Penulis : Dinda Pranata
Beberapa waktu yang lalu, aku beli buku yang sebenarnya salfok sama judulnya. Lebih Putih Dariku merupakan novel asal penulis Belanda bernama Dido Michaelsen dan kemudian diterjemahkan oleh Martha Dwi Susilowati.
Judulnya buat aku merasa buku ini semacam berbicara tentang masalah ras atau stereotip orang berkulit putih. Namun anggapanku ini sebenarnya enggak salah 100 persen sih. Karena ini buku ini nyatanya enggak cuma bahas masalah ras dan stereotip-nya, tapi juga menyoroti hal selain itu. Bahkan menariknya isi buku ini masih relate sama keadaan sekarang.
Emang boleh se-relate itu? Gimana bisa sih?
Lebih Putih Dariku atau Lebih Hitam Darinya
Buku ini diambil dengan sudut pandang orang pertama yaitu “aku”. Bagian pembuka kisah ini aku adalah seorang narator bernama Canting. Canting adalah seorang nyai yang bisa orang katakan beruntung 1karena suaminya bukanlah totok Belanda melainkan peranakan Belanda. Ia punya kehidupan yang harmonis bersama dengan lima anak dan suaminya tersebut.
Suatu hari Canting bertemu dengan seorang Isah. Wanita tua berusia enam puluhan. Dari pertemuan ini lah Canting membangun kedekatan dengan Isah dan mengisahkan cerita tentang kehidupan Isah pada bab selanjutnya.
Baca juga: Kisah Simon Bolivar dalam The General in His Labyrinth
Isah memiliki nama asli Piranti dan ia seorang anak haram dari bupati yang keberadaannya tak diakui. Berkat kepandaian ibunya membatik, Piranti dan ibunya tinggal di keraton Yogyakarta dan menjadi pembatik kepercayaan keluarga keraton. Sejak kecil Piranti seorang anak yang kritis dan punya jiwa pemberontak, meskipun-seperti adab seorang abdi di keraton-akan tetap tunduk pada siapa yang mereka layani.
Piranti selalu mempertanyakan mengapa dirinya berbeda dengan para putri sultan yang menjadi sahabatnya, apa yang ia miliki bisa dengan mudah direbut oleh putri sultan itu. Karena ya, rasa dendam akibat ketidak adilan yang ia terima, Piranti tumbuh menjadi sosok remaja pembangkang sampai ibunya menyuruhnya ikut belajar membatik kain yang diperuntukkan untuk pernikahan sang putri sultan.
Namun masalah lainnya timbul ketika di hari pernikahan sahabatnya itu, Piranti ternyata terpilih untuk menari bersama seorang pria yang masih pangeran dari kesultanan Yogyakarta. Dalam malam pentas tariannya itulah, segalanya berubah mulai dari pertemuannya dengan seorang perwira Belanda bernama Gey dan termasuk keinginan Piranti untuk lari dari keraton agar bisa menjadi nyai dari pria yang bernama Gey itu. Semudah itukah menjadi nyai? Bahagiakan hidupnya dengan Gey? Ah kalian baca aja deh bukunya!
Gender dan Ras: Opresi Pada Perempuan Pribumi
Kalau kita pecah ada beberapa hal dasar yang terikat dalam kisah di novel Lebih Putih Dariku:
- Obyektifikasi Perempuan. Isah dan perempuan pribumi lainnya sering pria Belanda anggap sebagai objek seksual dan harta milik oleh laki-laki Belanda. Tak heran para nyai dan gundik yang ada pada masa kolonialisasi memiliki nama lain yaitu meubel (perabotan). Si nyai harus merelakan si tuan/suami Belandanya kembali ke negaranya, sementara dia akan diberikan kepada perwira/pejabat belanda lain entah sebagai babu, nyai atau gundiknya.
- Konstruksi budaya gender yang menekankan bahwa perempuan itu harus bergantung pada laki-laki. Kondisi ini bahkan terjadi ketika Isah masih anak-anak. Orang tua mempersiapkan anak perempuan untuk tunduk pada kekuasaan laki-laki seperti bagaimana sang ibu Isah/Piranti mencarikan jodoh di saat usianya masih remaja tanpa peduli jika si laki-laki ini sudah memiliki istri.
- Marginalisasi ekonomi, sosial dan hukum akibat konstruksi gender dan ras. Isah dan gundik yang lain tidak memiliki hak waris, hak kepemilikan tanah, atau hak atas anak-anaknya. Dia juga tidak bisa mengakses pendidikan, kredit, atau pekerjaan formal yang layak. Ini terjadi ketika Isah harus mengetahui bahwa Tuan Belandanya akan kembali ke negara asalnya dan meninggalkannya di tanah airnya.
Ketika baca buku ini, aku teringat akan cerita Nyai Ontosoroh di Bumi Manusia karya Pramoedya. Isah dan Nyai Ontosoroh sama-sama Nyai yang ceritanya saling bertolak belakang tapi berujung tragedi yang sama.
