Home / Gerbang / Sponsored

Stigma dan Diskriminasi: Bukan Hakim Tapi Suka Menghakimi?

Senjahari.com - 30/05/2024

Stigma dan Diskriminasi

Penulis : Dinda Pranata

Pernah tak kalian punya teman pria tapi sikapnya melambai saat sekolah dan si teman kalian ini sering dibully atau dikatai banci?

Semasa sekolah, aku pernah mempunyai teman yang hobinya nongkrong sama anak perempuan dan jarang sekali nongkrong sama teman laki-lakinya. Sebut saja Mas A. Dan, karena kebiasaannya yang suka nongkrong sama temen-temen perempuan itu, Mas A sampai mendapat cap banci. Tak sampai di situ, Mas A ini juga sering mendapat cap banci karena cita-citanya yang ingin menjadi perawat daripada dokter. Lalu, Apa yang terjadi sekarang?

Mas A ini jadi kepala perawat yang gagah dan karismatik di sebuah rumah sakit besar, menikah dengan rekan seprofesinya dan menjalani kehidupan yang baik.

Kalau happy ending, masalahnya di mana, Neng!

Bukan Hakim Tapi Suka Menghakimi

Masalahnya adalah kebanyakan orang suka sekali menjadi hakim untuk kehidupan orang lain. Betul apa benar?

Baca juga: Munir Said Thalib: 18 Tahun Kematiannya Tak Kunjung Usai

Belajar dari kasus Mas A di atas, teman-teman sekolah yang suka mengatai mas A banci, bertindak sebagai hakim untuk urusan ‘rumah tangga’ orang lain, yang tidak seharusnya campuri. Apalagi, mereka tidak mengerti alasan Mas A ini lebih suka bergaul dengan teman-teman cewek daripada cowok. Mereka lebih mengedepankan apa yang terlihat di luar (mungkin sikapnya yang lebih luwes daripada anak laki-laki pada umumnya) daripada yang alasan preferensinya dalam memilih teman.

Ya, kan yang terlihat di luar lebih mudah terlihat Neng!

Kalau kita bicara ‘apa yang terlihat di luar’ lebih mudah kita kenali, berarti kita masih dalam taraf berasumsi. Tapi jika asumsi itu dipaksa menjadi fakta, ini akan berbahaya bagi kehidupan orang lain. Apalagi jika akhirnya asumsi yang kita paksa sebagai fakta, ternyata salah, Bisa-bisa tanpa sadar kita menjadi bagian dari pelaku diskriminasi.

Ah, nggak asik lu! Sebut-sebut banci kan buat bercanda aja!

Bukan Hakim dan Sok Asik= Diskriminasi

Ilustrasi Stigma dan Diskriminasi

Hakim abal-abal dan sok asik merupakan duo yang bisa menyebabkan masalah stigma dan diskriminasi. Mereka yang ‘bukan hakim tapi suka menghakimi’, akan memaksakan asumsi menjadi fakta tanpa menggali masalah lebih dalam dan hanya menjadikan sebagian kecil yang terjadi di masyarakat sebagai fakta umum. Lalu, penghakiman mereka menjadi alasan untuk melakukan perilaku bullying atau mencap seseorang yang akhirnya berujung diskriminasi salah satu pihak.

Baca juga: Dear World: Cuitan Gadis Kecil dalam Bencana Kemanusiaan Suriah

Stigma dan diksriminasi ini adalah musuh dari HAM (Hak Asasi Manusia). Kita semua pasti sudah tidak asing dengan HAM kan? Bahkan di UUD 1945 saja ada pasal yang menjunjung tinggi HAM. Dari stigma, seseorang mudah sekali memberikan cap/label pada seseorang yang berbeda sehingga memicu orang lain untuk mengucilkannya. Dampaknya tentu saja seseorang yang berbeda itu akan merasa terisolasi, tertekan, terancam dan paling parah bisa kehilangan nyawa.

Sudah banyak kasus-kasus dunia nyata yang terjadi di sekitar termasuk film-film fiksi dan film dokumenter yang mengangkat isu-isu stigma dan diskriminasi contohnya Boys Don’t Cry (1999), Call Me Kuchu (2012) dan lainnya. Dan dampaknya sangat fatal seperti hilangnya nyawa seseorang.

Lalu apa yang harus kita lakukan?

Invitasi dan Diskusi

Kita tahu menjadi hakim di sebuah pengadilan itu butuh proses yang panjang, dari menyelesaikan sekolah hukum sampai mengikuti banyak persidangan. Selain itu menjadi hakim tidak langsung memutuskan si A, si B, Si C bersalah hanya dari tampilan luarnya, para hakim harus melakukan pengecekan pada saksi di pengadilan, mencerna semua cerita dari banyak pihak, verifikasi berkas dan latar belakang pelaku serta proses lainnya.

Lha kita yang “bukan hakim” kok ya suka sekali menghakimi hanya dari tampilan luar?

Baca juga: Laut Bercerita-Kisah Haru Tentang Tragedi 1998

Asumsi itu sah-sah saja, yang tidak sah adalah asumsi yang kita paksakan menjadi fakta tanpa ditelaah lebih dalam. Apalagi asumsi kita sampai menyebabkan diskriminasi bagi pihak lain. Yuk stop menjadi hakim abal-abal kalau kita hanya memaksakan asumsi!

Bagi kalian yang punya komentar terkait isu ini bisa kok share di kolom komentar. Eits! komennya yang sopan. Ya, semata-mata menjaga jejak digital kalian tetap bersih!

Happy Thursday!

