Penulis : Dinda Pranata
Ada yang tahu enggak negara Rwanda?
Negara ini bukanlah negara besar dan merupakan negara kecil dengan penduduk yang padat. Berdasarkan laman britanicca estimasi tahun 2023, jumlah penduduknya 14 juta jiwa.
Meski negara ini tak besar, negara Rwanda ini tergolong negara berkembang lo. Meski tidak sepopuler negara-negara tetangganya di kawasan tersebut. Tapi siapa sangka negara ini punya masa lalu yang kurang lebih sama dengan negara kita Indonesia.
Beberapa waktu lalu, aku membaca salah satu buku karya penulis Senegal bernama Boubacar Boris Diop. Buku menceritakan kisah sejarah negara Rwanda yang diceritakan dalam bentuk fiktif berjudul Murambi: Kisah tentang Tulang Belulang.
Seperti apa kisahnya dan apa kesamaan dengan sejarah negara kita?
Baca juga: Lebih Putih Dariku: Antara Ibu dan Babu
Rwanda Pra-Kolonialisasi Vs Pasca Kolonialisasi
Buku karya Boubacar Boris ini bukan buku yang tebal. Kalau kamu baca dari halaman pertama yang dibuka dengan pengantar dari penerjemahnya (Mas Ari), seorang dosen di UGM kamu bakal ngeh bahwa Rwanda ini negara yang adem ayem dan fleksibel mengenai status sosial warganya. Sebelum kedatangan penjajah, bangsa Rwanda terdiri dari kaum Hutu (petani), Tutsi (peternak) dan Twa (pemburu). Jika kaum hutu bisa beternak maka hutu bisa menjadi kaum tutsi, begitu pun yang lainnya.
Lalu, Duar! Segalanya berubah ketika pada penjajah asal Jerman, Belgia dan Prancis datang.
Ketika bangsa kolonial ini datang menjajah—mulai dari bangsa Jerman—mereka tidak mengenal pembagian kelas berdasarkan pekerjaan, sehingga mereka menerapkan pembagian kelas sosial yang diterapkan di Eropa.
Kaum Tutsi yang merupakan kaum mayoritas mendapatkan kelas tertinggi daripada yang lainnya, sehingga mereka jadi hilang kewarasan. Belum lagi si penjajah menerapkan politik adu domba di Rwanda, yang menambah serangkaian kegilaan di negara itu. Terjadilah aksi saling membunuh antar suku di sana.
Perang antar suku ini terus terjadi bahkan sampai penjajah berganti ke Belgia. Bukannya berhenti, konflik antar suku berubah jadi konflik antar etnis yang mana Belgia semakin memperuncing konflik itu.
Baca juga: Novel Emma: Idealitas Wanita di Era Victoria
Sampai akhirnya Rwanda merdeka dan berhasil mendudukkan seorang presiden yang berasal dari Hutu. Lantas apakah ini menghapuskan konflik yang terjadi? TIDAK! Saat Hutu berkuasa, giliran Tutsi yang gigit jari. Presiden negara itu melanggengkan pembantaian kaum Tutsi, sebagai rencana balas dendam mereka selama puluhan tahun tersiksa. Puncaknya ketika Presiden Habyariyama tertembak rudal dalam pesawat.
Bagaimana kengeriannya? Baca aja deh!
Kisah-Kisah Kematian dalam Kebisuan
Boubacar Boris menuliskan buku ini dalam tiga sudut pandang yang berbeda. Ada suara pelaku dari pembantaian orang-orang Tutsi salah satunya adalah seorang petinggi Interhamwe yang sedang berbicara pada bapak tuanya. Betapa kebencian sudah mendarah daging akibat masa lalu yang dilakukan oleh orang Tutsi pada kaum Hutu.
Suara kedua yaitu dari para korban/penyitas genosida. Salah satunya adalah Gerard Nayinzira. Posisi penyitas genosida ini ada dalam posisi ambang antara benci, jijik dan merasa bersalah. Mereka benci para Hutu, para pendahulu mereka sampai para jagal, yang mengambil nyawa orang-orang tak bersalah. Tapi di sisi lain mereka bersalah karena hanya merekalah yang selamat dari peristiwa mengerikan itu.
Suara ketiga adalah suara dari keturunan pelaku yang diwakili oleh suara Cornelius. Posisi keturunan dari dalang genosida di sebuah sekolah teknik di Murambi, mengalami serangkaian mimpi buruk dan rasa bersalah, meski bukan dirinya yang melakukan perbuatan keji itu.
