahan ke lembaga filantropi. Ini sekaligus membuka celah penghapusan praktik suap di lingkungan sekolah dengan dalih hadiah kepada salah satu guru.
  4. Menginisiasi donasi buku untuk sekolah sebagai ucapan syukur kepada guru-guru selama mengajar. Ini lebih baik lagi, karena dengan donasi buku dari wali murid membantu gerakan literasi membaca di sekolah dan meningkatkan ragam bacaan di sekolah agar siswa selanjutnya semangat dalam membaca.

Setelah membaca ini, bagaimana menurutmu fenomena memberi hadiah kepada wali kelasmu? Yuk tuangkan opinimu di kolom komentar. Bagi kamu yang kontra dengan isi artikel di atas, boleh juga kok berkomentar.

Eits, jangan lupa untuk berkomentar dengan sopan ya. Ini semata-mata agar kamu punya jejak digital yang baik.

Baca juga: Masyarakat Adat dan Para Pengabdi Modernitas

Happy Friday!

Source:
https://theconversation.com/apakah-anda-berencana-memberi-hadiah-kepada-guru-sebagai-rasa-terima-kasih-pahami-beberapa-hal-ini-supaya-tetap-etis-187096
https://news.detik.com/berita/d-6149002/cerita-eks-pegawai-kpk-soal-gratifikasi-ke-guru-tuai-pro-kontra
https://nasional.kompas.com/read/2008/05/15/15513151/~Perempuan~Family

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

*

Post comment

Comment

Ingat sekali waktu masih sekolah dulu, sekelas urunan buat ngasih kenang-kenangan ke guru. Kita kumpul semua, rembukan hendak ngasih bingkisan apa kepada guru kami dengan mempertimbangkan kebiasaan dan kesukaan guru kami yang kami perhatikan selama beliau mengajar dan membimbing kami semua. Hasilnya, kita sepakat untuk menghadiahkan selembar kain batik dan perabot minum teh untuk guru kami mengingat beliau yang suka mengenakan batik. Alhamdulillah, senyuman Beliau ketika menerima bingkisan dari Kami sungguh luar biasa.

Tanda terimakasih kami untuk Guru saat sekolah dulu, cukuplah kami jadi murid yang bisa lulus dengan nilai yang baik, kalo pun ada bingkisan dari patungan kami sekelas, itu hanyalah bonus untuk wali kelas kami yang udah sabar menghadapi kelakuan kami yang kadang2 berisik,, heheh

Haaha… iya ya, kita suka bandel sih. πŸ˜‚
Tapi mending kasihnya ke sekolah aja kenang²annya, biar jauh dari gratifikasi bapak gurunya. 🫰

Tulisan yang bisa membuat bbrp orang jadi tersentil 🀭 karena memang benar sih realitanya seperti itu

Bener mbak Pit. Ini juga jadi catatan bersama bahwa selain kasih kenang²an ke satu orang sebenarnya ada cara lain untuk memberi hadiah tapi bebas Gratifikasi. ❀️

Alfia D. Masyitoh

Aku setuju dengan semua yang ditulis di sini sih. Buktinya banyak, sekolah sekarang itu seperti ajang gengsi wali murid. Termasuk salah satunya dari tradisi bingkisan ke guru ini. Kalau mau ngasih kenang-kenang ke guru boleh aja, boleh banget, tapi nggak perlu sampai memberatkan beberapa pihak (anak yang kurang mampu finansial). Apa perlu sekolah bikin kebijakan jelas dan konkret semacam “Dilarang memberi gratifikasi apapun kepada guru, seperti kado, oleh-oleh, kenang-kenang dan bingkisan” ?

Ini bisa juga dilakukan mbak dengan edukasi ke sekolahnya. Kalau di sekolah ada parenting class atau acara bersama orang tua, bisa juga kita selaku wali murid mengajukan ide untuk program sosialisasi ke sekolah. ❀️

Memang zaman berubah sesuai gaya hidup..dulu tuh kalo sama guru memang suka ngasih2 sebagai bentuk berkhidmat pada beliau.. dan bahaya juga kan kalo masuk gratifikasi..pdahal masuknya berkhidmat..

Kalau dulu mungkin wajar, tapi kewajaran itu kalau dibiarkan jatuhnya juga bikin wali murid kesukitan sendiri. Jadi ada baiknya praktik itu dihentikan, demi anak-anak dan nama institusi. 🫰

Bener banget ini, kita marah sama koruptor yg korupsi sebesar milyaran rupiah tapi kita lupa kalau sudah melakukan “korupsi kecil”. Tanpa disadari justru menimbulkan kompetisi. Aku dulu juga merasakan, biasanya yg punya uang banyak yg berkuasa tanpa melihat berat atau nggak iuran buat yg ngumpulin 50 ribu aja susah.