Baca juga: Nyai: Peyorasi Istilah Perempuan dan Prostitusi di Masa Kolonial
Selain itu dari kisah dalam buku lebih putih dariku, ternyata perkara kondisi di jaman itu masih cukup related sama kondisi sekarang. Coba aja deh lihat standar-standar kecantikan yang tersebar di media yang rata-rata dapat kita katakan mengobyektifikasi dan mengopresi perempuan yang berbeda. Tidak hanya itu dalam bidang penegakan hukum semisal dalam kekerasan seksual atau fisik/psikis juga masih terasa adanya pihak-pihak perempuan yang tersudut dalam beberapa konteks budaya.
Bagaimana sih menurutmu bukunya?
Review Lebih Putih Dariku PoV Senja Hari
Overall ketika baca buku ini aku merasa sesak banget ya. Bukunya secara garis besar sesuai dengan realita di lapangan saat masa kolonialisasi terjadi. Apa yang aku suka dalam buku ini sih:
- Terjemahannya enak buat pembaca mengerti dan pahami. Ini yang paling penting ya menurutku terutama dalam buku terjemahan.
- Feel bukunya benar-benar dalam dengan sudut pandang seorang jawa yang kental. Jarang banget aku bisa menemukan penulis asing yang bisa membawa tokoh utama yang seorang jawa tulen terasa sampai ke pembaca. Setelah aku telusuri sang penulis yang merupakan jurnalis ini masih ada keturunan pribumi dari nenek buyutnya.
- Kaya akan budaya Jawa yang kental. Tidak hanya berisi tentang kondisi pihak yang termarginalkan tapi juga banyak ilmu baru seputar per-batikan yang hampir jarang terekspos. Semisal ada batik-batik khusus yang dibuat untuk acara tertentu sampai ada ritual-ritual khusus untuk membuat batik tersebut.
Meski aku suka kadang juga ada sisi yang menurutku kurang greget ya. Seperti misalnya bagaimana si Isah ini cuma berdiam diri seolah menerima saat dirinya tahu bahwa tuan Belandanya akan kembali ke negara asalnya. Meski ada jiwa kuat dari diri Isah, namun kesan itu mendadak luntur ketika ia berhadapan dengan tuannya itu. Seolah Isah bertransformasi dari kuat ke lemah. Untuk itu aku kasih rate 4,7 dari 5 bintang.
…. Untuk meyakinkan orang, ibunya dan aku bahkan sudah menjalankan upacara pembersihan diri yang diisyaratkan untuk membuat motif nitik ini. Tentu saja orang dengan mata terlatih bakal melihat kalau batik ini tidak mungkin buah tangannya, tapi bagaimanapun juga mereka tetap harus menghormati kebohongannya itu….
Lebih Putih Dariku halaman 45
Invitasi dan Diskusi
Buku ini semacam ironi dari peran ibu di jaman kolonial, di satu sisi mereka berperan dalam pengasuhan anak-anak berdarah campuran, tapi di sisi lain
Ada yang sudah membaca buku Lebih Putih Dariku? Bagaimana pendapatmu nih tentang bukunya? Kalian bisa berbagi di kolom komentar tentang pengalaman membaca buku ini dan kesannya kok!
Eh, Atau ada yang baru menjadikan buku ini sebagai teman bacaan untuk menutup tahun 2023 ini? Sini aku spill tempat aku beli bukunya.
Happy Sunday!
Comment
Buku yang sangat menarik nih, lewat buku ini bisa belajar tentang kehidupan masyarakat jawa tempo dulu. Ketika baca buku ini pastinya serasa diajak menembus lorong waktu masuk ke zaman dulu
Ih bikin penasaran bagaimana isah selanjutnya. Aku belum pernah baca buku model ceritanya jaman belanda gini. Padahal seru ya sambil mengenal budaya dulu. Aku jadi kepo…
Aku belum baca mbak, menarik sih bukunya, aku suka dengan novel yang berdasarkan kisah nyata apalagi ininterjadi di jaman penjajahan kan, kebayang nyeseknya sih tapi penasaran juga ingin baca
Penasaran dengan cerita lengkapnya. Wish list buat beli bukunya nanti.
Agaknya ini sekelumit kisah pada masa kolonial yang menyakitkan untuk diingat, tapi bisa jadi pembelajaran untuk nasib perempuan yang lebih baik di masa sekarang.
Lebih Putih Dariku ini menarik banget ya, kisah berlatar belakang jaman kolonial.
Trus nasib Isah selanjutnya gimana ya?
Oya beli novelnya di Gramedia kah?