Baca juga: Review Animal Farm, Satir Manusia Dalam Animal Kingdom
Lalu ada pula tokoh ekternal yang ikut terseret dalam kasus genosida yaitu pihak asing yang diwakili oleh Perancis. Ketika kekejaman dan pembataian kaum tutsi, perancis yang saat ini memiliki hubungan diplomatik dengan Rwanda, hanya diam dan tidak ikut mencegah kekerasan ini terjadi. Yang mengerikan lagi, pihak Perancis seolah menutup mata dan lepas tangan ketika kekerasan itu terjadi.
Lalu apa kaitan kasus genosida tersebut dengan Indonesia?
Pelanggaran HAM dan Genosida yang Tak Berdiri Sendiri
Kalau kalian pernah baca buku dari Leila S. Chudori yang berjudul Laut Bercerita atau Laksmi Pamuntjak berjudul Amba, mungkin akan berpikir kasus ini benar-benar serupa meski tak sama. Ketika terjadi penculikan aktifis tahun 1998, juga kekejaman oleh aparat militer pun kerap terjadi pada masa-masa itu.
Belum lagi kasus rasial yang turut menyeret warga Tionghoa di berbagai tempat, serta beberapa kasus pemerkosaan terhadap perempuan yang juga meningkat di tahun-tahun tersebut. Sebut saja kasus terbunuhnya seorang aktifis Tionghoa secara brutal bernama Ita Martadinata.
Lalu, percayakah kalian bahwa Indonesia pernah mengalami genosida? Mari kita tarik lagi perjalanan Indonesia sebelum tahun 1998. Tepatnya tahun 1965-1966. Di tahun tersebut terjadi serangkaian pembunuhan, penyiksaan dan kekerasan terhadap simpatisan PKI, Pro PKI dan anggota partai PKI.
Baca juga: Nyonya Bovary: Cermin Negara Lewat Drama Rumah Tangga
Kekejaman yang terjadi pada tahun tersebut ditengarai karena angkatan darat ingin menumpas PKI dari Indonesia. Sayangnya, penangkapan dan pembunuhan yang terjadi pada penduduk tidak melalui proses peradilan yang adil, sehingga tak jarang warga sipil yang belum tentu simpatisan PKI menjadi korban.
Kejadian ini pun menimpa Rwanda di beberapa tempat seperti di Ibukotanya Kigali, sampai Murambi yang menjadi puncak genosida orang-orang tusti. Tanpa ampun pemerintah dari kaum Hutu seolah ingin membalas dendam pada orang Tutsi, menebas siapapun yang terlihat seperti orang tutsi.
Belum lagi konflik yang berujung genosida ini tidak pernah berdiri sendiri. Maksudnya apa, Jeng? Genosida yang terjadi di Rwanda terjadi akibat adanya campur tangan asing baik langsung dan tak langsung. Baik itu Jerman, Belgia dan Perancis yang melatarbelakangi kondisi perang suku di Rwanda.
Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Benarkah ada campur tangan asing di genosida tahun 1965-1966? Kita masih menunggu bagaimana pemerintah Indonesia menuntaskan masalah pelanggaran HAM tersebut.
Review Buku Pov Senja Hari
Ketika baca buku Murambi: Kisah Tentang Tulang Belulang, aku kira ini semacam buku fiksi sejarah yang serupa dengan buku karangan Leila S. Chudori atau Laksmi Pamutjak. Apalagi kalau baca blurb bagian belakangnya yang akan membuat pembaca terasa klik, “ah buku fiksi sejarah.”
Baca juga: The Girl on Paper, Kisah Cinta Penulis dan Tokoh Novel
Namun setelah membaca sampai ke bagian tengah, aku merasa seperti ada di adegan thriller film atau setidaknya memainkan adegan dalam kepala, kekejaman yang tertulis dalam alur tersebut. Efeknya adalah aku sempat ke-trigger dan merasa butuh jeda untuk menghela nafas. Meski temanya sama dengan karya Leila, tapi eksposur kekerasan lebih ekstrim daripada karya penulis kita.
Meski eksposur kekerasan cukup banyak, aku paling suka dengan gaya penceritaan dari Boubacar ini. Ia mengambil tiga sudut pandang dari pelaku, penyitas dan keturunan dari pelaku yang sama-sama bukan tokoh figuran.
