Penulis : Dinda Pranata
Hola! Lama banget ya, vakum dari dunia per blog-an. Kurang lebih hampir dua bulan lebih enggak nongol atau update apapun di blog senja hari (kecuali kalau ada klien yang mau pasang iklan sponsor sih).
Sebenarnya ini bukan pertama kalinya empu-nya Senja Hari enggak update apapun baik di blog maupun di per-sosmed-an. Ya, si empu Senja Hari bukan orang yang konsisten jadi kalau bosen nge-blog bisa sampai berhari-hari atau berbulan-bulan kosong. Tapi satu hal yang pasti, meski enggak publish di sosmed atau blog, aku masih tetep nulis di buku jurnal, meski yang ditulis isinya “dear diary” hehehe!
Tapi, mbak enggak takut apa trafik-nya turun? Hmm, kalau itu agak susah ya jawabnya.
Jadi, apa yang dilakukan selama dua bulan ini sih sampai agak susah buat nge-blog?
Trial and Error Aktifitas yang penuh Drama!
Menjelang akhir 2023 lalu aku dan keluarga menutup tahun dengan berita duka. Papa tutup usia setelah melewati komplikasi diabetes pada tanggal 11 Desember 2023 lalu. Akhir tahun lalu menjadi hal terberat setelah kepergian mama dan kakak pertama dua tahun yang lalu akibat COVID-19. Sedih itu sudah pasti. Butuh waktu yang cukup untuk bisa ikhlas meski kadarnya hanya setengah.
Baca juga: Life Lesson, Karena yang Negatif Tak Harus Selalu Positif
Pelarian duka dengan cara apa? Baca buku.
Berhasil? Enggak!
Mau berapapun menghabiskan stok buku sampai review di sosial media lumayan banyak, seolah saat itu membaca bukan jalan terbaik buatku. Semua yang kubaca seperti merepresentasikan kondisiku yang terjun bebas. Rasa bersalah, duka dan putus asa. Aku butuh sesuatu yang lain.
Akhirnya aku memutuskan untuk menjauhi media sosial beberapa hari menjelang tahun baru. Aku, anak lanang dan paksu memutuskan untuk camping. Sejak menikah sampai punya anak yang usianya hampir tujuh tahun, enggak pernah sekalipun nge-camp. Paksu sampai rela beli perlengkapan sederhana seperti tenda, kompor portable, lampu tenda sampai senter kepala, demi ibu negara yang butuh pelarian.
Endingnya? Disaster.
Baca juga: Teknologi dan Waktu Dalam Sebuah Ironi
Kami sekeluarga flu berjamaah selepas camping. Entah memang kondisi kami yang kurang fit atau memang tempat camp ground (Hutan pinus di Blitar) yang kurang pas dengan cuaca yang cukup labil, untuk pemula seperti kami. Tapi apa itu cukup untuk meredakan rasa kehilangan? Lumayan meski setelahnya harus rehat beberapa hari di rumah.
Lalu apa yang kata kuncinya, jika camping bisa melegakan meski enggak sampai sepenuhnya?
Jaga Mata dan Pikiran
Kata kunci ini sepertinya memang related sama kondisi menjelang akhir tahun. Melewati trial and error yang cukup dramatis. Mulai dari menghabiskan seperempat TBR di lemari, pelampiasan dengan posting review di media sosial, termasuk aktif nge-bid placement yang mungkin hanya dua sampai tiga yang lolos, ternyata enggak membawaku kemana-mana selain jadi lebih sedih setelahnya.
Aku justru menyadari satu hal ketika aku camping dengan kondisi yang minim sumber energi dan sinyal telekomunikasi. Yang aku butuhkan adalah istirahat dari hiruk-pikuk informasi di luar. Berdamai dengan keadaan mentalku; mendengar cerita dari anak dan suami, yang kalau di rumah bisa-bisa cuma ditanggapi seadanya; Ada satu momen yang membuatku klik.
Pertanyaan ini kemudian jadi hal baru (yang secara konsep enggak baru-baru banget) buatku dan yang mau enggak mau aku terapkan dalam kehidupan sesungguhnya. Berjarak dengan media sosial, arus informasi atau mungkin tinggal di tempat seperti pedesaan, seperti bisa jadi kemewahan. Di tempat yang tenang, kita bisa lebih mendengarkan lawan bicara dengan sungguh karena bisa jadi usianya tidak sepanjang yang kita duga. Dengan menjaga mata dari ratusan pemberitaan, yang dalam setiap detik kita dapat, pikiran kalem pun akan perlahan muncul ke permukaan. Bagaimana aku menerapkan ini sepulang dari camping beberapa hari menjelang tahun baru?
Berkebun Organik Sambil Curhat Ke Tanaman
Pada awal Januari 2024 lalu, aku terbesit mencoba melakukan hal yang tidak pernah kulakukan. Salah satunya aktivitas berkebun secara organik. Dulu bagiku berkebun itu melelahkan dan ribet, hampir sama jika aku memelihara hewan peliharaan yang enggak bisa aku tinggal seenak jidat dalam waktu lama. Dan, aku nekat berkebun dengan luas rumah yang tidak seberapa.
Berkebun di pagi hari ternyata menyenangkan. Badanku yang menul-menul cukup mendapat kehangatan matahari, juga aku tak perlu bersusah payah lari maraton untuk memeras keringat. Selama hampir dua bulan ini, kegiatan pagi hari dari pukul setengah enam hingga sembilan pagi cukup menyita energiku sampai akhirnya aku tidak sempat memeriksa media sosialku sama sekali.