Kadang pengen nyambel para koruptor kan ya. Nah, sekarang malah ajang pemberian ini cukup masif terjadi di kalangan wali murid lo, padahal sekolahnya sudah mengatakan tidak. Seperti kasus wisuda sekolah yang cukup viral itu. πŸ’”

Fenomena ini sering dibahas karena memang menyerempet riswah atau penyogokan. Di sekolah-sekolah islam atau pesantren, hal ini umumnya sudah dilarang keras oleh pihak sekolah/pesantren.
Karena bisa saja guru dijanjikan hadiah besar dan mewah olwh wali murid tertentu, jika muridnya mendapat nilai bagus. Sehingga guru ybs berusaha menghalalkan segara cara agar murid tersebut lulus dengan nilai bagus.

Meskipun tidak untuk tujuan yg implisit kaya menaikkan nilai, dsb. Pemberian kepada satu pihak guru yang sudah melakukan tanggung jawab dan SOP pekerjaannya akan jatuh pada gratifikasi. That’s why beberapa pihak khususnya wali murid bisa mencari cara lain yang jatuhnya bukan ke Gratifikasi tapi kebermanfaatan banyak pihak. ❀️

Artikel yang menarik dan sangat perlu untuk diangkat. Memang ada sekolah yang berupaya membangun sistim supaya di akhir semester guru dan orang tua/wali “tdk bisa bertemu” supaya gratifikasi ini tdk terjadi. Namun, masih ada orang2 tua yang bandel, menjadi “kolektor” dengan cara mengajak patungan para orang tua lain untuk mengumpulkan sejumlah uang untuk diberikan kpd guru sebagai “rasa terima kasih” – aku setuju, hal ini dapat menjadi bibit korupsi di masa depan. Well done narator.

Nah di lapangan memang masih banyak orang tua yang bandel dan belum paham sepenuhnya tentang gratifikasi. Jadi enggak heran banyak muncul patungan yang “tidak” disepakati muncul dalam forum untuk tujuan yang kurang bermanfaat.

Thank you sudah mampir. ❀️

Andri Marza Akhda

Dulu saya sempat kepikiran untuk memberikan hadiah kepada dosen selepas sidang skripsi selesai, tapi saya lalu berubah pikiran, karena itu bisa saja kaya “mempermudah” saat proses revisi. Dan dosennya juga dengan tegas tidak mau menerima hadiah..

Ini dosennya keren lo. Berani menolak dengan tegas. Standing applause .. πŸ‘πŸ‘

berbeda sih perspektif antara reward, thanks giving hingga grativikasi.. walau sama2 dalam bentuk fisik berupa hadiah, tapi tujuan dan perspektifnya emang sangat berbeda

Kalau di kampung nih, pas kelulusan itu serba salah juga kalau mau kasih apapun ke guru. Ngasih takut dibilang nyogok gak ngasih dibilang pelit, gak tahu berterimakasih. Haha…

Kebetulan di sekolah anak-anak, perihal memberi hadiah ini sesuatu yang dilarang sama sekali, kecuali untuk beberapa hal, misalnya jika anak-anak sudah akan lulus dari sekolah tersebut, guru yang memang sudah akan resign atau pindah tugas. Plus minus dan beragam opini memang akan selalu ada sih menurut saya.
Karena kadang niat orangtua pun hanya ingin memberikan kenang-kenangan pada guru yang sudah berjasa mendidik anak-anaknya. Asalkan dilakukan bersama-sama (patungan) dan nilainya tidak memberatkan semua pihak yang terlibat, menurut saya hal ini tidak masalah. Dan sebisa mungkin semua pihak di sekolah juga mendapatkan apresiasi yang adil.

Kalau buat aku memberi sesuatu kepada wali kelas selama tidak berlebihan syah2 aja sih kasi penghargaan sesekali asalkan jangan berlebihan saja

Kebiasaan ini dulu tidak ada di zaman saya sekolah, pas di kampus baru ada, tapi kebetulan di momen-momen saya mau lulus, fakultas sudah memberi edaran pelarangan memberikan apapun kepada dosen.
Meskipun niatnya baik, tapi memang sangat dekat dengan praktik gratifikasi. Belum lagi kesenjangan ekonomi.
Mungkin bakal lebih bijak kalau dari sekolah yg bikin aturan, agar tidak memberikan apapun kepada guru.