Ditambah tokoh utama ini saling mengisi dan tidak berebut adegan, sehingga punya proporsi yang pas dalam alur ceritanya. Salah satunya ketika si keturunannya ini bertemu dengan penjaga museum di Murambi yang ternyata adalah penyitas dan kenalan lama.
Berapa aku kasih rating bukunya? 4,8 dari 5 yang artinya bagus banget. Selain itu aku merekomendasikan buku ini untuk yang menyukai buku fiksi sejarah atau misteri thriller. But, aku tidak merekomendasikannya bagi mereka penyitas kekerasan atau yang mengalami masalah pada psikisnya.
Invitasi dan Diskusi
Adakah yang berani membaca buku ini? ataukah kalian sudah membaca tuntas buku ini, yuk bisa berbagi pengalaman membaca kalian di kolom komentar.
Eh, kalian yang kontra atau punya kritikan terhadap buku ini juga boleh lo berbagi. Apapun opini kalian, yuk gunakan bahasa yang sopan, semata-mata menjaga jejak digital kalian tetap bersih.
Di mana kalian bisa mendapatkannya?
Happy Thursday!
Comment
Waduh! Kayaknya kalau saya yang baca buku ini selesainya bisa berbulan-bulan. Baru baca review di sini aja udah berasa merinding. Suka penasaran ingin menyelesaikan. Tapi, memang harus memberi jeda. Khawatir mental jadi gak aman.
Sudah 2023 pun penjajahan di dunian masih ada. Gak kebayang kalau mengalami penjajahan, pasti kemanapun tidak akan tenang.
ada banyak cerita semacam ini di penjuru nusantara. dan review murambi kisah tentang tulang belulang sebagai akibat dari bentuk kolonialisme. patut kita apresiasi jempol buat pengarangnya.
terimakasih sudah menunjukan satu cerita sejarah bagian dari sejarah nusantara.
salam budaya
Ga kebayang itu gimana rasanya di lempar ke Septi tank, huek bgt pasti.🤮
Saya belum baca buku ini, tapi dari tulisan ini dan postingan kakak di IG, saya jadi punya gambaran tentang isinya. Terima kasih telah bersedoa berbagai bacaan. Jadi makin sadar klo penjajahan memang jahat sekali. Secara fisik bisa berakhir, tapi kerusakan yg ditinggalkan abadi
Ya Allah bacanya aja mengerikan mbak. Kayaknya aku nggak sanggup baca deh. Aku bener an bisa over thinking membaca part ketujuh anak dilempar hidup-hidup di septic tank. Duh kekejaman yang haqiqie.
Serem ya, dari sinopsisnya aja udah terasa aroma mengerikan, tapi memang selintas aku pernah dengar tentang tragedi ini, sepertinya Rwanda ini terdiri dari banyak suku ya. Aku suka tema buku seperti ini, tapi kalau baca buku ini kayaknya butuh persiapan mental daripada setelah baca jadi terbayang-bayang terus.
habis baca ini langung buka google searching negara Rwanda ternyata benar ada ya, baru kali ini aku dengan nama negara itu wkwk Bukunya seru ya kak tapi saya nda bisa baca buku thriller begini bisa-bisa mimpi buruk krn selalu terbayang tiap adegaannya.
Saya gak tahu hatus komemtar apa … kni buku fiksi atau non fiksi karena yang menulis buku ini seperti hidup di tahun itu … mengerikan dan seram menurutku … dan buku itu tidak akan bisa kubaca … karena akan menganggu mental saya …
Dari dulu yang namanya penjajahan memang menyakitkan ya, gak di negara luar sana atau negara kita sendiri pun pernah mengalaminya. Kayaknya aku gak sanggup membayangkan kengerian sebagai suku tutsi yang dibantai hidup-hidup di sana. Cerita di buku ini cocok sepertinya kalau difilmkan ya, sekaligus belajar sejarah juga
Aduh kira-kira saya berani nggak ya baca buku ini, kok kesannya mengerika banget. Tapi sejarah memang harus diungkapkan meski pahit dan menyimpan tragedi
wah dari sampul bukunya aja udah kelihatan ngeri mbak
tapi menarik sih karena ada 3 sudut pandang penceritaan yang berbeda
karena biasanya, jarang yang mengambil sudut pandang banyak dalam sebuah buku
Sepertinya ini buku yg harus dibaca dg perhatian penuh ya.. bukan buku bacaan ringan pembunuh waktu gitu.. BTW, trims review-nya..