Kenapa memilih organik sih? Kan metode itu enggak gampang?
Di dunia ini apa sih yang gampang, semua juga enggak gampang. Iya apa iya sih? Semua pasti membutuhkan proses, termasuk menumbuhkan tanaman yang mulai dari biji baik organik atau tidak. Tapi alasanku memilih organik adalah dari sisi hematnya. Aku sampai sekarang percaya apa yang ada di alam, pada akhirnya akan kembali ke alam. Terbukti kok. Beberapa tumbuhan yang aku pelihara secara organik tetap tumbuh dengan baik dan sehat.
Baca juga: The Path Made Clear: Optimisme sang Visioner Oprah Winfrey
Plusnya lagi kalau buang sisa sayur mentah ke komposter, acap kali aku berujar, “nanti jadi pupuk yang sehat ya.” Lalu, berkebun juga bisa sambil curhat tipis ke tanaman tentang kesedihan, kondisi dompet yang agak seret, keluh kesah tentang anak yang GTM sampai tetangga yang pinjem duit seratus mulu.
Kok curhat sama tanaman sih mbak?
Lebih baik curhat sama tanaman daripada curhat di media sosial. Walaupun enggak bakal dijawab sama tanamannya sih. Namun, itu bikin lega kok dan setidaknya bisa mengurai kusutnya isi kepala.
Dari sini aku belajar bahwa berdekatan dengan alam tidak harus selalu wisata ke suatu tempat atau pergi camping untuk sekedar healing. Selain sehat untuk kantong dan jiwa, berkebun secara organik justru membuat secara fisik lebih bugar. Berkebun secara organik memaksaku untuk bergerak, mulai untuk memasak, memilah bahan memasak yang bisa dijadikan pupuk, merajang sisa sayuran mentah sampai melakukan pengomposan secara mandiri di rumah. Dari semuanya itu tidak ada lagi yang akan mencibir, “ibu rumah tangga kok rebahan mulu?”
Invitasi dan Diskusi
Terkadang idealisme untuk selalu konsisten tidak selalu bisa berjalan lurus. Realitanya ada hambatan yang kadang tidak terlihat oleh mata netizen. Selama dua bulan ini aku terdikstraksi oleh peristiwa sekitar yang mau enggak mau membuatku berhenti sejenak untuk nge-blog.
Baca juga: When We Adult Is Not Means We Know Everything. This Book Explained!
Aku jadi ingat dengan kata-kata mengalah bukan berarti kalah dan itu memang benar. Mundur sejenak untuk nge-blog tidak menghapuskan namamu sebagai seorang bloger. Asalkan kita cukup aktif mencari celah untuk tetap bergerak dan tidak takut melakukan hal gila (kayak ngomong sama tanaman hehehe). Tidak baik terlalu lama vakum nge-blog, bukan karena masalah trafik semata, tapi juga masalah tagihan perpanjangan domain serta server yang harus dibiayai. Yakin masih mau buang-buang uang hanya untuk membiayai domain blog yang tidak pernah diisi?
Bagi kalian yang punya cerita seputar kekosongan menulis atau nge-blog, bisa kok share di kolom komentar. Siapa tahu bisa jadi inspirasi teman-teman sesama bloger yang idenya tak kunjung tiba. Eits! apapun komentarmu, yuk tetap komen yang bijak. Semata-mata agar jejak digitalmu tetap bersih.
Happy Friday!
Comment
Turut berdukacita Kak atas kepergian ayahanda
Kalau saya mengalami writerblock, saya tinggalkan sejenak kemudian saya lakukan kegiatan yang menyenangkan kemudian saya tuliskan lalu kembali menulis lagi
Eh beneran lo, kadang writer’s block itu tanda kalau kita perlu istirahat ya! 😀
Kehilangan orang tercinta memang meninggalkan duka yang mendalam mbak. Kita perlu aktivitas yang bisa menghilangkan rasa duka tersebut. Bersyukur ya mbak sekarang sudah bisa berdamai dengan keadaan.
Oya mbak, saya juga berkebun dibelakang rumah jadi kalau lagi kesulitan cari ide buat tulisan saya biasanya pergi ke kebun lihat-lihat tanaman. Dengan demikian pikiran jadi kembali fresh dan bisa mikir lagi untuk cari ide tulisan
Setuju mbak. Meski sebenarnya enggak hobi berkebun, tapi berkebun itu manfaatnya banyak kalau dilakukan. Sehat badan, pikiran, dan mata pastinya jadi bening lihat ijo royo-royo ya. 😀
Media social dan segala pesonanya memang menawarkan kesenangan dan kemudahan. Namun, memang ada saatnya kita butuh istirahat. Menepi dari kebisingan dunia daring tersebut. Selamat datang kembali, Mbak. Semoga cepat pulih.
Amin, terima kasih mbak Monica. Semoga doa baik kembali ke Mbak dan keluarga. 🙂
Turut berduka cita ya mba atas kepergian ayahnya. Memang tidak mudah melupakan orang yang kita sayangi, manusiawi koq karena kita butuh waktu untuk pulih kembali. Pertanyaan di kepala saya terjawab sudah, pantesan koq ndak nampak sebulanan ini 🙂
Terima kasih mbak Iid. Iya, lagi rehat dari dunia persilatan. Hehehe … 😀
8 Responses