tanpa disadari ya jadinya grativikasi sih ya ngasih hadiah ke wali kelas, apalagi kalau urusannya tiap ambil rapot, hehe. Walau sih gak semua walas kayak begitu, karena waktu daku sekolah ada yang seperti itu, ada juga yang nggak

Eka Fitriani larasati

relate sih karena saya ngalamin juga galaunya ngasih “kado” buat guru di akhir tahun ajaran. bahkan berlomba? ya demikianlah faktanya. selain sebagai ungkapan terimakasih hal ini jadi kebiasaan yang gak bisa dihindari karena udah jadi kebiasaan. bahkan, ada guru yang dengan sengaja bersuara lantang minta dikasih hadiah emas. gila kan? itu nyatanya loh. butuh upaya sih untuk memotong kebiasaan ini, tapi kalau pribadi guru dan lembaga gak aware apalagi gak sadar hal ini bisa jadi celah gratifikasi dan merugikan orangtua, yaa susah juga.

cerdas kak , racikan artikelnya menarik. Alur tulisannya juga nendang. Dan menggelitik untuk berkomentar. Faktanya, masih ada kebiasaan ngasih suatu benda ke walas pas di akhir sesi belaajr sekolah (usai penerimaan rapor). Misal sbg walas, kita hargai niattan baik mereka. Dan bisa juga wali kelas jadi teladan dg mengarahkan duit yg hendak dibarangkan dan diberikan ke wali kelas utk dihibahkan saja ke sekolah dengan beli kenang-kenangan apa gitu.

Ini sudah menjadi sistem pendidikan, sistem pekerjaan dan sistem yang memang berada dan dinormalisasi oleh masyarakat. Saat ini bukan merupakan suatu aib kalau memberikan dan membanggakan “hadiah” yang diberikan kepada guru ketika lulus, karena dianggap sebuah tanda terima kasih.
Jadi, aku pikir untuk ranah ini, ada baiknya diskusi dengan pihak sekolah agar sama-sama nyaman.

Karena sejujurnya, di sekolah anakku, hal sekecil memberi sumbangan ketika ada guru yang sakit pun diatur oleh pihak sekolah. Karena takutnya ada “pamrih” atas hal tersebut.

Ketika pihak penerima dan pemberi sama-sama ridlo, semoga hal seperti ini bisa menjadi amal jariyyah untuk kita semua.

Lucu juga denger istilah dari apel ke iphone hehe. Jaman memang berubah. dan ngomongin gratifikasi saya jadi ngeh apa yang boleh dan tidak. thanks tuk insightnya ka Dinda

Hal hal seperti ini memang kerap kali di normalisasi yaa. Hanya saja perlu juga melihat prespektif lain bahwa, bila memberkan hadiah, berilah hadiah yang memang relevan dengan rutinas. Sehingga manfaatnya dapat terasa ke orang banyak, kendati yang diberikan adalah individu.

Jadi ingat pas perpisahan TK anakku, semua ibu2 ngajak patungan buat memberi hadiah para wali kelas. Kalau patungan gini tentunya pemberian lebih adil ya, jadi tidak membuat perbedaan perlakuan dari guru ke murid lainnya. Daripada kita memberi secara personal ke seorang guru saja, rasanya gimana gitu. Nanti kuusulkan saja deh di grup bagusnya tuh kayak gini aja.

Betul. Sesuatu yang sudah menjadi budaya atau kebiasaan umum, susah untuk dihilangkan. Tapi setidaknya bisa dibuat jadi bentuk yang lebih baik ya seperti tertulis di atas.

Asty Intan Pratiwi

mendonasikan dana dan buku terdengar lebih baik yaa idenya. aku kadang berpikir begitu juga, tapi kan lagi2 namanya budaya berpuluh2 tahun, susah dihapuskan. kalau dalam 1 sekolah cuma 5 wali murid doang yang berpikir seperti ini, yah bakal kalah dan ujungnya diomongin yg aneh2 sm yg lain huhu.

jujur saja, sejak masa saya sekolah hingga saat ini anak saya yang sekolah, belum pernah kami memberi hadiah kepada wali kelas. di daerah tempat tinggalku, alhamdulillah gak ada fenomena seperti itu jadi orang tua gak perlu mikir mau kasih apa ke walas setiap kenaikan kelas, hehehe

Annisa Khairiyyah Rahmi

Kalau ngasihnya bareng bareng dan urunan, masih wajar sih menurut saya. Beda cerita kalau masing masing ngasih kado. Pasti ada ketimpangan dan gengsi dong

Puspita Wulandari

Pada kenyataannya masih banyak wali murid yang memberikan secara personal hadiah untuk guru, tapi menurut aku emg baiknya patungan si biar ga terjadi salah paham

34 Responses