Saya sempat terjebak di Jakarta saat kerusuhan 1998. Berhasil keluar dan balik Surabaya. Surabaya pun saat itu–walau lebih aman terkendali–tapi tank diparkir di jalan protokol. Beberapa hari kemudian ada pernyataan rezim Soeharto mundur. Peristiwa sejarah yang gak bakal lupa dari ingatan. Indonesia juga mengalami politik adu domba seperti Rwanda. Namun Rwanda lebih parah. Diskriminasi rasial di Indonesia saat ini adalah bekas dari doktrin kelas yang diciptakan koloni Belanda.
Kayaknya baca ini jangan malam-malam ya. Hahaha…masih baca sinopsisnya aja udah bikin merinding. Tapi sebenarnya bagus sih baca ini karena menambah pengetahuan tentang sejarah juga
Tahun 2023 telah tiba, namun sayangnya penindasan di seluruh dunia masih berlangsung. Sulit untuk membayangkan bagaimana rasanya berada dalam situasi penindasan, di mana ketenangan sepertinya sulit dicapai di mana pun.
huaa! kok aku merinding ini baca tulisannya xD rada ngeri gimana gitu 😀 tapi saya baru tau kisah tentang tulang belulang ini, hehe..
Saya dulu sempat penasaran dengan apa yang terjadi di Rwanda. Sedikit tahu tentang adanya permusuhan antara Hutu dan Tutsi, dan ternyata sejarahnya lumayan panjang ya. Ada beberapa film yang membahas tentang ini juga kalau gak salah. Sedih, deg-degan, sekaligus marah sih kalau baca kisah-kisah seperti ini.
Saya sudah nonton film tentang Rwanda. Ngeri memang. Wah, sepertinya harus coba baca bukunya juga. Makasih reviewnya ya. Nanti saya coba cari juga.
Ya Allah, kuat banget baca gini. Saya bisa depresi lagi baca yang begini. Hiks hiks.
Aduh koq serem ya. Baru baca tulisan ini saja sudah ngeri rasanya, apalagi kalau baca langsung
Selalu ada masa kelam sebelum merdeka ya.
Sedih kalau pas baca bagian itu, baik itu terjadi di negeri sendiri atau cerita dari negeri atau tempat manapun.
Makasih review-nya ya, Kak. Lengkap komplit
Keren nih bahasan bukunya. Banyak fakta menarik dan sejarah yang tak semua bisa tahu
Masa 98 emang masa kelam. Saya saksi bagaimana penjarahan itu terjadi dimana-mana … Sedih pokoknya
Gak kuat sepertinya kalau baca buku seperti ini dengan kategori penyiksaan dan sejenisnya. Cuma ada temen yang pernah baca buku Murambi katanya sangat rekomendasi sih.
Saya termasuk penggemar buku cetak, buku ini auto masuk ke dalam wishlist saya. Semoga di Gramed dekat rumah ada ya
Tak bisa dipungkiri nya bahwa Prancis, Jerman, Belgia punya andil besar perang antar suku yang berakhir dengan genosida ini.. Memang diperlukan rasa persaudaraan yang kuat agar gak mudah diadu domba.
Kalau buku fiksi sejarah daku suka nih.
Soalnya walau jalan cerita dan karakternya fiksi, tapi nama2 tempat dan benda bersejarah lainnya kan asli ya
Waduh, aku baru baca reviewnya disini aja sudah merinding
Kuat g ya klo baca bukunya langsung
Maklum aku penakut. Haha
genosida ini salah satu topik yang mengerikan tapi bikin aku penasaran. karena pengen tahu aja gtu kenapa sampe bisa melakukan genosida yang kurang manusiawi. anw, bukunya menarik juga ya kak
Aduuuuuuh
Kalau udah cerita tentang perang dan derivasinya, Saya udah ngeri duluan. Pilunya terasa menyusul hati. Membayangkan bagaimana hidup begitu mencekam, ketika nyawa terasa tak berharga, ketika tangis terus bersahutan setiap saat. Pembantaian, balas dendam. Hiks… Sedih banget
Jujur, Saya gak punya nyali cukup untuk membaca buku sejenis ini. Takut gak bisa tidur karena kebayang-bayang atau malah bisa tidur tapi gak nyenyak karena kisahnya kebawa mimpi
30 Responses