Source:
https://www-psychiatry-org.translate.goog/patients-families/stigma-and-discrimination?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=rq

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

*

Post comment

Comment

Riffai R. Darmawan

Teringat masa lalu, dulu sering jadi orang yang di hakimi, sangat mengesalkan, tapi ketika bisa dihadapi, ternyata justru meningkatkan percaya diri dan termotivasi untuk pembuktian hehehe. Stay positif aja

Dulu abangku dan 1 lagi temannya juga senang main sama anak perempuan, ikut main boneka, ikut main dandan dandanan, beneran dibilang banci..setelah gede abangku pernah jadi kepala desa, dan temannya jadi pak RW dong sekaligus ASN. susah mau mengubah pola fikir tiap orang. namun mulai dari diri kita sendiri, kenapa ada anak laki lebih nyaman berteman dan bermain sama anak perempuan ? ya mungkin anak perempuan lebih bisa peka perasaannya. dan gimana pulak dengan saya yang perempuan temannya dari kecil ampe skrng lebih nyaman berteman dengan anak lelaki ? alasan saya, karena lelaki jauh lebih simple dan to the point. 🙂

Yuni Bint Saniro

Tidak bisa mengingkari, kalau urusan stigma dan diskriminasi pada orang lain memang berbahaya. Bikin sakit hati hingga yang paling fatal adalah kematian.

Sungguh akan sangat menyenangkan bila semua orang tidak mudah untuk melakukan penilaian yang memaksa hanya pada sesuatu yang terlihat saja.

Karena sebenarnya, apa yang kita lihat dari luar belum tentu apa yang sesungguhnya terjadi.

Kayak Mas A tadi. Dia mungkin lebih nyaman bergaul sama anak perempuan. Hingga mendapat perilaku diskriminasi dari lingkungan sekitarnya.

Tapi, bukankah bergaul dengan perempuan tidak menyalahi aturan? Apalagi pergaulannya sehat dan tidak terjebak pada kebebasan yang kebablasan.

Pada kenyataannya stigma dan diskriminasi memang sering terjadi di kehidupan kita. Orang-orang seolah si paling tahu, semoga kita semua lebih peka lagi dan tidak menjadi hakim untuk orang lain

Terima kasih kak..ini sebagai pengingat bagi kita semua utk tdk begitu saja menghakimi/memberi cap pada seseorang atau sesuatu tanpa mencari tahu lebih dahulu dg lebih jelas/detil

Kalau saya pernah nih mengalami dihakimi terus menerus. Terutama persoalan pengasuhan anak. Saya biasanya menyebut mereka “mandor yang tidak memberi gaji”. Haha

RIFQI FAUZAN SHOLEH

Artikel ini ngena banget! Bener deh, sering kali kita suka judge orang tanpa mikir panjang. Harus lebih sadar kalau tindakan kita bisa berdampak besar.

Pola hidup saling menghakimi ini sepertinya makin kuat di era media sosial ya Kak. Orang-orang yang bersembunyi di balik komentar semakin bebas menilai orang lain, bahkan sampai menyudutkan/bully. Kejadian seperti ini juga sering terjadi di jalan raya, di mana setiap ada kejadian, lebih banyak orang cenderung menjadi provokator atau mudah diprovokasi, alih-alih menolong atau memisahkan pihak yang bertikai.

Sukaa bgt sama bahasan ini 😍
Saya pnya murid laki2 yg memang sdkit feminim. Dia kadang diejek temen2nya.
Wahh, saya sbgai guru merasa harusnya ngga gitu. Akhirnya, dari guru2 mencoba mengajari murid laki2 td agar mengurangi perilaku feminimnya agar kelak di masa dpn dia tdk dianggap negatif oleh orang lain

Kalau kejadian sebaliknya, apakah akan memperoleh penghakiman yang sama?
Misalnya, anak perempuan yang suka mainnya sama anak cowo…
Biasanya kita cuma bilang “Oh, anaknya tomboy..”

Penghakiman ini gak enak banget sih yaa..
Dan semoga kita dihindarkan dari lisan buruk yang menyakiti orang lain.

Mungkin menghakimi dan diskriminasi terjadi karena kurangnya mencari tahu kebenarannya. Padahal tabayyun itu perlu, agar tidak terjadi fitnah ya.

Aku pernah kok mengalami hal spt ini pas SMP. Ya maklum krn aku anak pertama dan ga pny sodara cwek. Ya otomatis yg bantu ibu ya aku.

Tp yg prnh bully aku dulu, kini pas dewasa, hidupnya jg berantakan. Rumah tangganya kacau, dgn istrinya jg bercerai. Aku sampe skrg msh didatengi tmn2 cwek utk dengerin curhat. Bahkan aku sampe malu ama suaminya. Eh, curhat tuh ke suami sendiri. Bkn ama suami org. Haha. Krn kdg temen cwek tu pgn curhat bkn krn ingin solusi, tp cmn pgn didengerin pas lagi ngomong.

Hmm iya ya. Sedih juga
Di masyarakat masih banyak orang yang suka menghakimi orang lain
Menggunakan stereotipe yang tak berdasar

Kadang saya suka heran sendiri ke orang-orang yang suka menghakimi dan suka mendiskriminasi. Apakah mereka gak pikir dampaknya? Atau memang itu kesengajaan hobby menyakiti orang lain?

Orang itu memang mudah terdesain untuk mengoreksi suatu hal. Dia tidak pernah didesain untuk evaluasi diri, tapi suka mengkritik orang dan mengevaluasi orang.

Ahiyaa bertentangan dengan HAM ya ttg diskriminasi dsb ini.. Semasa di SMP dlu aku pernah punya teman yg spti ini kak bahkan perlu digarisbawahi org2 kyak Mas A itu jgn diasingi dsb, karena belum tentu nanti di akn mendatang seperti apa.. Manatau dialah org yang bisa membantu kita nantinya, jdi perlu saling menghargai satu sama lainnya ya kan Mba

16 Responses