Buku yang menarik untuk dibaca apalagi temanya mengenai isu gender ya kak. Peran ibu dari masa ke masa selalu menarik untuk dibahas, namun intinya tetap ibu yang berperan penting dalam pengasuhan
Saya pikir budaya yang ditanamkan oleh kolonial belanda kepada Isah ini masih dipegang teguh sama masyarakat asli orang jawa sampai sekarang. Ya, budaya partriaki di Jawa sangat kental sekali. Istri ibarat seseorang yang 100% harus manut dengan keputusan suami. Sangat gedeg rasanya, meskipun saya seorang laki-laki, tapi jelas ini adalah salah besar.
baca cerita disini aja dah geram, tapi memang seperti itulah jaman dulu wanita diperlakukan ya. wanita dipersiapkan untuk menjadi pelayan lelaki, tunduk pada aturan dsb. Aku gak bisa baca beginian, naik emosiku, hehe
Hmm… Wah, Aku juga akan merasa kurang greget sih. Sejak awal kan Isah diceritakan punya jiwa pembangkat. Dan harusnya dia kuat hingga bisa jadi nyai. Tapi kok berhadapan dengan tuannya jadi lemah.
Apakah Isah terlalu mencintai tuannya. Makanya gambaran jiwa kuatnya jadi ambyar?
Berarti si penulis novel ini pernah tinggal di Indonesia yah , jaman dulu? Sehingga dia tahu kondisi masyarakat Indonesia jaman dulu. Iya, sebagai perempuan saya juga bingung dengan standar kecantikan, siapa sih yang ciptain? apakah bentuk dari keberhasilan strategi marketing?
Nggak terbayang apa perasaan pada perempuan yang hidup pada zaman itu dan melihat anak perempuannya tumbuh semakin besar. Jadi miris dan semoga hal seperti sudah terputus di keluarga kecil manapun.
Selalu suka sama novel-novel yang membahas gender dan ras. Apalagi ini ada hubungannya sama belanda. Baca tulisan kakak, jadi pengen punya bukunya hehe
Wow novelnya lumayan berbekas di hati ya. Boleh nih masuk ke readlist. Nanti saya coba cari juga novelnya
Awalnya ini buku berbahasa Belanda kan ya? Keren tuh pengarangnya sementara kisah yg diceritakannya kejadian di Indonesia jaman doeloe pula.
Mengangkat kejadian seputar kisah nyai dalam bahasa asing, kalau tidak diterjemahkan mana bisa kita mengerti dengan mudah ya…
Sebenernya ada efek karena kita pernah menjadi negara jajahan ga yaa..?
Secara mentalitas, biasanya ada perasaan rendah diri, terlepas dari membedakan warna kulit.
Mau dibilang rasis, karena itu yang paling tampak yaa..
Penulis Lebih Putih Dariku ini keren banget.
Karena mengangkat isu sepanjang masa yang pastinya menjadi relate ketika akan menikah dengan pasangan yang berbeda warna kulit.
Wah, buku ini keren banget! Ngangkat tema yang relevan dan bikin kita mikir. Terus terang, jadi penasaran sama Isah dan kisahnya!
Daku baru baca ulasannya, udah ada bayangan bahwa bukunya ini kental dengan budaya Jawa. Ternyata benar ya di bagian kesimpulan kak Dinda.
Sepertinya bakal asik nih membaca bukunya, karena bakal dibawa juga kitanya seakan ke masa itu ya
Novel yang bagus. Ceritanya menggambarkan kompleksitas hubungan antara ibu dan babu, sekaligus mempertanyakan standar kecantikan yang diukur dari warna kulit, mengajak kita untuk merenungkan nilai sejati yang melampaui penampilan.
Polemik tentang gender, patriarki sepertinya kuat di buku ini. Saya belum pernah baca, tapi baca reviewnya sudah tergambar. Apalagi saya juga mengikuti tetraloginya Pramoedya Ananta Toer.
Waduh dikasih rate 4.7🔥🙃 jadi pengen nyatroni bukunya juga nih…di gramedia ada nggak ya ka
Menarik ya ceritanya. Tapi juga bakalan bikin gemas dengan segala macam penderitaan yang harus dialami Isah maupun (mungkin) Canting. Entah kenapa, kisah ketidakadilan selalu membuat saya dan mungkin juga banyak orang menggebu-gebu untuk tahu akhirnya. Apakah karena praktik ketidakadilan ini masih terlalu dekat dengan kita ya?
Buku yang menceritakan tentang zaman Belanda ini jadi menarik banget karena kita dibawa ke masa itu dengan perspektif yang berbeda. Kita kan sering nih disuguhi penajjaahan itu adanya perang dan perang, padahal ada perspektif lain yang tidak kalah menarik pada masa itu
Ternyata dari dulu yang namanya ‘beauty privilege’ itu ada, ya. Tapi emang sih yaa dulu strata sosial berpengaruh banget, beda dengan sekarang.
iya mba zaman sekarang masih aja ada body shaming. ada tuh kata terbaru “aura maghrib” bahkan sampai dikata2 in juga model dari amerika/afrika. ckck.
jadi pengen baca bukunya
Novel Lebih Putih Dariku benar-benar membuka mata soal tema identitas dan perbedaan. Gaya bahasa yang digunakan penulis terasa mengalir, jadi mudah dinikmati. Review-nya juga menghayati banget.
Berarti buku ini terinspirasi dr kisah nyata ya? Atau malah kisah nyatanya? Jd tertarik untuk membacanya juga.
27 Responses